fbpx

Skeptisisme Descartes Vs Hume

Rene Descartes dan David Hume adalah dua filsuf yang dikenal sebagai tokoh filsafat modern. Walau hidup sekitar empat abad yang lalu, keduanya tak habis-habis dibaca, dikaji, didiskusikan dan diperdebatkan hingga sekarang.
The Fish Market at Hastings Beach karya Joseph William Turner
The Fish Market at Hastings Beach karya Joseph William Turner

Rene Descartes dan David Hume adalah dua filsuf yang dikenal sebagai tokoh filsafat modern. Walau hidup sekitar empat abad yang lalu, keduanya tak habis-habis dibaca, dikaji, didiskusikan dan diperdebatkan hingga sekarang. Pasalnya, keduanya merupakan pemikir yang tak bisa kita lewatkan ketika mempelajari filsafat modern.

Descartes dikenal sebagai seorang rasionalis yang mengklaim akal sebagai sumber utama dalam menemukan kebenaran. Sebaliknya, Hume dikenal sebagai seorang empiris yang mengklaim pengalaman sebagai sumber utama dalam menemukan kebenaran. Di masa ketika dunia Barat hendak mencari worldview yang sesuai, manusia mulai berusaha melepaskan diri dari jeratan epistemik kuasa pada zamannya. Kedua aliran itu saling beradu argumen demi mendapatkan tempat dalam diskursus ilmu pengetahuan. Sejarah mencatat kedua aliran pemikiran tersebut telah disintesakan oleh Immanuel Kant menjadi kritisisme, mengakomodasi pengetahuan apriori yang dijustifikasi rasionalisme dan pengetahuan aposteriori yang dijustifikasi empirisme.

Meski Descartes dan Hume bertentangan secara epistemik, namun yang wajib diketahui adalah bahwa keduanya sama-sama menganut skeptisisme. Bedanya, Descartes menggunakan skeptisisme untuk dapat menemukan kebenaran yang pasti, kokoh dan tak diragukan lagi; sementara Hume menggunakan skeptisisme untuk menunjukkan bahwa tidak ada kebenaran yang pasti, niscaya dan tak diragukan. Karena itu, penulis menyebut Descartes sebagai seorang skeptis metodis dan Hume sebagai skeptis filosofis. Bagaimana perbedaan mendasar antara skeptisisme metodis dan skeptisisme filosofis? Sebelum menjawab pertanyaan itu, penulis akan terlebih dahulu menjelaskannya satu per satu. 

Skeptisisme Descartes

Bagi penulis, keunikan Descartes terletak dari upayanya untuk mencari kebenaran yang tak dapat diragukan justru melalui keraguan itu sendiri. Lebih jelasnya, ia menggunakan metode keraguan untuk memperoleh kebenaran yang tak dapat diragukan. Namun, keraguan ini bukanlah keraguan sembarang atau asal-asalan. Keraguan Descartes adalah keraguan yang radikal. Betapa tidak, ia meragukan berbagai hal yang ada di sekelilingnya: Ia meragukan bahwa dunia ini ada, ia meragukan eksistensi dirinya, ia meragukan bahwa ia sedang tidak sadar atau mimpi dan ia meragukan bahwa apa yang selama ini diketahui dan dilihatnya hanyalah tipuan setan-setan cerdas yang jahat. Keraguan tersebut bukanlah mengada-ada. Ia tak mau menerima keraguan sedikitpun dan hanya mau menerima sesuatu yang pasti. Pengetahuan yang benar-benar pasti tak sedikitpun mengizinkan adanya keraguan.

Pengalaman inderawi yang sering kali diklaim dapat mengantarkan pada pengetahuan nyatanya tak jarang melakukan kekeliruan. Descartes mengatakan dengan tegas bahwa segala sesuatu yang kita lihat, rasakan, raba, dengar dan cium dalam keadaan mimpi seolah-oalah adalah kenyataan. Padahal itu hanyalah mimpi belaka yang karenanya tidak ada dalam kenyataan. Sehingga, pengalaman inderawi pada akhirnya bisa menipu karena tidak memberikan batas yang jelas antara sadar dan mimpi.

Bahkan, matematika dan geometri yang kerap dipuji dan dikagumi oleh Descartes karena selalu mengantarkan pada kepastian pada akhirnya juga diragukan. Descartes berargumen bahwa kedua ilmu itu tak bisa dijadikan jalan untuk memperoleh pengetahuan karena kita acapkali melihat orang yang keliru dalam melakukan penalaran matematis atau geometris yang paling sederhana sekalipun.

Lalu, bila semuanya meragukan, lantas apakah yang pasti? Jawabannya adalah aku yang sedang meragukan. Seorang skeptis yang paling radikal sekalipun atau setan-setan jahat tak akan bisa meragukan aku yang sedang meragu. Dan dalam aku yang sedang meragu terimplisit aku yang tengah berpikir. Karena itu, ia berani berkata cogito ergo sum (Aku Berpikir, Maka Aku Ada). Jadi, pengetahuan yang pasti dapat diperoleh hanya melalui pikiran. 

Namun, ada dua hal yang patut diperhatikan dari slogan tersebut: pertama, Cogito yang dimaksud oleh Descartes dalam slogan tersebut bukanlah aktivitas berpikir sebagaimana umumnya. Cogito di sini dimaksudkan Descartes sebagai aktivitas menyadari sesuatu. Segala hal yang kita kerjakan, inginkan, harapkan dan pikirkan dapat disebut dengan Cogito bila terdapat status kesadaran yang menyertainya. Karena bisa saja kita melakukan sesuatu tapi kita tidak menyadarinya. Maka, bisa dikatakan bahwa aku yang menyadari adalah aku yang eksis.

Kedua, slogan tersebut juga bukan sebentuk inferensi. Ia bukanlah semacam deduksi yang diturunkan dari premis mayor sebagaimana dipahami dalam silogisme. Karena untuk memahami Aku Berpikir, Maka Aku Ada, kita mesti memasukkan proposisi Semua Yang Berpikir Pasti Ada. Proposisi tersebut bersifat pasti dan jelas. Pertanyaannya, dari mana kita tahu bahwa segala hal yang berpikir pasti ada bila kita hanya bercermin pada kasus kita sendiri?

Kita tidak bisa menggeneralisir sesuatu yang berangkat dari pengalaman subjektif kita sendiri. Karena itu, Aku Yang Berpikir, Maka Aku Ada merupakan proposisi yang jelas pada dirinya (self-evident), berdasarkan intuisi langsung dari pikiran. Dengan demikian, Aku sebagai subjek yang berkesadaran merupakan kebenaran yang apriori, sehingga bisa menjadi titik tolak untuk mengonstruksi fondasi pengetahuan yang pasti. 

Kita bisa memahami bahwa ke-eksisan/kemengadaan seseorang dideterminasi oleh Cogito. Manusia bisa eksis menjadi manusia ketika ia berpikir. Pikiran adalah entitas yang sempurna karena kapasitasnya yang tak dapat diragukan. Sementara tubuh adalah seonggok daging yang tak bisa apa-apa bila tak diregulasi oleh pikiran. Distingsi antara tubuh dan pikiran ini dilakukan oleh Descartes demi meneguhkan Aku sebagai substansi yang berpikir. Descartes percaya bahwa Aku yang berpikir bisa eksis tanpa adanya tubuh. 

Guna memperoleh pengetahuan yang pasti, Aku yang berpikir itu harus mendeduksikan eksistensi yang lain dengan menggunakan persepsi yang jelas dan terpilah-pilah (distinct and clear). Jelas yang dimaksud di sini adalah persepsi yang secara jernih hadir dalam pikiran. Sementara terpilah-pilah maksudnya ialah bahwa persepsi yang satu dengan pengetahuan yang lain terpisah secara tajam, sehingga tidak bercampur sembarangan.

Namun tidak cukup sampai di sini. Descartes percaya bahwa setan-setan yang jahat bisa menipu persepsi yang jelas dan terpisah-pisah itu bahkan yang sederhana sekalipun. Kita mungkin sedikit geli terhadap keraguan Descartes yang agaknya terlalu mengada-ngada atau hiperbolik. Namun, Descartes sebenarnya hendak menjawab pertanyaan yang diajukan sendiri: Apa jaminan yang membuat pengetahuan yang kita peroleh melalui pikiran itu pasti? Dengan tegas Descartes menjawabnya Tuhan. Dalam konteks ini, ia memostulatkan Tuhan sebagai entitas yang Maha Sempurna dan Maha Baik yang karenanya, pikiran sebagai anugerah yang Ia berikan kepada manusia tak mungkin mengandung kecacatan atau ketaksempurnaan.

Skeptisisme Hume

Senafas dengan Descartes, Hume adalah filsuf yang hendak membangun sistem fondasi filsafat yang benar-benar baru. Namun, tak seperti Descartes yang bertolak dari rasio, Hume melaksanakan proyek itu dengan bertolak dari pengalaman. Ia percaya bahwa dengan pengalaman, ia mampu merumuskan sistem filsafat yang dapat dipertanggungjawabkan dan terhindar dari asumsi-asumsi spekulatif seperti kaum rasionalis. 

Hume memulai rumusan itu dengan bertolak pada manusia. Di dalam kata pengantar Treatise of Human Nature, ia menjelaskan bahwa manusia digunakan sebagai titik awal untuk merumuskan sistem filsafatnya ialah karena ilmu pengetahuan sangat lekat dengan manusia itu sendiri. Ilmu pengetahuan pastinya dirancang dari, oleh dan untuk manusia. Tak ada ilmu pengetahuan yang terpisah dengan manusia. Segala ilmu pengetahuan pasti ada hubungannya dengan manusia. Misalnya, ilmu logika yang digunakan oleh manusia untuk melakukan penalaran secara sistematis, tepat dan handal. Karena itu, dengan mengetahui hakikat manusia kita dapat mengonstruksi ilmu pengetahuan yang jangkauannya memadai dan pasti. 

Namun, Hume menyadari bahwa menganalisis dan mengkaji manusia merupakan pekerjaan yang rumit. Tidak sebagaimana anggapan banyak ilmuwan dan filosof pada masa itu yang percaya bahwa manusia adalah makhluk yang berakal budi, Hume justru menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang lebih banyak menggunakan nafsu-nafsunya. Manusia dalam pikiran Hume bukanlah makhluk rasional, melainkan makhluk irasional. Akal budi hanya bisa tunduk dan patuh terhadap nafsu-nafsu manusia. 

Anggapan Hume tersebut bukan asal-asalan. Sebagai seorang ahli sejarah yang bahkan melahirkan karya The History of England dalam enam jilid, ia menunjukkan bahwa manusia dari dulu sampai sekarang lebih banyak menuruti nafsu ingin terkenal, senang, memuaskan ego dan lainnya, daripada akal budi. Hume mencontohkan bahwa perang antar bangsa lebih banyak didorong oleh segi irasionalitas, seperti menyebarkan agama atau menguasai daerah tertentu. Artinya, meneliti manusia merupakan pekerjaan yang kompleks.

Untuk itu, ia menggunakan metode ilmu alam yang ditemukan oleh Newton demi meneliti manusia. Karena sebagaimana Hume yang bertitik tolak pada kompleksitas fenomena manusia, begitupun juga dengan Newton yang bertitik tolak pada kompleksitas fenomena manusia. Jelas dengan demikian bahwa Hume melakukan observasi, eksperimen dan pengalaman yang menjadi konsep kunci dalam metode ilmu alam. 

Hal yang pertama kali diteliti oleh Hume ialah mengenai problem epistemologi manusia. Dengan lain kata, Hume hendak mencari bagaimana sesungguhnya manusia dapat memperoleh pengetahuan. Sebagai seorang empiris, Hume yakin bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indrawi. Pengalaman indrawi atau yang disebut dengan persepsi inilah yang merupakan objek pengetahuan. Persepsi merupakan tiruan yang tergambar dalam pikiran dari objek empiris di luar diri subjek.

Hume tidak peduli apakah benda yang kita persepsi ada atau tidak ada secara aktual; yang penting ialah bagaimana pengetahuan kita mungkin dari objek yang kita persepsi. Bahkan, ia bersikap skeptis terhadap kenyataan empiris yang material ini. Dan, diri kita sendiri sebenarnya tak ada karena yang ada adalah persepsi atas diri kita. Karena itu, Hume merupakan seorang empiris yang radikal. 

Hume membagi persepsi menjadi dua yakni, kesan-kesan (impression) dan ide. Kesan-kesan ialah sesuatu yang kita tangkap secara langsung dalam kesadaran dari objek yang telah kita indra. Sementara ide ialah tiruan dari objek-objek yang kita peroleh dari kesan-kesan. Kesan-kesan itulah yang membentuk ide dalam diri kita. Untuk membuktikan bahwa pengetahuan yang kita peroleh berdasarkan kesan-kesan dan ide, Hume mengajukan dua argumen: pertama, apabila kita menganalisa ide kita tentang sesuatu, maka kita bisa mencacah ide hingga ke taraf yang sederhana (simple ideas) yang berasal dari kesan-kesan yang telah kita peroleh. Misalnya, ide tentang rumah. Kita dapat mencacah menjadi ide dinding, ide atap, ide jendela, ide pintu dll. Ide yang berasal dari kesan-kesan itu kemudian kita gabungkan, satukan dan bentuk menjadi ide rumah. 

Kedua, orang yang memiliki masalah terhadap panca indra, pastinya tak memiliki ide mengenai suatu objek. Misalnya, orang buta yang tentu tak memiliki ide mengenai warna dan orang tuli yang tentu tak memiliki ide mengenai suara. Kalaupun panca indra kita normal namun belum pernah mengindera suatu objek yang akan dijadikan pengetahuan, pastinya kita susah mendapatkan ide atau gambaran dalam pikiran mengenai objek tersebut. Misalnya, ide makhluk Leviathan. Kita yang belum pernah mengindra makhluk tersebut pastinya kesusahan membayangkan dan memikirkan bagaimana wujud makhluk tersebut. Dengan demikian, kesan-kesan memiliki peran krusial dalam mengonstruksi ide terhadap suatu objek. 

Hume meneruskan bahwa ide-ide yang diperoleh dari kesan-kesan bisa tersatukan karena adanya asosiasi. Asosiasi merupakan prinsip yang menghubungkan dan mensintesis berbagai ide yang berbeda dalam pikiran. Asosiasi memuat tiga prinsip: Pertama, kemiripan. Hume mencontohkan prinsip ini dengan pengalaman kita akan sebuah gambar. Kalau kita melihat gambar mengenai gambar sebuah pantai otomatis pikiran kita akan menghubungkan gambar pantai itu dengan gambar pantai lain yang pernah kita lihat. Kedua, kedekatan. Hume mencontohkan kalau kita melihat apartemen di sebuah bangunan, kita akan bertanya atau ingin tahu apakah apartemen itu berbeda atau sama dengan apartemen lain di bangunan tersebut. Contoh lain adalah ide tentang es batu dan mencair, seragam dan sekolah, penyakit dan obat dll. Ketiga, sebab-akibat. Hume mencontohkan bahwa kalau kita melihat luka, maka secara alami kita akan membayangkan rasa sakit yang diakibatkan oleh luka itu. Misal juga dalam kehidupan sehari-hari kalau kita melihat tanah yang basah maka secara alami kita akan mencari penyebab tanah itu basah.

Prinsip sebab-akibat (kausalitas) itulah yang mendapat tempat penting dalam filsafat Hume. Sudah pasti kita mafhumkan bahwa kausalitas memiliki kegunaan yang fundamental dalam memajukan ilmu pengetahuan. Suatu ilmu tak akan maju dan berkembang tanpa menggunakan prinsip kausalitas. Prinsip ini mengatakan bahwa suatu benda bisa eksis karena ada yang menyebabkan ia eksis. Dengan lain kata, prinsip ini mengandaikan dua hubungan benda, yang mana satu menjadi penyebab dan yang lain menjadi akibat. Misal, pakaian basah akan kering bila terkena sinar matahari, kertas terbakar bila terkena api, air akan mendidih bila dipanaskan oleh api dll.

Kausalitas itulah yang dipakai dalam metode induksi. Bagi mereka yang pernah belajar filsafat ilmu atau logika dasar pasti sudah tahu bahwa metode induksi ialah metode pengambilan kesimpulan yang umum dengan bertolak dari hal-hal khusus. Metode ini hanya mengambil beberapa sampel dari suatu gejala alam untuk kemudian mengandaikan kesimpulan mengenai gejala alam itu. Artinya, metode ini tak hendak meneliti suatu gejala alam secara total di dunia ini. Misalnya, air bisa mendidih karena dipanasi hingga suhu 100 derajat Celcius. Metode induksi tak akan meneliti tiap hari, tiap bulan atau tiap tahun untuk membuktikan bahwa air bisa mendidih bila berada pada suhu 100 derajat Celcius. Cukup diambil beberapa kali penelitian dan observasi, maka sudah diandaikan bahwa air bisa mendidih bila berada pada suhu 100 derajat Celcius. Kesimpulan ini menurut metode induksi sudah dapat diklaim valid dan handal.

Justru di sinilah letak ketidaktepatan yang dilakukan oleh metode induksi. Dengan lugu dan naïf, Hume mengajukan pertanyaan: Apakah juga di masa depan air bisa mendidih kalau dipanasi hingga suhu 100 derajat Celcius? Apakah jaminan yang membuktikan bahwa air akan selamanya mendidih kalau dipanasi hingga suhu 100 derajat Celcius? Memang sekarang kita bisa mengatakan bahwa air bisa mendidih kalau dipanasi hingga suhu 100 derajat Celcius. Namun, tak ada keniscayaan bahwa air bisa mendidih kalau dipanasi hingga suhu 100 derajat Celcius di masa depan. Bisa saja di masa depan air bisa mendidih kalau dipanasi hingga suhu 110, 120 atau 130 derajat Celcius.

Anggapan tersebut begitu konsekuen dengan penalaran aposteriori, yang mana kita hanya bisa menyimpulkan pengetahuan dari sesuatu yang telah kita alami. Kita tidak bisa mengambil kesimpulan dari sesuatu yang belum pernah kita alami. Karena itu, hubungan suatu benda yang terjadi di alam semesta ini lebih tepat disebut dengan serialisasi, bukan kausalitas. Artinya, suatu benda bisa eksis setelah ada benda yang mendahului eksis, bukan suatu benda eksis dikarenakan ada benda-benda yang menyebabkan ia eksis. Menyangkut air mendidih tadi, rumusannya jadi begini: air bisa mendidih setelah dipanasi hingga suhu 100 derajat Celcius, bukan air mendidih karena dipanasi hingga suhu 100 derajat Celcius. 

Menurut Hume, kita bisa menyimpulkan suatu hubungan dua benda menjadi kausalitas karena faktor kebiasaan (custom). Karena kita sering dan sudah terbiasa melihat air bisa mendidih kalau dipanasi hingga suhu 100 derajat Celcius, maka kita akan menyimpulkan hubungan itu menjadi kausalitas. Memang toh seperti dikatakan di atas, kausalitas merupakan salah satu prinsip yang termuat dalam asosiasi yang karenanya, memiliki peran penting dalam membentuk pengetahuan. Namun, bukan berarti apa yang diungkap oleh kausalitas bersifat niscaya. Sebab, ia hanya mengungkap apa yang terjadi di masa sekarang, sehingga belum tentu berlaku di masa depan. Dengan demikian, kausalitas sebenarnya adalah hasil imajinasi yang bertolak dari suatu kebiasaan tentang dua hubungan peristiwa yang terjadi secara berurutan. Imajinasi yang bersifat psikologis ini tak akan bisa dan tak akan pernah bisa menunjukkan kepastian metode induksi. Karena itu, tak ada kepastian dalam ilmu pengetahuan.

Sikap skeptis Hume tersebut juga dilakukan terhadap agama. Ia mengkritik paham idealisme yang menjamur pesat pada masa itu. Paham yang menyatakan bahwa alam semesta ini adalah sebuah arloji yang karenanya Tuhan tak lagi turut meng-intervensinya, bagi Hume, tak lebih dan tak kurang adalah kepercayaan naif tentang kausalitas. Ia juga mengkritik monoteisme yang menganggap Tuhan itu Esa dan Maha Sempurna. Pengalaman mendemonstrasikan bahwa alam semesta ini buruk dan jahat, maka bisa ditampik bahwa Allah itu Maha Sempurna. Toh juga tak ada pengalaman empiris menunjukkan bahwa Allah tidak dapat diketahui.

Berkaitan dengan imortalitas, Hume mengatakan bahwa manusia tak perlu mengandaikan kebaikan jiwa untuk melakukan kebaikan. Dunia di sana tak lebih hanyalah ilusi belaka. Orang bisa mewujudkan kebaikan di dunia ini tanpa mengandaikan adanya kehidupan setelah kematian. Lagi pula dunia yang ada di sana tak pernah kita alami dan amati. Dan mengenai mukjizat yang dipercaya oleh agama-agama, Hume mengatakan dengan tegas bahwa orang yang percaya dengan mukjizat adalah orang yang berpikiran infantil dan picik.

Skeptisisme Descartes Vs Skeptisisme Hume

Descartes hidup di masa renaissance, suatu masa ketika orang Barat mulai melepaskan diri dari kerangkeng doktrin gereja. Orang mulai berani sedikit-banyak berpikir di luar otoritas ajaran gereja. Dan orang juga mulai mencari sistem filsafat baru di luar filsafat skolatisisme. Descartes datang untuk memenuhi tugas tersebut. Ia berpretensi membangun sistem fondasi filsafat yang kokoh dan tak dapat diragukan lagi. Pretensi ini lahir dari kemuakan Descartes terhadap ilmu pengetahuan pada masa itu yang dibangun dalam fondasi yang rapuh, di mana bisa dilihat dari berbagai perdebatan dan pertentangan yang tak kunjung usai. Ia berangkat dari filsafat karena ia masih memahami struktur ilmu dari kerangka skolastik, di mana filsafat adalah ibu dari segala ilmu. 

Sistem fondasi filsafat yang tak menyisakan keraguan itu hendak dibangun melalui sikap meragu. Maksudnya, Descartes meragukan segala sesuatu demi menemukan kebenaran yang tak meragukan sedikitpun. Tujuan yang penuh perjuangan itu tercapai ketika ia melontarkan diktum Cogito Ergo Sum (Aku Berpikir, Maku Aku Ada). Dalam diktum ini, ia hendak mengatakan bahwa subjek Cogito merupakan titik tolak untuk memperoleh kebenaran yang kokoh. Subjek Cogito merupakan subjek yang berpikir dengan penuh kesadaran. Subjek yang tak pernah takut untuk meragukan apapun dan membersihkan segala prasangka subjektif demi menemukan kebenaran yang tidak diragukan. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan yang valid berpangkal pada keberanian untuk menyangsikan dan tuntutan akan kepastian (baca: objektivitas). Untuk menjamin kepastian itu, Descartes menyusupkan unsur teologis: Tuhan yang Maha Baik dan Maha Sempurna tak mungkin menganugerahi akal yang cacat. 

Di lain pihak, Hume, yang juga seorang skeptis lahir di masa Pencerahan. Ini adalah masa ketika orang Barat benar-benar berani berpikir secara mandiri, sebagaimana dimaklumatkan oleh Immanuel Kant. Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan orang mulai menjadi deistik, agnostik dan ateis pada masa ini. Hume datang untuk mendobrak kemapanan ilmu pengetahuan itu, sembari tetap berada dalam barisan orang yang bersikap kritis terhadap agama.

Dengan klaim bahwa manusia itu irasional, ia menunjukkan bahwa manusia mendapatkan pengetahuan bukan melalui akal, melainkan pengalaman. Dari pengalaman itulah manusia memperoleh kesan-kesan yang kemudian membentuk ide/pengetahuan mengenai suatu objek. Kesan –kesan tersebut bisa tersatukan karena adanya asosiasi yang meliputi prinsip: kemiripan, kedekatan dan sebab-akibat. 

Prinsip sebab-akibat atau kausalitas-lah yang diberikan tempat fundamental dalam filsafat Hume karena ia digunakan untuk membuktikan kesahihan ilmu pengetahuan. Dalam metode induksi yang mengimplisitkan kausalitas dipercaya bahwa kesimpulan universal dapat diambil dari observasi atas hal-hal yang sifatnya partikular. Metode ini mengandaikan bahwa beberapa sampel dari suatu observasi dapat digeneralisasi menjadi hukum yang universal, baik secara spasial maupun temporal, asalkan terbukti dan teruji secara empiris. Karena itulah, kepastian pengetahuan dapat ditemukan.

Hume menantang klaim tersebut. Kepastian pengetahuan tak akan pernah ditemukan karena metode induksi hanya meneliti objek di masa sekarang. Sungguh kesimpulan konyol dan gegabah bila hasil penelitian itu juga terjadi di masa depan. Sebab, pengetahuan yang benar dan valid berangkat dari sesuatu yang pernah kita alami, amati dan rasakan. Masa depan belum pernah kita alami, sehingga kita tidak bisa menetapkan pengetahuan untuk masa itu. Memang sekarang kita bisa mengatakan matahari terbit di sebelah timur, namun kita tidak tahu bagaimana besok atau lusa. Anggapan kita akan kausalitas hanyalah hasil imajinasi yang bersifat psikologis dari faktor kebiasaan mengenai dua peristiwa yang terjadi secara berurutan (custom). Dengan demikian, suatu benda bisa eksis disebabkan oleh benda yang lain hanyalah omong kosong belaka. Selain skeptis dengan keniscayaan ilmu pengetahuan, ia juga skeptis dengan Tuhan dan ajaran agama karena sama sekali tak terbukti secara empiris. 

Dari uraian tersebut, penulis menyebut skeptisisme Descartes sebagai skeptisisme metodis karena ia menggunakan sikap skeptis hanya sebagai jalan untuk menemukan kebenaran yang kokoh dan tak tergoyahkan. Melalui sikap skeptis itu ia justru mencari kepastian. Artinya, filsafatnya tak berakhir dengan keraguan dan tak menyisakan sedikitpun kepastian. Dan ujungnya, Tuhan dipercaya sebagai penjamin kepastian. Bertolak belakang dengan itu, penulis menyebut skeptisisme Hume sebagai skeptisisme filosofis karena kesimpulan filosofisnya berakhir dengan ketidakpercayaan akan keniscayaan. Memang awalnya ia hendak membangun fondasi filsafat yang pasti, namun ujungnya ia justru menemukan ketidakpastian. Dengan bertolak pada empirisme, kausalitas sebagai prinsip dari ilmu pengetahuan hanyalah omong kosong belaka. Dan karena bertolak pada empirisme itu pula, ia tak percaya akan Tuhan dan ajaran agama.

Daftar Pustaka

Descartes, R. (2004). Discourse on the Method of Rightly.1st World Publishing.

Descartes, R. (2013). Meditations on First Philosophy. Broadview Press.

Dion Yusila Timur, Clemen, “David Hume: Perspektif Atas Ide”, dalam https://lsfcogito.org/david-hume-perspektif-empirisme-atas-ide/ 

Ermandara, Dicky, “David Hume (1), dalam https://indoprogress.com/2017/02/david-hume-1/            

Hardiman, F. B. (2019). Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. PT Kanisius.

Hume, D. (2003). A Treatise of Human Nature. Courier Corporation.

Sitorus, F. K. (2016). David Hume, Sang Skeptis Radikal.

Sitorus, F. Kennedy, “René Descartes: ‘Saya Berpikir, maka Saya Ada’” dalam www.academia.edu, 2016.

Akbar Darojat

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat di Universitas Islam Negeri Surabaya

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content