Di lembah Coachella, ratusan ribu orang berkumpul dan hidup di tenda-tenda menyambut matahari terbit bersamaan dimainkannya aransemen yang mereka nantikan. Beruntai manik meriah, bergaun aneka rumbai, masyarakat kelas atas sejenak hidup seperti orang Indian dan musik EDM di padang California Selatan. Lebih dari seminggu para pengunjung festival menyulap diri menjadi para pengungsi tenda dan karavan: termasuk keluarga miliarder Indonesia dan ribuan kaum elit lain. Fenomena yang membuat Coachella Music and Art Festival menarik sebagaimana punk dan sikap kontra kemapanan lain ditransformasi menjadi komoditi yang bernilai.

Bohem keturunan Czech maupun mereka yang mengikuti jejak kaum Bohem dahulu berada di flat-flat kumuh Perancis. Mereka bertahan hidup dengan menjual lukisan atau puisi dan membaur dengan para buruh serta memiliki sentuhan intelektual sewajarnya kaum kritis. Sementara para Gipsi hidup nomaden sambil menjual kerajinan atau ramalan ke hutan Spanyol hingga TPA di Inggris untuk menggenapi perjalanan spiritualnya. Keduanya membaur dan menciptakan norma kontra kemapanan melalui sikap seperti cara berpakaian, pendirian komunitas, dan membentuk gaya hidup mandiri jauh dari cengkraman otoritas. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan tradisi mereka di tengah tata nilai-norma konvensional.

David Brooks menyukai istilah Bobo (borjuis-bohemian) untuk menandai kaum borjuis yang berusaha menjadi bohemian untuk sementara waktu. Masyarakat kelas menengah dan atas—yang selama ini mengamati dari jauh langkah-langkah kaum Bohem—kini berkesempatan menyerupai para peretas kemapanan. Menurut Brooks, kesempatan ini lahir dari percampuran kebiasaan masyarakat kota yang meniadakan kelas kecuali dalam hal belanja dan kerja. Di ranah intelektual, strata kelas sejenak diluruhkan. Kaum Bobo memiliki modal untuk menikmati kesucian kaum tertindas tanpa harus berada pada titik terendah peradaban. Karenanya Brooks menggambarkan kuasa etika borjuis kemapanan yang mampu mengutuk kesederhanaan menjadi emas Midas yang dapat diperjualbelikan.

Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.