Johannes Gutenberg examining a proof dilansir dari northwindprints.com
Johannes Gutenberg examining a proof dilansir dari northwindprints.com

Pernahkah kita berpikir kenapa permasalahan-permasalahan umat manusia dari sejak dulu hingga sekarang tak pernah terselesaikan? Berbagai macam cara, metode, teknologi diciptakan guna mengatasi problematika kehidupan manusia. Hasilnya selalu sama: Penyelesaian tambal sulam.

Tingginya pengangguran, kemiskinan, pembunuhan, pengeksploitasian dapat dibingkai dalam suatu frame besar yakni penindasan. Tak dapat dipungkiri, kehidupan modern menjanjikan masa depan yang cerah dengan ilmu pengetahuan. Janji suci di Zaman Pencerahan tetap dirindukan oleh para manusia yang hidup di dunia. Sayang, harapan akan pemenuhan janji itu selalu pupus laksana menggelindingnya batu yang didorong oleh Sisifus. Di era di mana kapitalisme menang ini, masalah-masalah tersebut datang dan pergi silih berganti. Mungkinkah kita salah dalam memandang permasalahan tersebut? Mungkinkah pandangan kita sudah dibelokkan oleh para “elit-elit” yang mungkin saat ini sedang bersidang di sebuah gedung megah?

Zaman modern dicirikan dengan kemenangan ilmu pengetahuan atas mitos. Segala hal yang dirasa tidak sesuai dengan rasionalitas hendaknya dienyahkan sejauh-jauhnya karena sejatinya hal tersebut memperbudak manusia. Immanuel Kant menyatakan manusia harus menggunakan akal budinya agar terbebas dari ketidakdewasaan (An Answer to the Question: What is Enlightenment? by Immanuel Kant 1784). Dengan kata lain, berani berpikir sendiri. Bebas dari segala macam dogmatisme entah itu agama, raja, dan otoritas lainnya. Dengan berpikir menggunakan akal budi maka manusia dapat bebas dari ketidakdewasaan dan terbebas juga dari penindasan. Manusia dengan rasionalitasnya selalu ingin menguasai alam. Alam dipandangnya sebagai objek yang harus ditaklukkan agar manusia bebas. Tetapi pada akhirnya, manusialah yang “diperbudak” oleh alam dan sistem yang diciptakan manusia itu sendiri. Bagaimana manusia, pada puncak kemenangannya atas alam, menjadi tawanan bagi ciptaannya sendiri dan berada dalam mara bahaya yang menghancurkan dirinya sendiri? (Fromm, 2019).

Rasionalitas diperas sedemikian rupa hingga menyisakan satu kemampuan saja yakni rasionalitas instrumental. Rasio sebagai alat untuk menguasai alam. Ironisnya, pada akhirnya alam lah yang berhasil menguasai manusia. Manusia diperbudak sistem yang mereka ciptakan sendiri. Mega-mega-mesin macam sistem sosial diciptakan oleh manusia untuk efisiensi pada akhirnya malah memperbudak mereka sendiri.

Memang kemudian Pencerahan berhasil melahirkan capaian-capaian besar seperti ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini nantinya juga akan melahirkan berbagai teknologi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Hal ini dimungkinkan berkat cara berpikir yang sangat rasional hasil dari pendayagunaan akal budi yang telah dibukakan jalannya oleh Kant di Abad Pencerahan. Akan tetapi, ternyata cara berpikir yang melulu rasional ini menjadi senjata makan tuan. Rasionalitas yang sebelumnya kaya akan kemampuan lain selain mengklasifikasikan kini direduksi menjadi sebatas alat untuk menguasai alam. Akal budi dianggap hanya sebagai alat untuk suatu tujuan yang sifatnya subjektif (Sindhunata, 2021). Janji Pencerahan yang ingin menaklukkan alam dengan rasionalitas sebagai senjatanya. Konsekuensinya adalah manusia dengan kekuatan akal budi dan juga keserakahannya mengeksploitasi alam semaksimal mungkin. Janji pencerahan tak terpenuhi malah pada akhirnya, anak emas zaman Pencerahan yakni cara berpikir yang sangat rasional dan teknologis memakan korban berjuta manusia dalam rezim fasisme Nazi. Die Aufklärung frisst ihre eigenen Kinder, Aufklärung memakan anaknya sendiri.

Beberapa waktu yang lalu, Jokowi meneken salah satu Peraturan Pemerintah (PP) yang memberikan izin bagi ormas keagamaan untuk melakukan kegiatan pertambangan. Ini adalah contoh penggunaan akal secara instrumental. Secara politis, hal ini sangat penting bagi Jokowi untuk melegitimasi politik dinasti yang tengah dibangunnya. Jokowi menyusun taktik dengan akalnya untuk tujuan yang subjektif, yakni tujuan yang dibuat oleh Jokowi sendiri. Alam yang sudah rusak ini tidak diperdulikannya. Dari sisi ormas keagamaan sendiri menyambut baik dan menganggap ini sebagai sarana untuk meraih keuntungan. Keuntungan menjadi satu-satunya yang dipedulikan disini.

Katastrofi tidak berhenti sampai di situ saja. Bahkan di era sekarang ini katastrofi ini bertambah parah dan mengejawantah dalam berbagai problematika manusia. Di zaman kita yang ditandai dengan kemenangan kapitalisme dan sangat positivistik ini berhasil menyisihkan ilmu-ilmu humaniora seperti filsafat dan sastra. Ilmu humaniora persis karena tidak mempunyai kegunaan praktis maka tidak perlu dipelajari. Dan juga ilmu filsafat dan sastra tidak akan menggerakkan mesin-mesin di pabrik maka dari itu tidak mendapatkan perhatian. Para sastrawan dan pemikir harus luntang-lantung mencari pundi-pundi uang dengan pekerjaan sampingan. Mungkin juga ada beberapa momen ketika mereka menyadari bahwa kegiatan sastrawi atau falsafi yang mereka lakukan sama sekali tidak mendatangkan kebermanfaatan bagi manusia. Padahal, ilmu humaniora adalah pembangun rasa manusia.

Ada sisi dalam diri manusia yang harus dipertajam dengan perasaaan dan ini dapat dilakukan dengan humaniora. Hidup manusia tidak hanya rasional saja akan tetapi juga harus memperhatikan sisi humanisme. Tanpa humaniora manusia akan jadi serigala-serigala yang tak tau rasa belas kasihan dan ketidakberuntungan yang dialami oleh sesamanya. Dan bukankah sekarang ini serigala-serigala berkeliaran tak hanya di gedung pemerintah, akan tetapi juga dalam kantor dan ruang kerja. Mereka memakai kemeja lengkap dengan dasinya, sekali kita lengah atau berbuat kesalahan, mereka akan melahap dan menjatuhkan kita.

Para sarjana kita sudah beribu-ribu lembar menulis paper, artikel jurnal akan tetapi entah mengapa manfaatnya tidak terasa di masyarakat. Tulisan mereka tidak berhasil menjadi praksis untuk suatu perubahan sosial. Begitu juga inovasi yang terus muncul dan teknologi yang baru ditemukan malah dibeli oleh para pemilik modal untuk kemudian diproduksi secara masal demi keuntungan kapital.

Proyek Pencerahan pada akhirnya jadi mitos dan menyeleweng dari tujuannya semula untuk mengemansipasi manusia (Sumarwan, 2009). Bahkan, mitos sebagai musuh dari Pencerahan dan berbagai produknya, tiba-tiba menyimpan potensi emansipasi manusia. Jika kita tumbuh dalam tradisi Jawa, mungkin di masa kecil kita dilarang untuk mencabut tumbuh-tumbuhan karena kata orang tua kita di sekitar tempat itu ada makhluk halusnya. Sebenarnya mitos seperti ini diciptakan agar tumbuhan di sana tetap lestari. Namun, bila kita memandang dengan kacamata manusia modern yang positivistik, maka akan terdengar sangat irasional dan bodoh. Pembalikan terjadi dan hendaknya jadi refleksi apakah kita harus seradikal itu untuk melakukan Pencerahan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada akhirnya, perubahan yang betul-betul bisa dilakukan hanyalah berupa tambal sulam saja. Masyarakat sudah terlalu terjerumus ke dalam sebuah sistem yang sama sekali tak menghendaki adanya oposisi. Meski kapitalisme beberapa kali dihantam krisis yang mengancam keruntuhannya, ia tetap kokoh berdiri merubah segala-galanya menjadi kekayaan bagi segelintir orang belaka. Industri baru bermunculan juga ketimpangan-ketimpangan semakin melebar. Humanisme dikorbankan dan mesin-mesin terus berkembang. Akal budi hanya jadi alat saja untuk mementingkan diri sendiri dan memanfaatkan orang lain. Maka katastrofi terjadi dan manusia melangkahkan kakinya menuju perbudakan yang tak mereka sadari.

Refleksi di atas sejatinya adalah sebuah renungan perihal katastrofi zaman ini dengan menggunakan kacamata dari filsuf Mazhab Frankfurt seperti Marx Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm, dan lain-lainnya. Pada akhirnya, sulit sekali membayangkan sebuah masyarakat yang teremansipasi. Pesimis memang, karena itulah yang paling realistis.

Daftar Pustaka

An Answer to the Question: What is Enlightenment? by Immanuel Kant 1784. Diambil 2 Agustus 2024, dari https://www.marxists.org/reference/subject/ethics/kant/enlightenment.htm

Fromm, E. (2019). Revolusi Harapan. IRCiSoD.

Sindhunata. (2021). Dilema Usaha Manusia Rasional. PT Gramedia Pustaka Utama.

Sumarwan. (2009). Odysseus, Mitos dan Pencerahan. Dalam Satriyo (Ed.), Para Pembunuh Tuhan. PT Kanisius.

Sifaul Khuluf

Mahasiswa Unair dan Anggota BEM FISIP Unair

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.