Lincoln at Antietam Oct.3, 1862 "In The Darkest Hour"

Lazim kita tahu bahwa perubahan dan peradaban dunia dimulai dari teks, dari karya para leluhur, para ilmuwan. Tak tanggung-tanggung, Tuhan dan iman sekalipun hadir dan memperkenalkan diri kepada umat manusia sebagai teks. Sehingga, mengabaikan teks berarti merencanakan kemunduran peradaban. Inilah setidaknya yang ditanamkan oleh Pesantren dan para Kiai. Ini pula yang lamat-lamat menjadi karakter para santri yang selama belajar di Pesantren berdialektika dengan teks dari berbagai peradaban melalui kitab kuning.

Salah satu bukti bahwa satu karya (baik fiksi maupun ilmiah) sangat berdampak luar biasa bagi perubahan sosial adalah novel Uncle Tom’s Cabin atau Gubuk Paman Tom karya Harriet B. Stowe yang terbit di Amerika dan Eropa pada tahun 1852. Buku inilah yang dianggap memantik pecahnya Perang Dunia II, ya, perang dunia terjadi gara-gara buku, gara-gara teks!

Diceritakan awalnya Paman Tom, seorang budak kulit hitam dari Lousiana yang dimiliki oleh keluarga Arthur Selby di Negara bagian Kentucky yang lalu dijual kepada Augustine St. Claire dan akhirnya dilego kepada Simon Legree. Keluarga inilah yang memperlakukan Tom dengan keji dan kejam, hingga berujung pada kematian yang mengenaskan.

Uncle Tom’s Cabin ditulis dengan gaya sentimental dan melodramatik khas abad 19, tentu saja mengaduk-aduk emosi pembaca. Saya penasaran dengan buku ini karena guru saya, almarhum KH MA Sahal Mahfudh (1937-2014) Kajen, menceritakannya dalam kajian Ramadhan sewaktu saya nyantri sebentar di Pesantren Maslakul Huda (PMH). Beliau membandingkan sistem perbudakan (isti’bad) dari berbagai imperium despotik: Romawi, Persia, India dan Arab pra Islam. Memang, Mbah Sahal adalah Kiai yang visioner dan sangat luas wawasannya (bahrul ulum).

Segera setelah diterbitkan, novel ini menyebabkan kegemparan di seluruh Amerika Serikat, dan mendapatkan hujan kritik dan demonstrasi dari Amerika bagian Selatan. Pengaruh buku ini begitu besar sehingga ketika bertemu dengan Harriet Beecher pada awal perang saudara Amerika, presiden Abraham Lincoln berkata padanya, “Jadi, inilah nyonya kecil yang membuat perang besar ini.” Novel ini laris, terjual hingga lebih dari 1 juta kopi.

Satu lagi buku yang besar pengaruhnya bagi dunia pendidikan internasional adalah Totto-Chan, buku anak-anak yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi yang terbit pada 1981 dan menjadi bestseller di Jepang. Novel ini membeberkan nilai pendidikan yang Kuroyanagi terima di Tomoe Gakuen, SD Negeri di Tokyo yang didirikan oleh pendidik hebat bernama Sosaku Kobayashi selama Perang Dunia II.

Alkisah, ibu dari Totto-chan mengetahui kabar bahwa putrinya dikeluarkan dari Sekolah Negeri itu lantaran terlalu kritis dan banyak bertanya. Ibu Totto-chan menyadari bahwa Totto-chan membutuhkan sekolah yang tidak membatasi kebebasan berekspresi dan berkreasi. Sang Ibu lantas mengajak Totto-chan untuk bertemu Kepala Sekolah di sekolah yang baru, pak Kobayashi. Betul, pak Kobayashi dengan tekun mendengar keluhannya selama 4 jam, “Mulai besok, kamu murid di sekolah ini, Nak!”

Buku ini menggambarkan peristiwa-peristiwa yang dialami Totto-chan selama belajar, persinggungan dengan teman-teman kelasnya, pelajaran-pelajaran yang dicernanya, serta atmosfer pendidikan yang mencerahkan dan memanusiakan manusia. Buku ini lantas, ditutup dengan peristiwa di mana Tomoe Gakuen terkena bom dari pesawat dan sekolah ini tidak pernah dibangun kembali. Peristiwa inilah yang mengakhiri tahun-tahun Totto-chan sebagai murid di Tomoe Gakuen. Buku yang sampai tahun 1980 ini terjual lebih dari 5 juta kopi ini telah diterjemahkan ke puluhan bahasa dunia.

Pesantren merentangkan khazanah Islam dari awal datangnya hingga kini, juga lanskap peradaban dari sekian imperium, bahkan prisma-prisma pemikiran dari berbagai tafsir dan Kitab Suci. Sebuah warisan yang generasi milenial dan gerombolan cuti nalar sangka ada di medsos. Padahal, dunia maya tak pernah memberikan geneologi ilmu dan pembentukan moral secara utuh.

Nah, di zaman gila medsos, mabuk agama dan kesurupan politik seperti sekarang ini, bahkan teks-teks anyir berlendir semacam hoaks dan ujaran kebencianpun bisa menggerakkan massa untuk memenangkan pemilu, Brazil adalah contoh baru-baru ini, serta berbagai perang saudara, juga penggulingan rezim di Timur Tengah dan kawasan Teluk satu dekade terakhir.

Apapun yang terjadi, perjuangan tertinggi manusia adalah memenangkan akal sehatnya dari kesia-siaan pola pikir yang kerdil dan pola sikap nan jumud. Tidak perlu bakat untuk bekerja keras, sebab semua kemenangan berasal dari berani memulai. Ya, belajar sembari berjalan. Manakala Anda berhenti belajar, Anda berhenti memimpin, dan apabila Anda berhenti memimpin, Anda berhenti manjadi manusia. Agar tetap waras, membaca dan mendiskusikan teks (buku/kitab) harus dijadikan gaya hidup generasi milenial. Sesuatu yang telah sejak enam abad lalu hingga kini menjadi gaya hidup santri. Apa sebab?

Karena literasi bukan sekadar mambaca-menulis, ia juga upaya menganalisa bentuk teks, manafsir, merenangi lautan makna serta membangun pola pikir dan pola sikap, agar tetap seimbang di tengah laju peradaban.

Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan menjabat sebagai Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi Malang. Penulis buku Peradaban Sarung (2018) dan Kondom Gergaji (2018).

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.