Di negara Indonesia, paham marxisme acapkali dikaitkan dengan ateisme, otoritarianisme atau totalitarianisme. Anggapan yang demikian akhirnya membuat marxisme tak lebih sebagai ideologi iblis yang wajib untuk dimusuhi sekaligus dilenyapkan. Marxisme adalah ideologi yang tak boleh eksis di dunia yang masih menghargai ari penting kemanusiaan. Implementasi, adopsi atau bahkan hanya sekedar apresiasi terhadap marxisme sama saja dengan menihilkan kemanusiaan. Oleh karenanya, tak ada yang bisa dilakukan selain membuang marxisme ke dalam tong sampah sejarah.
Akar dari pemahaman demikian berasal dari TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran marxisme, leninisme atau komunisme. Penerbitan TAP MPRS itu berawal dari tragedi pembunuhan enam jenderal di Lubang Buaya yang konon didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Siapa saja yang terlibat dalam peristiwa itu sebenarnya masih menjadi polemik di kalangan akademisi dan politisi.
Namun, pada pokoknya sehabis peristiwa itu, mereka yang menjadi anggota atau simpatisan PKI dimasukkan ke dalam bui, di buang ke pulau Buru atau dibantai tanpa melalui proses pengadilan. Kekerasan fisik tersebut kemudian dilanjutkan dengan kekerasan ideologis tatkala Orde Baru berada di tampuk kekuasaan, di mana hegemoni anti-komunis dilancarkan melalui sastra dan film. Di kedua media itu, orang-orang yang berhaluan komunis digambarkan brutal, psikopat dan anti agama. (Wijaya Herlambang: 2019)
Pemahaman yang demikian sebenarnya tak lebih dari stigmatisasi ketimbang analisa kritis. Artinya, pemahaman yang mengemuka lebih didasarkan pada subjektivitas ketimbang objektivitas. Padahal, kalau seseorang mau menelisik pemikiran Marx secara lebih dalam, ia akan menemukan sisi humanistik dalam dirinya. Marx bukanlah orang yang sekonyong-konyong berpretensi mewujudkan tatanan masyarakat yang totaliter. Ia justru adalah orang yang prihatin melihat penindasan manusia dan berusaha untuk mencari sekaligus memberantas hingga ke akar-akarnya.
Sisi humanistik itu tercermin, salah satunya, dalam pemikirannya mengenai alienasi. Di sini ia berusaha untuk menyingkap tabir keterasingan manusia yang terselubung dalam kapitalisme. Bahwa tanpa disadari manusia mengalami keterasingan yang membunuh hakikat manusia itu sendiri. Melalui alienasi inilah, kita dapat melihat sisi lain dari marxisme.
Bekerja Sebagai Perwujudan Hakikat Manusia
Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Marx mengenai alienasi manusia, kita wajib menengok karyanya yang berjudul Economic and Philosophic Manuscript of 1844. Karya tersebut baru diterbitkan pada tahun 1928 di Moskow—tepat 45 tahun setelah kematian Marx. (Martin Suryajaya: 2016, 40)
Dalam karya tersebut, Marx mengajukan tesis bahwa manusia menjadi hakiki ketika ia bekerja. Dengan bekerja manusia dapat membedakan dirinya dengan binatang. Binatang tidak bekerja karena ia bisa langsung memenuhi kebutuhan dirinya dari alam. Sementara manusia harus terlebih dahulu mengubah alam untuk disesuaikan dengan kebutuhan dirinya.
Binatang memang bisa memproduksi makanan atau membuat tempat tinggal, namun apa yang dilakukan olehnya tak lebih hanya sebatas dorongan naluri. Berbeda dengan manusia yang dapat melakukan hal tersebut secara bebas dan universal. Bebas karena ia dapat melakukannya tanpa demi memenuhi kebutuhannya secara langsung. Misalnya, ia dapat membuat roti untuk dijual. Disebut universal karena ia dapat melakukan suatu hal yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Misalnya, ia dapat membuat rumah dari kayu, tanah, batu atau bahkan plastik. Ia juga dapat mengubah alam tak hanya demi satu kebutuhan semata. Misalnya, ia bisa mengubah kayu menjadi kursi, meja atau papan. Oleh karenanya, Marx menjuluki manusia sebagai makhluk yang estetis. (Andrew Collier: 2004, 26)
Melalui pekerjaan itu pula, manusia dapat mengobjektifikasi dirinya ke dalam alam. Artinya, manusia mengubah alam dan memberikan bentuk manusiawi terhadap alam. Misalnya, penukang yang mengubah kayu menjadi kursi, meja, mebel dll. Dalam hal ini, ia memanifestasikan hakikat dirinya ke dalam alam. Ia bisa melihat hakikat dirinya ketika melihat hasil karyanya itu dan akhirnya menyadari bahwa dirinya adalah penukang.
Selain sebagai objektifikasi diri, pekerjaan juga dapat menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kembali pada contoh tukang di atas. Tukang membutuhkan kayu dari penebang, sementara penebang membutuhkan kursi dan meja dari tukang. Sebagaimana juga petani membutuhkan pupuk dari peternak, sementara peternak membutuhkan beras dari petani. dalam proses pertukaran ini, manusia menginsyafi bahwa ia membutuhkan orang lain. Ia tak bisa hidup sendiri. Karenanya, ia adalah makhluk sosial.
Alienasi Dalam Pekerjaan
Dengan bekerja manusia dapat merealisasikan hakikat dirinya. Ia dapat mewujudkan kehendak dirinya dalam tindakan yang nyata. Namun, realitas menunjukkan bahwa manusia justru mengalami keterasingan ketika bekerja. Apa yang dimaksud di sini adalah bekerja dalam produksi kapitalisme. Dalam konteks ini, manusia tak bisa bekerja secara bebas dan universal. Ia terpaksa bekerja supaya dapat menyambung hidupnya. Ia akhirnya tak bisa mengembangkan dirinya dan justru terasing dari dirinya sendiri maupun orang lain.
Ada tiga fitur yang menunjukkan manusia terasing dari dirinya sendiri: pertama. Manusia terasing dari produknya. Manusia seharusnya merasa bangga dengan hasil pekerjaannya. Betapa tidak, ia sudah memanifestasikan hakikat dirinya ke dalam produknya. Namun kebahagiaan itu tak muncul karena produknya dimiliki oleh kapitalis. Bahkan, ia acapkali tak bisa membeli produknya sendiri. Ini bisa terlihat dari orang yang bekerja di pabrik gawai Iphone.
Kedua, manusia terasing dari pekerjaannya sendiri. Karena ia terasing dari produknya, pekerjaan yang ia lakukan serasa tak ada maknanya lagi. Ia terpaksa bekerja karena pekerjaan yang ia lakukan bukan atas dasar keinginan, melainkan agar ia tidak kelaparan. Ia menjadi tidak membutuhkan pekerjaan pada dirinya, melainkan membutuhkan pekerjaan demi mencukupi kebutuhan di luar pekerjaan: kebutuhan badaniah.
Ketiga, manusia terasing dari potensi dirinya. Alih-alih semakin mengembangkan potensi diri, manusia justru semakin memiskinkan diri dengan bekerja. Dalam produksi pabrik, patut diakui, buruh memang semakin handal dan terlatih dalam menghasilkan produk. Apabila sebelumnya ia, misalnya, menghasilkan 10 pakaian dalam sehari, lama kelamaan karena terlatih ia bisa menghasilkan 20 pakaian dalam sehari. Namun, masalahnya, manusia ter-teknikalisasi layaknya robot dalam hal ini. Hampir separuh hidupnya dikerahkan untuk membuat pakaian. Seolah tak ada kegiatan lain yang lebih penting selain membuat pakaian.
Selain terasing dengan dirinya sendiri, manusia juga terasing dari orang lain. Keterasingan model ini dapat kita lihat dari pertentangan antara dua kelas: borjuis dan proletar. Kedua kelas tersebut bermusuhan karena kepentingan mereka secara objektif bertentangan: borjuis ingin proletar bekerja lebih lama dengan gaji yang sedikit, sementara proletar ingin bekerja secukupnya dengan gaji yang besar. Bahkan, pertentangan ini juga terjadi dalam kaum mereka sendiri; borjuis saling hantam-menghantam memperebutkan pasar, sementara proletar saling sikut-menyikut demi memperebutkan tempat kerja.
Keterasingan model itu juga nampak dari hubungan antar sesama manusia. Manusia tak lagi berbuat sesuatu karena bernilai pada dirinya atau demi sesama, tetapi karena atas dasar untung-rugi. Maksudnya, manusia mau melakukan sesuatu sejauh yang dilakukan itu menghasilkan uang atau kepentingan individualistik. Manusia tak lagi melakukan atas dasar kerelaan dan pengorbanan.
Kita sudah melihat bagaimana Marx adalah seorang filsuf yang memiliki penghargaan terhadap kemanusiaan. Marx bukanlah seorang pemikir yang memiliki tendensi destruktif terhadap kemanusiaan. Terkait dengan pembakuan pemikiran Marx yang acapkali totaliter, kita mesti mengingat ucapan masyhurnya: “Aku bukanlah marxis”. Marx berkata demikian karena banyak orang yang salah menafsirkannya.
Apa yang saya lakukan di sini bukanlah membela marxisme secara dogmatik. Tetap bahwa suatu ideologi atau pemikiran harus dikritisi. Tetapi menurut saya adalah salah besar apabila suatu ideologi dilarang untuk dipelajari. Ideologi apapun bisa dipelajari asalkan dengan sikap yang terbuka dan objektif. Larangan terhadap ideologi bukan saja pekerjaan yang sia-sia, melainkan juga bertentangan dengan hak manusia: kebebasan berpikir.
Referensi
Collier, Andrew, 2004, Marx: A Beginner’s Guide, Oxford: Oneworld
Herlambang, Wijaya, 2019, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, Tanggerang: Marjin Kiri
Suryajaya, Martin, 2016, Teks-Teks Kunci Filsafat Marx, Yogyakarta: Resist Book
Suseno, Franz Magnis, 2016, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselsihan Revisionisme
- 22/09/2022
- 03/04/2023
- 16/09/2024