Pertanyaan mendasar mengawali narasi ini: Siapakah burung gagak itu? Burung gagak kerap dikonotasikan dengan simbolisme ganda, yakni sebagai pembawa rezeki dan kekacauan. Simbolisme ini, kemudian oleh para penyair dan penafsir dimaknai sebagai gambaran manusia yang paradoksal.
Literatur kuno mengasosiasikan burung gagak dengan wabah penyakit, peperangan, dan kematian. Para penyair Anglo-Saxon, Judith dan Beowulf menarasikan burung gagak selalu menunggu kematian manusia dan kematian adalah makanan mereka. Dalam beberapa karya Shakespeare, burung gagak diasosiasikan dengan para pendosa. Selain itu, dalam mitologi Zen, gagak dianggap sebagai burung yang memiliki nafsu makan yang tak pernah terpuaskan (Monica Weis, Dancing with Crows, 2011: 6).
Dalam Kitab Suci Kristen, burung gagak sebagai pertanda baik maupun buruk. Nabi Yesaya (34:11), misalnya, mengingatkan kita bahwa burung gagak turun ke tanah orang fasik. Dalam tradisi Yahudi, ketika Air Bah (Great Deluge) menerjang Bahtera Nuh, burung gagak memiliki peran penting terutama dalam misi pengintaian. Dalam Kitab Suci Kristen menceritakan burung gagak yang diutus untuk memberi makan Nabi Elia selama musim kemarau panjang (1 Raja-raja 17:6). Dalam ikonografi Kristen, burung gagak melambangkan kesendirian dan sering digambarkan sebagai sahabat dari para pertapa padang gurun.
Suku-suku di Pasifik Barat Laut menganggap gagak sebagai pahlawan, pembawa pesan, dan tanda kesuburan bagi perempuan, serta memiliki kekuatan spiritual. Bahkan beberapa suku tertentu menganggap gagak sebagai dewa, “yang berbicara dengan kata-kata yang penuh kuasa.” Antropolog terkenal Richard Nelson mencatat bahwa bagi orang Koyukon di Kutub Utara, gagak bukan sekadar burung, tetapi makhluk yang memiliki ciri seperti manusia dan mempunyai kekuatan yang besar, tergolong dalam persekutuan para dewa, penjelmaan roh yang dulu mahakuasa. Karena itu, gagak bisa melihat, mendengar, memahami, mengungkapkan, dan menentukan apa yang menjadi kebutuhan manusia (Monica Weis, Dancing with Crows, 2011: 5). Bangsa Haida, yang berada di Pasifik Barat Laut, memuja gagak sebagai burung yang berjasa mengambil cahaya dari kotak keramat dan menyebarkannya ke seluruh langit untuk menjadi bintang-bintang malam, serta cahaya terang di siang hari. Dengan suaranya yang merayu, gagak kemudian menjadikan manusia pertama dari kulit kerang, mengawinkannya dengan Chiton (mollusca primitif), dan menciptakan generasi pertama Haida (Monica Weis, Dancing with Crows, 2011: 7).
Akhirnya, kita menyimpulkan bahwa Gagak di satu sisi pembawa rezeki atau berkah, di sisi lain sebagai pembawa kekacauan, sebagai sesuatu yang positif atau negatif. Robert Daggy, dalam sebuah jurnalnya kepada Thomas Merton, The Road to Joy and Dancing in The Water of Life (1998), dengan cerdik menyarankan Gagak sebagai simbol yang dapat diterapkan untuk pribadi manusia yang paradoksal.
Gen Z: Manusia Paradoks yang Ekstrem
Salah satu fenomena yang sesuai dengan karakteristik burung gagak adalah gaya hidup (lifestyle) Gen Z yang paradoks. Gaya hidup hedon yang tidak seimbang dengan sikon (situasi atau kondisi). Bagi Gen Z, sikon urusan belakangan, yang penting bagaimana seseorang menampilkan citra diri yang glamour (fashionable) di depan banyak orang. Sikon yang dimaksud adalah latar belakang keluarga, ekonomi, status sosial (kelas bawah dan kelas atas).
Hal menarik yang mencuat saat ini adalah perilaku social climber yang muncul beriringan dengan gaya hidup Gen Z. Social climber adalah perilaku atau tindakan yang dilakukan seseorang untuk meningkatkan status sosialnya. Ia akan melakukan segala cara agar mendapat pengakuan status sosial lebih tinggi dari status yang sebenarnya. Caranya adalah dengan mendesain persamaan penampilan, seperti fashion, hobi, kesukaan, kebiasaan, dan lifestyle. Ketidakmampuan secara ekonomi dalam hal lifestyle, membuat mereka melakukan berbagai cara untuk dapat memenuhinya. Para pelaku social climber akan merasa tidak nyaman, insecure, dan khawatir tidak diterima di lingkungannya apabila tidak tampil glamour.
IDN Research Institut dalam Indonesia Gen Z Report 2024 melaporkan bahwa Gen Z, terlepas dari jenis kelaminnya menunjukkan tren pengeluaran yang sama, dengan mayoritas melaporkan pengeluaran kurang dari Rp 500.000 per bulan untuk belanja online. Gratis Ongkir dan FOMO (Fear Of Missing Out) adalah pendorong di balik perilaku belanja Gen Z. Banyak Gen Z membeli barang hanya untuk mengikuti perkembangan terkini dengan berbagai tren, seperti merasakan manfaat dari bahan terbaru, produk terbaru, dan inovasi terbaru. Bahkan kalau direnungkan, berdasarkan laporan IDN Research Institute, sebagian besar Gen Z Indonesia berpenghasilan kurang dari Rp 2,5 juta per bulan. Situasi keuangan ini menjadi kendala bagi aspek lain dalam hidup Gen Z, seperti anggaran membeli rumah, pendidikan, atau perjalanan menjadi terkendala.
Kebijaksanaan Paradoks
Gaya hidup hedon yang tidak seimbang dengan sikon tertentu, membuat burung Gagak menjadi gambaran yang tepat bagi Gen Z, si manusia paradoksal. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada dasarnya, manusia selalu hidup dalam paradoks. Namun, manusia dituntut untuk tidak memilih ekstrem yang seolah tak terdamaikan. Hidup memang sebuah pilihan. Manusia dituntut untuk memilih kiri atau kanan. Tidak ada salahnya untuk memilih yang satu atau yang lain, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk berkehendak bebas. Yang dituntut dari manusia adalah bagaimana kita menyikapi sebuah paradoks kehidupan. Kebijaksanaan adalah jalan ampuh menyikapi paradoks kehidupan. Hal inilah yang membedakan kita dengan binatang.
Binatang tidak memiliki kebijaksanaan, karena itu binatang sangat ekstrem. Binatang dituntun oleh instingnya dalam menentukan sesuatu. Seorang asing menyuruh seekor anjing untuk memilih daging atau berdiam diri, pasti dia akan memilih daging, meskipun daging itu sebelumnya sudah diracuni. Anjing itu tidak akan memikirkan dua kali untuk melahap daging tersebut. Dengan didorong oleh rasa lapar, anjing akan melahap daging tersebut dalam beberapa detik. Dalam beberapa detik berikutnya, anjing tersebut mati.
Analogi tersebut adalah salah satu contoh paradoks ekstrem. Segala ekstrem di dalam hidup akan selalu berdampak, baik itu negatif maupun positif. Keputusan ada di dalam diri manusia. Kita memilih untuk hidup hedon dengan sikon darurat, atau memilih bijaksana dalam menyikapi zaman. Charles Lutwidge Dodgson (nama aslinya: Lewis Carroll), seorang novelis asal Inggris yang pernah menulis salah satu novel terkenal, “Alice’s Adventures in Wonderland (1865)”. Ia pernah menulis sebuah surat kepada seorang sahabatnya yang merasa bimbang antara memilih menetap atau pindah rumah pada tahun 1885. Ia menulis bahwa setiap bentuk pilihan dalam hidup, pada awalnya, lebih memberatkan daripada menyenangkan. Keputusan awal dalam hidup selalu memberatkan. Seorang pria selalu mengambil resiko, entah apapun tawarannya. Jika tidak, lebih baik ke dapur menyiapkan makan malam buat istri. Jika pilihan anda awalnya sulit, tetapi anda berani membuat keputusan, meskipun itu perlahan-lahan, menjadi lebih baik, Anda berada di jalur kebijaksanaan. Jika tidak, kita mungkin mulai mencurigai bahwa hidup ini tidak cocok untuk Anda.
Memiliki keyakinan benar tentang bagaimana hidup dengan cara yang bijak tidak berarti menjadi orang yang bijaksana, tetapi mengharuskan seseorang untuk memiliki pilihan yang bijak. Tujuannya adalah untuk mendukung keyakinannya tentang apa yang secara moral benar dan salah, dan tentang apa yang secara moral wajib dan tidak boleh dilakukan dalam berbagai macam situasi. Tanggapan bijak terhadap berbagai situasi adalah pilihan yang tepat. Sebagai contoh, wajar jika kita bisa menyesuaikan diri dengan tanda-tanda zaman, seperti fashion, lifestyle. Namun, yang tidak wajar adalah gaya hidup hedon yang tidak seimbang dengan sikon tertentu, seperti latar belakang keluarga, ekonomi, dan status sosial. Orang yang bijak akan memiliki keyakinan rasional tentang perilaku orang lain dan apa yang datang padanya. Manusia perlu memiliki kebijaksanaan paradoks dalam menyikapi sesuatu.
- Yosef Fandri#molongui-disabled-link