potret wittgenstein
Wittgenstein

Saya membayangkan suatu dunia yang sepi dan diliputi ketakutan. Dunia itu ibarat Golgota tempat penyaliban. Golgota adalah tempat ‘tengkorak’ (place of the skull), malam gelap wajah kematian, deru gemuruh malapetaka, segenap jasad berlabuh di sana. Dunia ‘golgota’ masih kita alami hari-hari ini. Mulai akhir Desember 2019 dan entah sampai kapan peradaban dunia dilanda malapetaka pandemi global Covid-19. Virus Corona telah menyerang dunia dan merenggut begitu banyak nyawa manusia. Kehilangan beribu-ribu, kecemasan berlaksa-laksa. Duka ini lebih dalam dari laut, lebih luas dari samudera.

Dunia nyaris sepi. Banyak orang yang telah berpulang. Virus ini mematikan. Menghambat begitu banyak akses kehidupan. Relasi politik dan ekonomi terhambat. Interaksi sosial dibatasi dengan suatu jarak sosial yang mengurangi penyebaran. Indonesia berada pada situasi krusial penanganan dan pencegahan Covid-19 dan penyebarannya. Sebagian orang masuk ruang isolasi dan sebagian besar harus tetap di rumah. Bahkan segala macam aktivitas kolegial baik yang rohani dan profan diberi batas. Umat beriman tidak lagi bebas beribadah di rumah Tuhan.

Namun di tengah ketidakpastian justifikasi sains, kerja ilmiah laboratorium dari para ilmuwan, sebagian besar umat manusia kembali menemukan optimisme untuk hidup lebih tegar lagi. Aktivitas sosial kembali agak normal. Dunia empiris sebagai tempat hunian terasa tidak sepi-sepi amat. Akan tetapi dunia batin masih tetap di ambang batas. Dunia tidak hanya berarti tempat tinggal, tetapi juga kompleksitas “pengalaman ada” yang terus berubah. Pengalaman dunia hari ini adalah tragedi dan trauma. Karena itu lapangan fisik tampak ramai, tetapi dunia batin masih begitu sepi dan masygul. Dunia adalah pardoks tanpa akhir antara dua kutub bertentangan, baik-buruk, gembira-sedih, cinta-benci, dan lain-lain. Dunia memang sungguh sangat kompleks. Dunia di tengah pandemi adalah sekolah penderitaan tempat manusia belajar lebih serius lagi untuk menata hidup di dalam dunia.

Dunia di tengah pandemi Covid-19 adalah dunia duka dan derita. Kita berkabung atas kepergian kekal sesama saudara akibat serangan Covid-19. Kita ingat dengan doa yang tabah dan rindu yang lirih mereka yang mati di Cina, Italia, Jepang, Amerika Serikat, di mana-mana, juga di negeri tercinta Indonesia. Dunia kita hari ini jadi sepi dan diliputi ketakutan.

Kematian di mana-mana, und niemand Weiss weiter (dan selanjutnya tak seorang pun tahu). Kita hidup dalam Gezeiten des Schweigens (saat-saat bungkam). Dalam situasi ini masih sanggupkah kita banyak bicara ataukah kita memilih diam?

Ludwig Wittgenstein menulis, “Woüber man nicht sprechen kann, darüber muss man schweigen” – Apa yang tak dapat dibicarakan, tentangnya orang mesti diam. Bahasa manusia terbatas. Sesuatu yang berada di luar kenyataan dunia tidak dapat diungkapkan bahasa. Batas bahasaku adalah batas duniaku. Demikian keyakinan epistemologis filsuf bahasa Ludwig Wittgenstein. Namun seorang filsuf lain berkata,

“Tentang apa yang tak terucapkan. Kita harus mengucapkan jua. Sebab dari situlah kita hidup. Dan dari situ pun kita mati.”

Bahasa adalah dasar eksistensial kehidupan manusia. Manusia hidup dalam dan melalui bahasa. Dengan bahasa manusia merealisasikan jati dirinya. Bahasa adalah kekuatan terberi. Ialah logos yang menjadi dasar kita hidup sebagai manusia dan membantu kita mengerti kematian. Kita hidup dan mati di dalam logos, sabda, firman, bahasa. Dengan ini bukan tidak mungkin jika bahasa manusia sanggup mengucapkan perkara-perkara di luar kesanggupnya sendiri. Kita tak hanya diam, tetapi harus bisa bicara tentang penderitaan dan tragedi paling keji. Karena dengan itu kita memberi makna kepada sesuatu yang tampak seperti misteri.

Kita memaknai penderitaan dan kematian dengan pertama-tama diam, tunduk rendah di hadapan kuasa Tuhan lalu berjuang membahasakannya supaya kita dapat belajar dari pengalaman. Karena itu, dalam situasi penderitaan dan kematian akibat virus corona kita bertanya, mengapa ini terjadi, siapa yang membuat virus yang menyebabkan kematian umat manusia, dan di manakah Tuhan dalam penderitaan dan kematian ini.

Wuhan, salah satu kota tersibuk di Cina dengan kualitas pendidikan dan penelitian laboratorium yang memadai, menjadi tempat pertama berkembangnya virus Corona. Di kota ini terdapat pasar seafood yang dikenal dengan Huanan Seafood Wholesale Market, yang menjual juga hewan-hewan seperti kelalawar, ular, tikus, babi, dan lain sebagainya. Pasar Huanan, kini dikenal sebagai tempat pertama menyebarnya virus corona. Dicurigai virus ini berasal dari kelawar sebagai reservoir yang potensial untuk SARS-Cov atau SARSr-Cov (Severe Acute Respiratory Syndrome related Corona virus). Virus ini mirip dengan virus corona pada kelalawar dan bersifat zoonotik. Awalnya menyerang binatang, tetapi kemudian transmisinya pada manusia dengan menyerang saluran pernapasan. Covid-19 menyebabkan sindrom penapasan akut berat sehingga jumlah kematian kian meningkat dari waktu ke waktu.

Barangkali ada yang mencurigai bahwa virus ini dibuat oleh manusia demi kepentingan politik ekonomi global. Namun kerja laboratorium membuktikan bahwa corona virus berasal epidemi alami yang kemudian menyerang daya vital manusia, ialah pernapasan. Analisa genetik menunjukkan adanya kedekatan dengan corona virus pada kelalawar. Dari kelalawar ke manusia dan dari manusia ke manusia lain. Berawal dari Wuhan kemudian menyebar secara global ke berbagai belahan dunia. Manusia adalah makhluk terhubung sehingga virus ini dengan mudah menyebar dari manusia suatu benua tertentu ke manusia berikut di belahan benua lain.

Covid-19 bisa kita sebut sebagai malum (keburukan, penderitaan). Jika ia dibuat manusia, penyakit virus ini bisa kita sebut malum morale. Keburukan moral yang dibuat oleh manusia. jika virus hadir secara alamiah, kita bisa menyebutnya malum physicum. Keburukan alamiah yang ditimpahkan alam kepada manusia. Namun kita pasti terus bertanya mengapa virus ini  ada dan menyebabkan kematian global.

Barangkali penulis memiliki alternatif jawaban, bahwa pandemi global ini terjadi karena suatu keterbatasan fakta kehidupan alam semesta. Boleh jadi yang disebut sebagai malum metaphysicum. Keburukan metafisis, yang melampui pengertian fisis dan moral, keburukan yang ada secara ontologis pada struktur dasar keterbatasan manusia dan dunia. Manusia terbatas, dapat salah, melakukan kejahatan, menderita, dan dapat mati. Alam pun terbatas sehingga selalu mencari keseimbangan kosmis dengan berbagai benturan dan bencana.

Barangkali tragedi virus mengafirmasi suatu pencarian alam semesta akan sebuah harmoni universal. Virus korona telah merusak tatanan dasar hidup manusia dan segala bentuk peradabannya. Dunia yang damai dan harmonis telah digoncang oleh virus ini. Lukisan dunia yang anggun dirusak oleh penyakit global covid-19. Ia seolah menjadi bagian dari suatu keutuhan dan keteraturan yang lebih tinggi. Dan dengan pengalaman ini  kita belajar untuk melihat secara terbuka atas gambaran akan keseluruhan yang proposional. Kita sedang berada dalam ziarah menuju harmoni yang lebih tinggi.

Dari sudut pandang filosofis St. Agustinus tragedi kematian akibat covid-19 bisa kita pahami sebagai privatio boni (kekurangan kebaikan). Pandemi global corona virus terjadi bukan karena ketiada kebaikan, melainkan karena kurangnya kebaikan. Segala sesuatu diciptakan baik adanya. Maka sesungguhnya keburukan dan penderitaan tidak ada secara in se, dari dirinya sendiri. Keburukan tidak pernah ada dari dirinya sendiri, tetapi adanya bergantung pada bonum (kebaikan). Ia ada sejauh kebaikan direduksi ke arah yang buruk. Dengan ini kita bisa dihibur bahwa sebetulnya kuasa kebaikan dan rahmat Tuhan lebih besar dari apa pun penderitaan dan keburukan di dunia.

Barangkali Covid-19 merupakan keburukan dan penderitaan yang luar biasa di abab ini. Ia seperti menghantar kita ke ambang kematian. Keberadaannya hendak membenarkan apa yang dikatakan Martin Heidegger, sejak kelahiran setiap orang sudah cukup tua untuk mati. Kematian terasa begitu akrab sekali. Ia datang tanpa diundang dan dengan secepat kilat merengkut pulang nyawa orang hidup. Sungguh dunia hunian hampir sepi, hampir lenyap. Golgota membayang di mana-mana. Kita menyusuri jalan salib tragedi pandemi global covid-19. Semoga iman kita tetap hidup dan dengan rendah hati bersama pemazmur kita mengucap mohon, “Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu ya Tuhan! Tuhan dengarkanlah suaraku! Biarlah telingamu menaruh perhatian kepada suara permohonanku” (Mzr 130:1-2).

satu Respon

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.