fbpx

Kumpulan Artikel Filsafat karya Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Esai-esai karya Yohanes Wahyu Prasetyo OFM ini merupakan hasil dari meditasi intelektualnya selama studi Magister Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Yohanes Wahyu Prasetyo OFM telah menyajikan kepada kita sesuatu yang sangat berharga melalui bukunya, Kumpulan Artikel Filsafat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Otto Gusti Ndegong Madung dalam Epilog-nya untuk koleksi buku Yohanes Wahyu Prasetyo OFM, Kumpulan Artikel Filsafat, “Filsafat dalam buku ini tidak diuraikan sebagai filsafat an sich, melainkan dalam dialog dengan sejumlah realitas sosial” (hlm. 378). Dengan kata lain, spirit utama filsafat adalah dialog dengan realitas. Sejak awal munculnya hingga saat ini, filsafat selalu berkonfrontasi dengan realitas.

Kaum phusikoi mencari arkhe segala sesuatu justru bertolak dari kenyataan adanya realitas alam semesta. Dengan demikian, konvergensi filsafat dengan realitas tidak hanya membuat filsafat itu berkembang, tetapi juga realitas itu menjadi tercerabut dari akarnya, sehingga membentuk sebuah logos. Hal inilah yang dilakukan oleh Yohanes Wahyu Prasetyo OFM. Ia mencerabut realitas dari akarnya melalui kekuatan daya kritis filsafat. Dengan demikian, realitas tidak hanya diterima begitu saja sebagai logos, tetapi disaring dan diperiksa melalui kekuatan daya nalar kritis filsafat (doksografi). Buku ini terdiri dari tiga puluh artikel, berikut adalah resensi kecil mengenai bab-bab tersebut.

(1) Pengantar Filsafat Lingkungan. Filsafat Lingkungan memberikan jembatan antara filsafat dan disiplin ilmu lainnya. Dengan kata lain, Filsafat lingkungan memungkinkan untuk mengintegrasikan antara sains dan etika. Pada tataran tertentu, filsafat lingkungan memberikan dasar yang kokoh dalam usaha konservasi, mitigasi, pencemaran dan pembangunan yang berkelanjutan (hlm. 24). Esai ini mengantar kita pada wawasan lebih luas tentang Filsafat Lingkungan dan bagaimana pertautannya dengan entitas ilmu lain.

(2) Pengantar Filsafat Perdamaian. Tema perdamaian sebagai sebuah filsafat yang dibahas secara tersendiri, terperinci dan serius belum terlalu nampak, khususnya di Indonesia. Pemahaman kita akan perdamaian hanyalah sebuah seruan dari ajaran agama-agama atau tokoh-tokoh penting tertentu, tetapi sebagai sebuah pemikiran filsafat yang serius belum terlalu dikenal. Wahyu Prasetyo, dalam esainya ini mencoba untuk mengantar kita pada kedalaman Filsafat Perdamaian sebagai sebuah disiplin ilmu yang ketat. 

(3) Keadilan Menurut John Rawls. Karya John Rawls A Theory of Justice merupakan sumbangan berharga bagi dunia politik abad ke-XX. Bagi Rawls, keadilan sebagai fairness menekankan dua prinsip, yakni prinsip kesetaraan dan prinsip kebebasan. Kedua prinsip ini menjadi landasan bagi terciptanya kesejahteraan bersama (bonum commune).

(4) Pandangan Karl Marx Mengenai Agama Sebagai Alienasi. Pandangan Marx tentang agama sebagai candu bertolak dari persoalan kemanusiaan. Marx menilai ajaran-ajaran agama tertentu suka meninabobokan masyarakat dengan menjanjikan surga, tanpa berupaya mengembangkan keutuhan masyarakat. Marx tidak membicarakan tentang adanya Tuhan. Ia hanya mendorong kaum agamawan supaya peka terhadap situasi masyarakat yang tertindas.

(5) Otonomi dan Solidaritas dalam Etika Diskursus Jürgen Habermas. Dalam esainya ini, Wahyu Prasetyo mengantar kita pada pemahaman yang lebih mudah tentang etika diskursus Habermas. Ada dua gagasan pokok etika diskursus Habermas, yakni otonomi dan solidaritas. Kedua ide etika ini mengantar kita pada nilai-nilai moral. 

(6) Perjuangan Pengakuan Individu Menurut Axel Honneth. Dalam teori kritis tentang masyarakat, Honneth mengartikan interaksi sosial sebagai jaringan relasi pengakuan. Honneth mendasarkan interpretasi teori pengakuannya pada relasi intersubjektif. Secara khusus, Honneth mengidentifikasikan cinta, hukum dan solidaritas sebagai syarat mendasar pertumbuhan dan perkembangan individu (hlm. 154). 

(7) Kasih dan Keadilan menurut Paul Ricoeur. Gagasan Ricoeur tentang pengakuan yang didasarkan pada relasi kasih dan keadilan sangat cocok untuk kondisi: xenophobia, migrasi, ketidaksetaraan dan ketidakadilan ekonomi. Ricoeur, melalui gagasannya tentang kasih dan keadilan menawarkan kepada kita suatu pengertian tentang memahami manusia dalam relasionalitas aslinya dengan entitas lainnya (hlm. 157). 

(8) Yoga dan Pemikiran Filosofis Sri Aurobindo. Menurut Aurobindo, tidak tepat apabila mengatakan bahwa dunia tempat di mana manusia menjalani kehidupan diwarnai dikotomi antara Alam dan Roh. Karena itu, eksistensi manusia bukanlah dikotomi materi dan akal budi atau dualisme tubuh dan jiwa. Tetapi persatuan di antara tubuh, akal budi, dan jiwa. Sehingga pembebasan diri dari ketidaktahuan tidak perlu mengasingkannya dari partisipasi dalam kemajuan evolusi dunia (hlm. 183). 

(9) Persahabatan Menurut Mencius. Relasi intersubjektif Mencius didasarkan pada relasi persahabatan. Persahabatan bukan hanya relasi interpersonal, melainkan relasi yang mendorong terjadi pribadi yang utuh. Dengan kata lain, persahabatan mendorong seseorang mencapai kepenuhan dirinya. Karena itu, Mencius menganjurkan supaya bersahabatlah dengan Tao. Tao adalah sumber kebaikan dan standar nilai tertinggi.

(10) Krisis Spiritual dan Degradasi Lingkungan Menurut Seyyed Hossein Nasr. Nasr mengaitkan krisis ekologis dengan krisis spiritual. Nasr menggarisbawahi tentang  ilmu tradisional dan spiritualitas agama, serta pemahaman yang ilahi dalam kebudayaan lokal memungkinkan kelestarian lingkungan. Karena itu, ia mendorong terjadinya perubahan cara pandang mekanistik terhadap alam ke pandangan tradisional yang bersahabat dengan alam.

(11) Menilai Arogansi dan Dogmatisme Epistemik Ateisme Baru. Sering kali ateisme baru dinilai sombong, dogmatis, dan tertutup. Penilaian ini sebenarnya tuduhan terhadap kejahatan epistemik. Epistemologi kebajikan digunakan untuk mempertimbangkan dan menilai tuduhan tersebut. Tuduhan ini, sebenarnya bersifat ad hominem. Argumen ad hominem dinilai sah apabila diarahkan pada ciri-ciri negatif karakter seseorang. Karena itu, perlu dipertimbangkan dengan sejumlah cara agar tuduhan itu logis. Untuk mengamankan tuduhan yang kuat, perlu memahami konteks sosial dan kelembagaan (hlm. 232).

(12) Humanisme dan Pemerintahan Sekuler. Kaum humanis mendorong agar negara didasarkan pada pemerintahan sekuler. Tujuannya adalah supaya tidak ada diskriminasi yang berpihak pada agama tertentu. Dalam esai ini, Wahyu Prasetyo menjabarkan beberapa tokoh penting yang menekankan perlunya sekularitas dalam operasional lembaga Negara sebagai penjamin kesejahteraan (hlm. 234). 

(13) Belajar dari Fenomena Pandemi Covid-19. Peristiwa pandemi telah membuat manusia terpuruk baik dari segi ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan. Wahyu Prasetyo dalam esainya ini menawarkan tiga hal yang perlu kita pelajari dari fenomena pandemi, yakni bijak bermedia sosial, mengembang investasi dalam bidang kesehatan, dan meningkatkan kerja sama global. 

(14) Humanisme Ekologis, Ekonomi, dan Proyek Manusia. Dalam esai ini, ada tiga narasi besar yang ditawarkan oleh Wahyu Prasetyo, yakni ekologis yang berlandaskan pada paham humanisme, gagasan tentang ekonomi, dan proyek manusia. Humanisme ekologis menekankan pada pengintegrasian manusia dengan komunitas. Komunitas yang dimaksud adalah komunitas sosio-budaya yang memungkinkan manusia mendapat manfaat dan berkontribusi bagi pertumbuhan hidupnya dan komunitas sosio-budaya yang menekankan pada perkembangan moral dan pribadi manusia. Gagasan tentang ekonomi menekan pada relasi manusia dengan alam. Manusia, selain menjaga alam, dari alam juga mereka hidup. Namun, yang perlu diperhatikan adalah tindakan kita terhadap alam dengan mengeruk dan mengambil keuntungan ekonomi perlu dibarengi dengan sikap tanggung jawab. Karena itu, proyek manusia perlu memperhatikan alam. Manusia adalah makhluk bermoral dan memiliki kapasitas untuk menentukan baik buruknya setiap proyek yang mereka lakukan. Dalam hal ini, alam tidak sekadar sebagai instrumen untuk kebutuhan ekonomi semata, tetapi perlu dijaga kelestariannya.  

(15) Relasi Sains dan Agama. Dalam esai ini, kita diajak untuk perlu membedakan dengan jelas ranah setiap disiplin ilmu masing-masing. Dalam hal ini adalah agama dan sains. Keduanya memang tidak bisa disatukan kecuali melakukan dialog. Yang mau ditekankan dari keduanya adalah kekhasannya masing-masing.

(16) Mengapa Filsafat Sains Tidak Banyak Membantu Ilmuwan? Sains merupakan suatu kemungkinan yang bergerak. Teori ilmiah dikatakan berhasil jika berubah sering waktu. Bukan sekadar pandangan kita terhadap realitas yang berubah, tetapi pandangan apa yang perlu dimiliki. Karena itu, tidak ada metode ilmiah yang pasti untuk dijadikan pegangan bersama. Thomas Kuhn menekankan pentingnya perubahan dalam standar ilmiah. Orang seperti Karl Popper, misalnya menunjukkan bahwa ilmu disebut ilmiah jika bisa dibuktikan salah. Ini yang disebut dengan metode falsifikasi Popper. Dengan demikian filsafat sains, dapat memberikan sebuah cara pandang atau paradigma, metode bagi ilmuwan dalam penelitian mereka. 

(17) Sekilas Tentang Teori Kritis Mazhab Frankfurt. Lahirnya mazhab Frankfurt memberi warna tersendiri dalam perkembangan dunia filsafat. Mereka mencita-citakan masyarakat yang didasarkan pada akal budi kritis. Bagi mereka akal budi memiliki peranan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia (hlm. 285). Mazhab Frankfurt menggunakan gagasan psikoanalisis Sigmund Freud sebagai pendasaran untuk melakukan penyelidikan psikodinamika identitas, politik, budaya, dan ideologi.

(18) Kemampuan Manusia Menurut Viktor Frankl. Kesadaran akan pentingnya kemampuan untuk mengenal dan memahami nilai dan makna membantu manusia untuk bertahan hidup dalam situasi dan kondisi buruk. Pengalaman di kamp konsentrasi membuat Frankl memahami betapa pentingnya menemukan makna hidup. 

(19) Hukum Menurut Herbert Lionel Adolphus Hart. Dalam teori hukumnya, Hart memberikan penekanan pada konsep diwajibkan untuk dan memiliki kewajiban. Dalam konsep ini, ia mengkritik John Austin yang tidak bisa membedakan antara keduanya. Karena itu, ia mengusulkan sistem hukum sebagai peraturan, primer dan sekunder (hlm. 302). 

(20) Teknologi dan Persoalan Lingkungan. Kesadaran antroposentrisme mengubah segalanya, termasuk cara pandang manusia terhadap alam. Manusia dengan bantuan sains dan teknologi secara brutal merusak alam demi kepentingan mereka sendiri. Karena itu, perlu terjadi perubahan cara pandang dari mekanistik ke ekologis.

(21) Makna dan Penamaan Menurut Willard Van Orman Quine. Seringkali kita mencampur-adukan istilah makna dan penamaan. Menurut Willard Van Orman Quine, makna dan penamaan adalah dua hal yang berbeda. Makna tidak identik dengan penamaan. Karena itu, pentingnya membedakan makna dan penamaan dalam tataran abstrak. Bintang sore dan bintang pagi memiliki makna yang berbeda. Meskipun keduanya mengungkapkan objek yang satu dan sama. Bintang sore mengandung makna tampak pada waktu sore dan bintang pagi mengandung makna tampak pada waktu pagi (hlm. 324). 

(22) Nominalisme dan Epistemologi William Ockham. Ockham dipandang menghancurkan metafisika. Ia mengganti gagasan abad pertengahan dengan paham nominalisme dan fideisme. Menurut Ockham segala sesuatu yang tidak bergantung pada akal budi bersifat partikular, bukan universal. Dalam gagasan ini, Ockham setuju dengan Duns Scotus tentang haecceitas (hlm. 329). 

(23) Jürgen Habermas: Masyarakat Modern Didominasi Budaya Kapitalis, Birokrasi, dan Teknologi. Habermas meyakini bahwa gagasan dasar pencerahan tentang kebebasan dan solidaritas mampu mengubah cara pandang masyarakat. Di tengah situasi budaya kapitalis, birokrasi, dan teknologi, Habermas menawarkan pendekatan radikal terhadap kebenaran melalui dialog komunikatif. Bagi Habermas, dialog ini memungkinkan terjadinya kebebasan, kesetaraan dan tanggung jawab etis (hlm. 335).

(24) Herbert Marcuse: Masyarakat Modern Mengalami Penindasan, Penderitaan, Represi, dan Trauma. Budaya modern, menurut Marcuse pada dasarnya bersifat represif. Marcuse melihat budaya kapitalisme merambat ke dalam pribadi manusia dan perlahan-lahan mempengaruhi manusia ke arah konsumerisme. Marcuse mendasarkan teorinya pada psikoanalisis Freud. Ia mengajarkan rekonsiliasi antara budaya dan alam bawah sadar manusia untuk mengantar manusia pada realitas baru, yang disebut dengan rasionalitas libidinal. Pemahaman ini dapat mendorong terjadinya pembalikan radikal dari surplus represi (hlm. 341).

(25) Zygmunt Bauman: Masyarakat Modern Diwarnai Deregulasi Ekonomi. Bauman memperingatkan bahwa dunia global baru ditandai dengan ketidakpastian dan ambivalensi. Dalam modernitas ambivalensi dilarang  dan dinilai menyimpang, serta memiliki unsur menghina. Bagi Bauman, lebih bermanfaat membicarakan postmodernitas daripada modernitas akhir. Pada dasarnya, postmodern dibentuk oleh budaya modern. Keduanya tidak ada pemisahan yang begitu jelas. Postmodern memberi kita semangat dan membuka ruang bagi daya imajinatif. Sementara, dalam modernitas, manusia bercita-cita untuk berkuasa (hlm. 343). Bauman memperkenalkan gagasan modernitas ringan untuk menggantikan modernitas padat yang terlalu ambisius. 

(26) Karl Marx: Kontradiksi Modernitas. Meskipun modernitas diyakini dapat mempersatukan manusia dari berbagai segi, tetapi kesatuan itu bersifat paradoks. Marx meyakini bahwa ikatan sosial ditentukan oleh konflik kelas. Bagi Marx, konflik itu penting karena mendorong masyarakat untuk masuk ke dalam struktur sosial (hlm. 349).

(27) Emile Durkheim: Modernitas Sebagai Ikatan Moral. Pemahaman tentang modernitas sebagai ikatan moral bertolak dari persoalan krisis sosial dalam masyarakat. Karena itu, Durkheim menekankan penting moralitas dalam perkembangan sosial modern agar masyarakat tetap eksis. Durkheim menyoroti soal konflik sebagai dasar dibentuknya ikatan moral dalam masyarakat modern. 

28) Maximilian Weber: Modernitas Sebagai Sangkar Besi. Menurut Weber, birokrasi sebagai pendorong utama dan penyebab terjadinya persoalan di masyarakat. Alasannya karena birokrasi mempengaruhi bisnis, pemerintahan, dan pribadi manusia. 

(29) Memuliakan Allah Melalui Seni. Ada banyak cara untuk mengagumi kebesaran Allah. Setiap ciptaan memiliki caranya masing-masing. Manusia dengan kemampuannya yang luar biasa menggunakan “jiwa seni-nya” untuk memuliakan Allah. Dalam refleksi teologis, Allah adalah seniman utama. Allah menciptakan segalanya dengan penuh seni. Ketika manusia mengagumi keindahan tatanan alam semesta, berarti ia mengagumi keindahan ilahi. Karena itu, merusak tatanan alam semesta ini berarti mengabaikan kehadiran ilahi dalam ciptaan. 

(30) Hidup dan Karya-Karya Jean-Luc Marion. Nama Marion, bisa dikatakan, belum terlalu familiar dalam perkembangan filsafat di Indonesia. Wahyu Prasetyo, dalam esainya ini mengantar kita untuk mengenal Marion lebih dekat. Dalam esai ini, Wahyu Prasetyo telah mencantumkan beberapa karya penting Marion untuk kita jelajah lebih lanjut, seperti God Without Being, Reduction and givenness, Prolegomena to charity, dan sebagainya.

Esai-esai karya Yohanes Wahyu Prasetyo OFM ini merupakan hasil dari meditasi intelektualnya selama studi Magister Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Kemudian, permenungan filsafatnya menjadi mendalam ketika dikawinkan dengan semangat JPIC (Justice Peace And Integrity Of Creation)-OFM (Ordo Fratrum Minorum). Isi buku ini bermanfaat sebagai pengantar untuk masuk ke dalam dunia filsafat, atau sebagai inspirasi bagi mereka yang belajar filsafat. Sayangnya, pola uraiannya tidak dinarasikan dengan sistematis yang ketat.

Karena ini adalah Kumpulan Artikel Filsafat, akan menjadi lebih sistematis kalau penyusunan bab dalam buku ini sesuai dengan periode waktu, mazhab masing-masing tokoh dan aliran-aliran tertentu, sehingga tidak terkesan melompat. Memang, ini akan menjadi pekerjaan yang sulit karena menentukan periode persis perkembangan filsafat.Seperti yang dikatakan oleh Yohanes Wahyu Prasetyo OFM dalam Kata Pengantar karyanya ini, “Buku ini jauh dari kata sempurna”.

Meskipun demikian, saya berharap karya sederhana ini dapat dipahami dan memberikan inspirasi bagi para pembaca yang ingin mengenal serta mendalami filsafat. Para pembaca tidak harus membaca buku ini secara runut dari halaman awal sampai akhir. Tetapi bisa membacanya sesuai dengan kebutuhan, minat, dan tema yang dikehendaki.”

Yosef Fandri

Mahasiswa filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Memiliki minat dalam bidang Kosmologi, dan Ekologi

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content