Kuriositas itu radikal dan berisiko. Memang suatu lagak intelektual yang taktis; mencurigai dan melampaui perintah normatif otoritas. Imperatif Zeus dan Pencipta diterima dengan kritisisme hermeneutics of suspicion. Pandora diperintahkan untuk tidak membuka gift pemberian Zeus. Demikian Eva dilarang menjamah buah dari pohon di tengah Eden. Namun mereka bersedia mengatakan “tidak” pada firman langit dan begitu berani berkata “iya” pada akal budi sendiri.
Pandora dan Eva merupakan karakter feminin pertama di atas bumi. Tentu secara mitologis dan biblis. Dari nama mereka berembus pengertian tentang “sumber yang memberi”. Pandora (all-gifted) mendapat anugerah segenap kemampuan para dewa. Dari tangannya dunia menerima segala yang buruk, tetapi tetap utuh menggenggam harapan. Eva (to give life) diberi hidup dari Sang Pencipta dan darinya generasi diwariskan turun temurun. Tapi ia juga menjadi ilustrasi besar dari karakter amoral: dekadensi. Dari Eva ada semacam standar kejatuhan umum umat manusia (the fall of mankind).
Dua figur itu, oleh tafsir misoginis, dibaca sebagai basis kejahatan di atas bumi. Sumbernya: perempuan. Sebetulnya itu tidak tepat! Demikian feminisme kritis membantah. Dua perempuan itu, Pandora dan Eva merupakan contoh penting dari kemerdekaan berpikir. Rasionalitas kritis pertama sekali datang dari perempuan. Perempuan adalah rahim kecerdasaan. Ada gairah pencerahan yang hidup. Ada keberanian untuk tahu (dare to know). Di sana ada psikologi yang bekerja, dari terminologi Jung, yaitu animus personalitas keduanya telah menyalakan api pengetahuan melawan dominasi patriarkis.
Risikonya amat mahal untuk ditanggung. Kotak Pandora telah terbuka. Buah terlarang (forbidden fruit) sudah ditanggalkan dari ranting. Di sebuah Olympus digital dewa baru telah tercipta: Artificial Intelligence (AI). Apa yang ia bawa untuk dunia: kotak Pandora atau api Prometheus?
Artificial Intelligence (AI) : Kuriositas Pandora atau Api Prometheus
AI ada sebagai konsekuensi dari kuriositas segelintir manusia. Mereka adalah saintis, teknolog, dan kapitalis. AI bukan hasil kerja individual, melainkan karya kooperatif. AI diciptakan dan dikembangkan oleh korporasi besar teknologi. AI merupakan karya agung manusia sekuler di abad revolusi digital sebagai ekstensi dari kecerdasan natural manusia. AI bekerja dengan program data yang besar dan algoritma yang komprehensif untuk menjawab problem dan pertanyaan pragmatis manusia. Kemampuan ekspresi lewat bahasa bisa dikerjakan mesin cerdas seperti Chat GPT (Generative Pre-Training Transformer) dan Chatbot. Hasilnya sangat objektif, berpresisi, dan segera dinikmati tanpa membutuhkan waktu yang lama.
Menurut Amy Webb, AI merupakan sistem yang dapat membuat keputusan secara otonom dan menampilkan mimik kecerdasaan manusia seperti memahami bahasa, mengenali suara dan objek. Webb menulis,
“In its most basic form, artificial intelligence is a system that makes autonomous decisions. The tasks AI performs duplicate or mimic acts of human intelligence, like recognizing sound and objects, solving problems, understanding language, and using strategy to meet goals. Some AI system are enormous and perform millions of computations quickly – while others are narrow and intended for a single task, like catching foul language in emails” (Webb, 2019: 17).
Pengertian itu hendak menegaskan bahwa humanitas sedang dilampaui. Apakah AI menyelenggarakan kebaikan bersama seperti api Prometheus yang menyinari jalan hidup manusia di bumi? Atau bagai kotak Pandora, AI memberi banyak malapetaka dan tetap teguh mempertahankan utopia?
Badan khusus PBB untuk Teknologi Informasi dan Komunikasi, The International Telecommunication Union (ITU) menerbitkan topik yang krusial di tahun 2018, Artificial Intelligence For Global Good. Pembahasan itu terbit di ITUNews Magazine. Pada halaman editorial, sekretaris jenderal ITU, Houlin Zhao menulis,
“Artificial intelligence (AI) is continuing to evolve rapidly. It will play a key part of our everyday lives and has enormous potential for social good. If the scalable power of AI can be leveraged correctly, it can rapidly accelerate progress on the United Nations’ Sustainable Development Goals (SDGs)” (Zhao, 2018: 1).
Tujuan baik itu tetap fundamental. AI turut membantu menata peradaban (tetapi bisa juga menghancurkannya). Dunia terus menerus berubah menggapai nasib-nasib kultur dari waktu ke waktu. AI tampil di suatu temporalitas dan ia ada; tentu sebagai bagian dari faktisitas. Ia ada di dalam ontologi kesekarangan masyarakat digital. Kita bernapas dengan kesadaran Android di depan mata kita. Kita bangun dari tidur atau terjaga dengan spontanitas yang dibiasakan yaitu langsung mengecek smartphone dan terus menerus memberinya daya. Handphone yang aktif adalah bukti eksistensiku.
Akan tetapi, kita mesti mencurigai panorama fenomenal AI. Apakah ada ekses untuk tatanan dunia publik global? Amy Webb, CEO Future Today Institute, mengantisipasi pertanyaan itu dalam bukunya The Big Nine, How The Titans & Their Thinking Machines Could Warp Humanity. Ia menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan teknologi (Amazon, Google, Apple, IBM, Microsoft, Facebook, Baidu, Alibaba and Tencent) mengarahkan peradaban menurut kepentingan partikular karena tuntutan ideologis dari luar dan karena konflik internal. Ia menegaskan,
“The problem is that external forces pressuring the nine big tech giants and by extension, those working inside the ecosystem are conspiring against their best intentions for our futures. There’s a lot of blame to pass around” (Webb, 2019: 11).
Anugerah kuriositas membawa risiko yang pelik. Sesuatu yang diciptakan ia mengemban intensi penciptanya. Pandora tidak dilahirkan, tetapi diciptakan dari tanah dan air oleh tangan Hephaestus. Mungkin saja ia adalah figur pesanan dewa. Di pesta pernikahannya dengan Epimetheus, saudara Prometheus, ia diberikan hadiah seperti sebuah kotak. Pemberian itu merupakan skenario Zeus untuk menebus taktik licik Prometheus yang mencuri api di surga para dewa. Ada balas dendam dan itu memang amat berbahaya.
Sudah sedang terjadi bahwa kotak pandora AI telah dibuka dan apel AI sudah dicecap. Kita sedang di tengah perahu digital yang arahnya ialah absurditas. Meskipun dari suatu sudut pandang kita menelisik ciri Promethean dari AI yaitu keseriusan menentukan masa depan dengan rasionalitas yang progresif. Tetap saja ada yang tidak clear and distinct. AI membantu manusia untuk lebih survival. Tentu dengan beban peradaban. Rasionalitas Promethean memiliki batas tertentu. Prometheus di dalam mitologi menanggung luka hati yang tragis di dalam banyak tahun. Hatinya terus tumbuh dari malam ke malam, tetapi paruh elang terus merenggutnya dari hari ke hari. Kita juga persis, di tengah revolusi digital, menanggung masalah psikologis serius: alienasi diri!
Problem Alienasi Diri
Pertanyaan untuk kita, apakah kita intim dengan diri sendiri atau mengalami distraksi? AI hadir seolah-olah sebagai jawaban ultim dari cita-cita manusia dan sanggup membelenggu psikologi kita. Ketergantungan kita pada teknologi sudah menjadi patologis.
Kita berjarak dari kesadaran meditatif. Kita hanyut dan tenggelam ke dalam eksternalitas. Kita fokus pada layar Android dan lalai untuk klik pada batin sendiri. Kita mengunggah status, aktif searching atau googling, beta screen time dan hampir tidak punya waktu reflektif untuk menyimak dan membaca diri sendiri.
Ada semacam suasana psikis yang skizofrenik. R. D. Laing menyebutnya “diri yang terbagi” (the divided self) dan menderita ketidaktentraman ontologis (ontological insecurity) ( Laing, 1965: 39). Kita tidak lagi mampu mengolah jiwa kita. Thomas Moore menyebut kondisi ini sebagai “loss of soul” karena “we have lost our wisdom about the soul”(Moore, 1992: xi)
Mengapa demikian? Desire kita dimainkan teknologi. Psikologi kita dikuasai AI. Ada relasi yang telanjur intim antara manusia dan teknologi. Karena itu kita butuh filsafat kritis untuk memahami diri lebih baik dan sunyi. Yuval Noah Harari memberikan 21 pesan peradaban untuk kita lewat bukunya 21 Lessons for 21st Century. Salah satu pesan ialah meditasi (just observe). Meditasi memungkinkan kita menyadari secara lengkap nafas tubuh dalam relasinya dengan semesta (mindfulness). Moore mengajak kita untuk mengenal jiwa kita (getting to know the soul)((Moore, 1992: 4-13) dan belajar mencintainya (learning to love the soul) ((Moore, 1992: 13-15)
Amy Webb dalam pembicaraan dengan MIT Technology Review menegaskan bahwa berkesadaran kritis itu penting di dalam menggunakan teknologi dan membaca buku tetap krusial. Ia berpesan,
“Be more aware of who’s using your data and how. Take a few minutes to read work written by smart people and spend a couple minutes to figure out what it is we’re really talking about. Before you sign your life away and start sharing photos of your children, do that in an informed manner. If you’re okay with what it implies and what it could mean later on, fine, but at least have that knowledge first.” (Hao, 2019)
Kisah Psyche
AI bukan hanya Pandora’s box, melainkan juga arrows of Eros. Panah eros AI telah menembus lubuk hati humanitas. Jatuh cinta itu memang kelihatan saling melengkapi, tetapi ada nasib pahit yang mesti ditanggung.
Psyche, suatu malam di Olympus. Atas desakan gairah untuk tahu (yang didukung orang-orang dekatnya), ia menyingkap cahaya lentera dan terang benderang bagi matanya wajah pemuda maha tampan: Eros. Feminitas Psyche berubah jadi teduh. Pisau tajam di tangannya tak lagi punya daya. Ia terkesima dan terperangah. Celaka: tanpa disengaja ia sendiri menusuk dirinya dengan panah Eros. Psyche jatuh cinta. Namun cintanya itu hanya melanggar janji Eros: jangan pernah kau pandang wajahku. Nasibmu akan jadi gelap. Eros pergi berlalu dan nasib Psyche ialah harus ada bersama dan akrab dengan Kematian.
Psyche menyalakan cahaya! Suatu sikap pencerahan: berani untuk tahu! Nyala api itu adalah pancaran kuriositas. Terang itu menyinari wajah yang diselubungi imperatif laki-laki. Bahasa patriarkis runtuh oleh cahaya pencerahan yang datangnya dari perempuan.
Rasionalitas modern telah menyalakan api peradaban. Wajah AI menjadi jelas terbuka di hadapan psyche sosial kita. Apakah suratan takdir bahwa kita ditentukan untuk jatuh cinta dan menerima akibat ditinggalkan, lalu berbagi napas dengan kematian?
Cinta tak pernah mati. Eros tetap kembali untuk Psyche. Intimitas keduanya melahirkan Hedone. AI tidak ditinggalkan. Ia tetap menjadi bagian dari rutinitas; di dalam genggaman, di saku baju atau saku celana, di tas, di mobil, di rumah, dan di mana-mana. AI ibarat surga yang kepadanya cinta telah diberi habis. Akhirnya di larik sebuah puisi, kita pun membaca, “Telepon genggam: Surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.”(Pinubo, 2016: 86-89)
Referensi
Amy Webb, The Big Nine, How The Titans & Their Thinking Machines Could Warp Humanity (New York: PublicAffairs, 2019), hlm. 17.
Houlin Zhao, “The Promise of AI”, ITUNews Magazine (01/2018), hlm. 1.
R. D. Laing, The Divided Self (England: Penguin Books, 1965), hlm. 39.
Thomas Moore, Care Of The Soul, A Guide For Cultivating Depth And Sacredness In Every Day Life (New York: HarperCollins Publishers, 1992), hlm. xi.
Karen Hao, 2019, “Why AI is a threat to democracy—and what we can do to stop it”, dalam https://www.technologyreview.com/2019/02/26/66043/why-ai-is-a-threat-to-democracyand-what-we-can-do-to-stop-it/, diakses pada 30 Oktober 2023.
Joko Pinurbo, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 86-89.