Dewasa ini, kita hidup dalam kedekatan dengan berita-berita tentang tragedi dan kejahatan. Melalui masifnya perkembangan teknologi persebaran informasi di berbagai platform, setiap paparan berita adalah keniscayaan, baik melalui berita secara konvensional seperti oleh pers dan media massa, maupun bentuk-bentuk organik seperti jurnalisme warga yang tumbuh alami di media sosial. Percepatan eksposur terhadap berita-berita kejahatan ini, baik itu korupsi, eksploitasi, pelecehan, kekerasan, dan kejahatan kemanusiaan lainnya adalah kisah kelam yang mau tidak mau kita konsumsi setiap hari. Kisah kelam ini beserta wajah-wajah pelaku dan korban di dalamnya mungkin akan mengusik nurani terdalam kita.
Derasnya arus informasi ini telah menjadikan tragedi dan kejahatan sebagai tontonan publik. Para pelaku kejahatan di dalamnya digambarkan sebagai sosok yang dibenci, dikutuk, atau mungkin dikasihani dan dianggap masih layak diberi simpati, tergantung bagaimana narasi itu dibentuk. Lebih-lebih ajakan untuk bersimpati pada pelaku kejahatan atas nama kemanusiaan semakin sering muncul ke permukaan, salah satu yang terbaru adalah respons seorang presiden terhadap wacana pemiskinan koruptor dalam instrumen hukum RUU Perampasan Aset yang dinilai cenderung bersimpati pada keluarga koruptor (Indonesia Corruption Watch, 2025). Lalu satu pertanyaan besar layak diajukan: pentingkah bersimpati bagi pelaku kejahatan? Apakah simpati semacam itu mencerminkan belas kasih dan dalamnya rasa kemanusiaan, atau malah mengaburkan penegakan keadilan dan mengkhianati kemanusiaan itu sendiri?
Simpati sering dianggap sebagai salah satu bentuk upaya untuk menegakkan kemanusiaan, tidak terkecuali terhadap pelaku kejahatan. Simpati dinilai dapat mencegah terjadinya dehumanisasi pelaku kejahatan dengan menempatkan seorang pelaku bukan hanya dalam labelnya sebagai penjahat, tetapi lebih jauh dari itu, sebagai manusia yang utuh beserta segala jaringan kompleks sosial, psikologis, dan historisnya. Dalam hal ini, penjahat tidak dianggap sebagai personifikasi kejahatan. Memberikan ruang simpati terhadap mereka berarti akan memisahkan dosa dan kemanusiaan itu sendiri. Sehingga dalam koridor ini, setiap kita memandang wajah seorang penjahat, kita mengutuk dosa dan tindak kejinya tetapi tidak terhadap kemanusiaannya.
Dalam penegakan hukum, simpati kerap dipakai untuk mewujudkan keadilan yang tidak hanya sekadar punitif, tetapi juga rehabilitatif. Pendekatan ini jika diterapkan secara proporsional menjadi penting untuk mencegah kecenderungan penegakan keadilan yang kejam dan kaku. Seperti tercermin dalam asas hukum yang berbunyi summum ius, summa iniura (keadilan tertinggi bisa menjadi ketidakadilan tertinggi). Pengaplikasian hukum yang ketat dan rigid secara positif tidak mengenal sisi organik kemanusiaan serta tidak dapat memprediksi dan mengantisipasi keberagaman kasus-kasus hukum yang kompleks (Introvigne, 2024). Untuk menggambarkan kerangka ini, anggap saja terdapat seseorang yang secara sistematis menggelapkan dana untuk keperluan pribadi; dan seseorang lainnya yang mencuri uang secara terpaksa untuk sekadar bertahan hidup. Jika seorang hakim yang rigid memaknainya secara literal dalam hukum pidana, keduanya memiliki muatan kejahatan yang setara. Tetapi jika hakim tersebut menerapkan pertimbangan moral, keadilan substantif, dan simpati secara proporsional, keduanya tidaklah setara. Maka dari itu, simpati dianggap krusial untuk mendorong penegakan hukum yang lebih restoratif, alih-alih menjadi balas dendam yang diinstitusionalkan belaka.
Lebih jauh lagi, simpati memungkinkan kita untuk mendalami kompleksitas psikologis para penjahat. Penjahat tidak selalu hadir dengan wajah bengis, kejam, atau berperilaku seperti monster, tetapi bisa juga hadir sebagai individu yang terlihat biasa-biasa saja. Fenomena ini dikonseptualisasikan oleh Hannah Arendt, seorang teoritikus politik Jerman pada karya reportasenya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963). Arendt kala itu menghadiri pengadilan seorang birokrat Nazi, Adolf Eichmann yang berperan besar dalam kejahatan holocaust. Dalam reportase tersebut, Arendt mendapati bahwa Eichmann bukanlah seorang monster, tetapi seorang warga negara biasa yang patuh pada hukum. Arendt tidak menemukan tanda kejahatan pada diri Eichmann, dan ia menyimpulkan bahwa Eichmann hanyalah orang biasa yang berhenti berpikir secara moral dan tidak dapat mengidentifikasi kejahatan sebagai kejahatan karena sikap lurus dan patuhnya pada birokrasi teror Nazi. Konsep ini ia sebut sebagai banalitas kejahatan, yang didefinisikan sebagai situasi ketika kejahatan tidak lagi dirasakan sebagai suatu kejahatan, namun sebagai sesuatu yang wajar dan biasa saja. Simpati dalam pandangan Arendt bukanlah pemakluman bahwa Eichmann juga merupakan korban dari sistem totalitarian yang kebetulan bersifat kejam, tetapi peringatan bahwa siapa saja dapat jatuh pada kondisi banal jika manusia berhenti berpikir dan mengabaikan moralitas.
Walaupun simpati diperlukan untuk menegakkan keadilan yang lebih restoratif dan proporsional, nyatanya simpati yang berlebihan malah cenderung dapat memperkuat kondisi banalitas dari kejahatan itu sendiri. Pembacaan ulang terhadap konsep banalitas Arendt menunjukkan kepada kita bahwa kejahatan seperti dalam kasus Eichmann, selalu berakar dari sistem yang totaliter. Indoktrinasi yang ekstrem mungkin menyebabkan seseorang yang patuh pada sistem untuk jatuh pada ketidakberpikiran atas konsekuensi tindakan moral yang ia lakukan. Dalam sistem yang begitu mewajarkan kejahatan sebagai hal yang biasa, akar moral individu bisa tercerabut dan digantikan dengan normalitas perbuatan itu untuk menjaga konformitas dengan masyarakat di sistem tersebut (Tan, 2024).
Sistem totaliter yang ditunjukkan dalam kasus Eichmann ini, meskipun secara eksklusif mengacu pada rezim Nazi yang brutal, sesungguhnya dapat terjadi di segala jenis tatanan sosial, selama suatu tindakan yang buruk secara moral dianggap sebagai kewajaran. Jika kita dalami lebih jauh lagi, proses mewajarkan suatu tindakan imoral itu dapat dipicu oleh simpati berlebihan terhadap pelaku kejahatan itu sendiri. Simpati berlebihan memupuk kecenderungan untuk memaklumi tindakan seorang penjahat, anggapan bahwa penjahat juga menjadi korban dalam sistem kompleks yang permisif, sehingga pemakluman dan pewajaran menjadi tidak terhindarkan lagi.
Selain muncul dari diri pelaku kejahatan, pewajaran suatu perbuatan jahat menjadi hal yang bisa juga datang dari para pengamat di sekitar mereka. Kontribusi para pengamat sangat penting untuk mengidentifikasi apakah suatu perbuatan dianggap menyimpang, wajar, atau bahkan dapat diterima; sebagai upaya menjaga konformitas pada sistem moral yang telah terkonstruksi. Pentingnya kehadiran pengamat dalam suatu skema kejahatan dijelaskan oleh Ney (1988) sebagai triangle of abuse. Dalam artikelnya yang secara khusus menyelami diskursus tentang kekerasan anak, Philip G. Ney menyatakan bahwa untuk mensukseskan suatu tindakan kejahatan, diperlukan setidaknya tiga faktor yaitu perpetrator (pelaku), victim (korban), dan observer (pengamat) yang bersifat abai. Meskipun pengamat tidak secara langsung dan aktif terlibat dalam skema kejahatan, mereka berperan penting dalam menentukan keberlangsungan kejahatan tersebut. Jika pengamat kebetulan sadar dan peka, maka kejahatan mungkin dapat dicegah dengan menjadikan dirinya sebagai whistleblower dalam sistem. Namun jika ternyata pengamat mengabaikan tindakan pelaku, maka pengamat sendiri juga berperan sebagai evil enabler dalam model tersebut.
Bentuk pengabaian seorang observer dalam melihat skema kejahatan bisa berasal dari berbagai kemungkinan. Salah satunya adalah keengganan pengamat untuk terlibat secara aktif dalam situasi yang dianggap berisiko. Bentuk keengganan ini merupakan upaya untuk mengamankan diri mereka sendiri, dengan berpura-pura tidak mengetahui bahwa suatu kejahatan telah terjadi di depan mata mereka. Dengan berpikir demikian, pengamat yang abai percaya bahwa mereka tidak terlibat dalam kejahatan karena telah mengambil sikap netral dan tidak memihak. Kemungkinan lain adalah adanya konflik kuasa dari seorang pelaku, baik kepada korban maupun pengamat lain sehingga mereka merasa harus menjaga konformitas di bawah kuasa tersebut dan membiarkan kejahatan terjadi begitu saja.
Jika kita sandingkan dalam konsep banalitas kejahatan, proses pewajaran suatu tindakan imoral juga berperan dalam membentuk individu-individu pengamat yang abai (neglecting observer). Dalam kasus Eichmann dan holocaust oleh Nazi di atas, kejahatan dianggap banal bukan hanya karena peran indoktrinasi sentral oleh rezim yang totalitarian, tetapi juga ketidakpedulian masyarakat secara umum atas kejahatan yang terjadi (Passini, 2017). Masyarakat dalam hal ini, bertindak sebagai pengamat yang abai menunjukkan apa yang disebut sebagai bystander effect, yaitu ketidakpedulian struktural yang melanggengkan progresivitas suatu tindak kejahatan. Pengabaian dan ketidakpedulian, walaupun dianggap sebagai sikap yang netral, nyatanya adalah suatu bentuk keterlibatan pasif terhadap kejahatan.
Melalui serangkaian argumen ini, secara umum dapat ditarik benang merah bahwa simpati yang berlebihan dan tidak proporsional mungkin dapat menciptakan sistem yang menganggap tindakan imoral sebagai hal yang banal, wajar, dan biasa-biasa saja. Kondisi banalitas kejahatan ini pada gilirannya akan melahirkan para pengamat yang kehilangan sensitivitas etisnya dalam mengenali tindakan kejahatan. Maka dari itu, walaupun simpati adalah bentuk organik-afektif dalam menciptakan keadilan berimbang dan kemanusiaan yang utuh, ia juga dapat mengakselerasi proses terciptanya banalitas kejahatan dalam suatu tatanan psikososial, yang akhirnya hanya mencerminkan kemanusiaan sebagai ilusi semata dan melahirkan sistem yang lebih permisif bagi timbulnya kejahatan.
Maka, pertanyaan pentingkah bersimpati pada pelaku kejahatan bukanlah sekadar dilema moral, melainkan bentuk ujian bagi kejernihan etis manusia dalam membedakan kemanusiaan dan kekeliruan memperlakukan kejahatan sebagai suatu kewajaran. Simpati yang membabi buta dapat menjelma menjadi banalitas dan ilusi kemanusiaan. Kejahatan tetaplah kejahatan, dan keadilan harus tetap ditegakkan bukan dengan menanggalkan kemanusiaan, tetapi dengan menempatkan kemanusiaan secara proporsional dan berimbang: kepada korban, kepada pelaku, kepada masyarakat, dan pada akhirnya kepada penegakan hukum itu sendiri.
- Dicky Cahyo Anggoro#molongui-disabled-link