Louis Althusser
Louis Althusser

Dewasa ini, masalah budaya di Indonesia telah menggerakkan pemikiran banyak orang. Budaya telah diidentifikasi sebagai faktor yang tidak dapat ditampik, yang mau tidak mau perlu diperhatikan oleh masyarakat dalam suatu negara. Secara spontan, masyarakat merasa bahwa budaya merupakan persoalan aktual yang mendesak dan menjadi suatu keharusan untuk setiap masyarakat dalam memikul tanggung jawab melestarikan dan menjaga budaya demi masa yang akan datang sebagai warisan atau peninggalan mereka kepada generasi selanjutnya. Manusia sebagai pelaku dalam kebudayaan, yang mana manusia dapat mengubah alam menjadi lebih manusiawi dan memanusiakan alam, sekaligus dalam kebudayaannya manusia mewujudkan diri, sehingga nantinya dapat mencapai pemenuhan kemanusiaannya 1.

Kedudukan manusia terhadap budaya terletak di posisi yang sentral, bukan manusia sebagai bagian dari masyarakat, melainkan sebagai pribadi. Segala kegiatan manusia perlu mengarah pada tujuan, karena manusia mempunyai potensi pada dirinya serta potensi pada alam, yang mana bebas atau terlepasnya diri dari alam untuk menggunakan alam secara bebas dan teratur. Namun, manusia mendapatkan sebuah budi atau kemampuan memilih, untuk menjaga dan merawat alam secara bebas, dan dalam menjaga dan merawat alam diperlukan budi yang bijaksana bagi manusia. Budi tidak sama dengan akal atau pikiran rasional, melainkan pikiran atau akal yang tergabung erat dengan kenyataan yang dapat dirasakan untuk ditimbang baik dan buruknya.

Sejalan dengan penjelasan yang terdapat dalam UUD 1945 Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan pasal 32 ayat 1 dikatakan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.2 Konstitusi dengan kata lain menyebutkan bahwa kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya.

Aspek formal dari kebudayaan terletak dalam budi yang ditransformasikan melalui fakta, data, situasi, dan menghadapi kejadian alam yang menjadi nilai bagi manusia, karena martabat dari kebudayaan akan selalu ditentukan oleh nilai-nilainya, tanpa adanya nilai akan ada perwujudan kemungkinan yang menyeleweng. Kebudayaan merupakan khayalan kosong jika tidak berdasarkan kebenaran, keutamaan, dan keadilan yang mana kebudayaan baginya merupakan seperangkat nilai dan kondisi material serta intelektual dan nilai moral dapat memungkinkan bagi manusia untuk berkembang secara harmonis dengan kehidupan bermasyarakatnya. Oleh karena itu, cara berpikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh aspek kehidupan manusia, membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu yang disebut sebagai kebudayaan. 

Penilaian masyarakat tergantung dari perbuatan dan tingkah laku manusia dalam bermasyarakat, pun demikian budaya selalu bergantung pada wilayah makna yang ada dalam diri manusia atau perilaku, dan dengan menegaskan penilaian sebagai sifat formal intrinsik dalam kebudayaan, maka ditolak sebuah pendekatan kebudayaan sebagai jalan hidup atau “a way of life” karena kebudayaan merupakan abstraksi perilaku manusia dari nilai dan penyempurnaannya. 

Budaya mengatur manusia agar mengerti bagaimana seharusnya bertindak dan menentukan sikap ketika berhubungan dengan orang lain atau masyarakat. Namun, pada era hari ini yang dikuasai teknologi dan ilmu pengetahuan yang telah mengalami banyak kemajuan, belum tentu budaya yang dijalankan oleh masyarakat pun ikut maju. Kita mengetahui, bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam kebudayaan, tapi mengapa Indonesia tidak mampu membudayakan budayanya di mata dunia? Justru, budaya negara lain yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. 

Misalnya, anak muda hari ini dalam berperilaku dan dalam menempatkan gaya hidup selalu mengkoneksikannya dengan budaya luar, seperti cara berpakaian dan tindak tutur yang secara nilai bahwa budaya luar atau dalam hal ini budaya Barat tidak sesuai dengan budaya yang ada di Timur yang telah kita kenal selama ini. Hal demikian, disebabkan oleh teknologi dan ilmu pengetahuan yang telah banyak ditunggangi oleh kepentingan kaum borjuis.

Kaum borjuis melalui teknologi telah memproduksi keseharian yang berada di budaya luar dan ditampilkan kepada budaya lokal, sehingga masyarakat lokal dipengaruhi budaya yang sedang tren dan menuntun masyarakat lokal untuk mengikuti perkembangan yang sedang tren di luar tersebut. 

Hal demikian sejalan dengan pemikiran Louis Althusser, budaya masyarakat akan pudar bilamana teknologi telah dikuasai oleh kaum borjuis karena jika kaum borjuis telah melebarkan kekuasaannya. Maka ideologi kaum borjuis atau dalam hal ini ideologi kapitalisme akan mendominasi ideologi yang lain 3. Budaya masyarakat Indonesia hari ini telah menjamur dengan ideologi kapitalisme, seperti industri waktu luang, industri kuliner, industri fashion, makanan instan, real estate, hingga serbuan gaya hidup mewah telah dikonsumsi oleh banyak masyarakat Indonesia dan membentuk budaya konsumerisme dan hedonisme.

Kapitalisme telah mereproduksi kekuatan dan kemapanan untuk menundukkan budaya masyarakat yang ada.

Kapitalisme telah berhasil menuntun kesadaran masyarakat modern untuk masuk ke dalam realitas semu, dan realitas semu ini merupakan tujuan untuk membentuk budaya masyarakat menjadi lebih konsumeristik yang telah diproduksi oleh pemilik kuasa ideologi terhadap sasaran ideologisnya, sehingga relasi sosial yang ada dalam masyarakat berbudaya tidak lagi terjaga stabilitas sosialnya.

Menurut Louis Althusser, ideologi adalah bentuk dari representasi hubungan imajiner yang ada dalam individu yang erat kaitannya dengan kondisi yang sebenarnya atau keadaan mereka hidup di dalamnya, dan apa yang direpresentasikan sebenarnya bukan realitas yang nyata melainkan bersifat semu. Lebih jauh, Althusser menunjukkan bahwa ideologi serta represif merupakan bagian dari mekanisme dalam kuasa negara sebagai alat untuk menguasai 4.

Proyek modernitas dan menyebarnya paham kapitalisme menciptakan relasi dalam budaya, namun relasi budaya tersebut menjadi ajang pertarungan nilai. Reduksi nilai ini mengakibatkan degradasi nilai dalam budaya yang tercermin dalam konsep kerja pada budaya kapitalisme. Nilai kerja yang tadinya hanya sebagai eksistensi perjuangan seseorang telah tereduksi sebagai upaya dalam mencari kekayaan. Modal ekonomi menjadi seluruh modal yang ada, sehingga modal sosial yang telah diajarkan budaya tercampakkan dari ranah kekuasaan, dan membuat konflik pertarungan kelas antara yang mengeksplorasi dan eksploitasi 5. Hal yang terjadi demikian diakibatkan keniscayaan pada kemajuan surplus yang ada dalam ekonomi dan diciptakan dari modus manusia ketika menganggap hidupnya sebagai yang telah mengubah. Louis Althusser memandang hal ini sebagai sains praktis yang mana membawa perubahan kepada alam serta manusianya. Awalnya perubahan ini memang sangat berguna, namun malah membawa transisi baru dan mengubah budaya yang ada di dalam relasi sosial manusia.

Kapitalisme selalu identik dengan paham progresifitas kemajuan yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial dalam masyarakat dan melahirkan masyarakat yang menghamba pada kemajuan serta meneguhkan budaya konsumtif dan budaya hedonis. Kemajuan yang diperlihatkan kapitalisme telah menumbangkan budaya yang telah diwariskan dalam masyarakat dan terganggunya harmonisasi yang ada dalam masyarakat berbudaya, Sehingga membuat budaya menjadi semacam ideologi pada era saat ini. Anthony Giddens menjelaskan bahwa masyarakat era saat ini berada dalam situasi yang sangat berbahaya (high consequence risk) karena hidup dalam ketidakpastian menghadapi hasil ciptaannya sendiri, yakni teknologi yang ditambah dengan semakin mendominasinya kapitalisme dalam masyarakat berbudaya. Penggunaan dan maraknya kapitalisme yang tidak bertanggung jawab atas ideologi ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat 6.

Kapitalisme dengan reproduksi kekuatan telah mengeksploitasi dan menguasai segala bidang ekonomi, dan para pekerja yang dieksploitasi merupakan reproduksi tenaga kerja yang tidak kalah penting bagi kapitalisme demi melenggangkan kekuasaannya. Para pemilik modal tentu akan memberikan upah kepada pekerja, upah yang diberikan para kapital ini tidak dalam hitungan yang setara, karena jika memberikan upah dengan setara maka mereka tidak akan mendapatkan keuntungan yang banyak.

Kelas pekerja hanya diberikan upah untuk kebutuhan sehari-harinya, namun bagaimana para kapital ini membudayakan sebuah ideologi agar para pekerja mau menerima pekerjaan dengan upah yang tidak setara dan tidak memprotes para kapital dalam kebusukannya yang hanya memikirkan keuntungan saja. Oleh karena itu, para kapitalis banyak memproduksi sebuah budaya agar para pekerja merasa wajar atas ketimpangan yang mereka alami dengan ideologinya para pemilik modal 7.

Namun, dominasi ideologi yang dibuat pemilik modal ini bukan karena kesadarannya sendiri, melainkan hasil dari keadaan mereka hidup yang menjadi budaya, yang mana para kapital menganggap bahwa hal ini sudah wajar dalam dunia saat ini dan, tidak naif memang jika mengatakan bahwa dunia jika dilihat hari ini memang hanya ditakdirkan untuk mencari keuntungan saja, dan para pekerja sudah sepantasnya menerima upah yang tidak sepantasnya itu karena mereka tidak memiliki alat produksi.

Sebaliknya, para pekerja mempunyai ideologi yang berlawanan dengan para pemilik modal, yang menganggap bahwa hasil dari keuntungan material para kapital bukan dari usaha mereka, melainkan karena para pekerja yang telah membantu pekerjaan mereka, dan seharusnya keuntungan yang dihasilkan dari produksi para pekerja dibagikan secara rata. Namun, Althusser menjelaskan bahwa dalam sejarahnya akan selalu ada satu ideologi yang mendominasi ideologi lainnya. Kapitalisme yang tumbuh dan banyak mengubah budaya masyarakat modern telah mendominasi budaya zaman saat ini, yang mana para pekerja dipaksa untuk menerima ideologi kapitalis dan telah semakin membudaya di era saat ini.

Althusser meyakini bahwa struktur individu akan selalu memasuki struktur suatu ideologi, dan membuat individu tersebut mempunyai cara pandangnya dalam melihat dunia. Dengan adanya ideologi, seseorang akan memiliki cara mengada dengan dunia, cara berbicara, berfashion, berkeluarga, bahkan dalam berbudaya pun selalu distrukturkan oleh ideologi. Dan konsekuensi dari hal tersebut adalah setiap individu tidak ada yang akan merasakan kebebasan budayanya, mereka akan terperangkap dalam jaring ideologi. Karena ideologi akan selalu menjalankan proses transformasi individu menjadi subjek yang menghamba mesin sosial-politik, dan subjek hanya menjadi sekrup di dalamnya. Sehingga, pandangan masyarakat sebagai subjek dalam melihat dunia hanya berkisar pada pandangan sistem yang memproduksinya 8.

Melalui aparatus ideologi budaya, misalnya, dalam dunia hiburan, di mana budaya telah direduksi menjadi tontonan bagi media massa, dan tradisi keagamaan serta relasi kekeluargaan yang tradisional telah diubah mengikuti kecenderungan umum masyarakat modern yang tidak lagi memandang keanekaragaman, melainkan lebih memilih budaya yang sedang tren. Proyek homogenisasi dalam masyarakat modern memungkinkan terjadinya keadaan yang kacau dan kesimpangsiuran mengenai asal budaya yang telah ada.

Identitas kelompok budaya tidak menjadi masalah yang lebih krusial ketimbang menciptakan budaya masyarakat yang penuh dengan ilusi, yang mana masyarakat akan lebih senang untuk tinggal di dalamnya karena dipenuhi gemerlapnya ilusi yang material. Kapitalisme menjadi kapitalisme global yang telah mempengaruhi masyarakat dunia melalui strategi ekonominya, bahkan dapat mengubah realitas secara radikal 9.

Ideologi selebihnya dapat membuat individu lebih menunjukkan dirinya di dunia ini, dan tidak akan menemukan suatu kepastian dalam menjalani hidup di dunia atau relasi dengan individu lain. Tapi ideologi bagi Althusser merupakan kesalahan dalam meninjau keadaan yang konkret dalam budaya, sehingga membuatnya menjadi stagnan. Padahal keadaan konkret akan selalu menuntut pembaharuan yang terus berkelanjutan. Ideologi semacam ilusi yang membuat manusia lupa pada kemungkinan yang lain, seperti dalam budaya yang termuat dalam sejarah ketika feodalisme yang dianggap sebagai hal yang ditakdirkan bagi bangsawan yang mempunyai posisi lebih tinggi dibandingkan para budak. Mereka lupa akan kemungkinan zamannya akan dirombak oleh kapitalisme, sehingga nantinya mereka tidak lagi diperlukan dan diganti oleh para kapitalis.

Maka dari itu, pembebasan individu dari ideologi hanya dapat dilakukan ketika individu mampu berpaling dari situasi konkret budayanya. 

Althusser meyakini bahwa bukan budaya yang mampu melepaskan diri dari ideologi, karena budaya sendiri telah banyak menjadi ideologi tertentu suatu kelompok masyarakat yang acap kali tidak mampu memandang kemungkinan dari keadaan yang konkret. Namun, sains lah yang menurut Althusser dapat melepaskan diri dari sebuah ideologi, karena sains bersifat objektif yang terpisah dari kesadaran subjektif yang ada dalam budaya masyarakat tertentu. Keterpisahan dari pengaruh kisaran subjektif itulah yang membuat sains memiliki jarak dengan ideologi. Tapi sayangnya ideologi selalu berupaya mengeksploitasi perkembangan sains, dan dalam hal ini Althusser berusaha memecahkannya dengan filsafat, karena filsafat mempunyai peran penting dalam intervensi terhadap sains. 

Daftar Pustaka

Hery Prasetyo Laoli

Hery Prasetyo Laoli merupakan Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Catatan

  1. J. W. M. Bakker. SJ, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: PT Kanisius, 1984.
  2. Peraturan Pemerintahan RI, “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XIII Tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 32 Ayat 1.”
  3. M. G. Goshgarian, Louis Althusser: Philosophy for Non-philosophers. New York: Bloomsbury, 2017.
  4. L. Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays. New York: Monthly Review Press, 1971.
  5. A. Z. Rokhmat Sairah, “Etos Kerja Manusia Bugis-Makassar Sebagai Kritik Terhadap Konsep Kerja dalam Budaya Kapitalisme Baru (Studi Filosofis Atas Persoalan Pengangguran di Indonesia),” J. Filsafat, vol. 21, no. 1, pp. 49–71, 2011.
  6. I. Wibowo and B. H. Priyono, Sesudah Filsafat; Esei-esei untuk Franz Magnis-Suseno. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
  7. M. T. Romadona, “Louis Althusser dan Filsafat Sebagai Yang Politis,” Jaqfi J. Aqidah dan Filsafat Islam, vol. 5, no. 2, pp. 197–236, 2020.
  8. L. Althusser, Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara. Jakarta: Indoprogress, 2015.
  9. S. M. Kushendrawati, “Masyarakat Konsumen Sebagai Ciptaan Kapitalisme Global: Fenomena Budaya Dalam Realitas Sosial,” Makara Hum. Behav. Stud. Asia, vol. 10, no. 2, p. 49, 2006.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.