Immanuel Kant
Immanuel Kant

Salah satu persoalan penting dalam etika adalah masalah pembenaran (justifikasi) nilai-nilai etika. Dalam sejarah awal islam, Mutakallimun, yaitu teolog dialektis dan Mu’tazilah, umpamanya, berhadapan dengan masalah semacam ini. Mereka mencoba menyediakan basis rasional bagi nilai-nilai etika. Akan tetapi, Asy’ariyah menentang Mu’tazilah dengan mengajukan keberatan bahwa jika nilai-nilai etika tersebut rasional yakni dapat dideduksi oleh rasio manusia, maka tidak bisa tidak kita akan digiring ke relativitas nilai. Oleh karenanya, tidak mungkin ada etika absolut.

Asy’ariyah berargumentasi lebih jauh bahwa nilai dan norma-norma moral harus dianggap mutlak dan bukan relatif. Kehendak mutlak, perintah atau larangan Tuhan harus dijadikan sebagai fondasi nilai-nilai etika. Selaku pendukung Asy’ariyah Al-Ghazali menerima pendapat ini, yang merupakan faktor pokok yang menuntun dia dalam merumuskan etika religius.

Masalah mutlak-relatifnya etika, Kant setuju dengan Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Namun berkenaan dengan bagaimana etika dapat menjadi mutlak, Kant berbeda dengan Asy’ariyah dan sepakat dengan Mu’tazilah; dikarenakan Kant membenarkan (menjustifikasi) kemutlakan nilai-nilai moral lewat rasio. Karena itulah, etikanya bersifat “rasional”. Di lain pihak Al-Ghazali setuju dengan Asy’ariyah dan berada pada posisi yang berlawanan dengan Kant tentang masalah ini. Sebelum masuk pada kesamaan gagasan (connecting ideas) etikanya, perlu dicatat bahwa sistem etika semacam itu dapat bersumber semata-mata dari agama.       

Para sarjana berpendapat bahwa terdapat jurang yang lebar antara “etika normatif” yang berlandaskan “wahyu” dan etika yang berakar pada “rasio”. Klasifikasi Al-Ghazali tentang ilmu, secara jelas membedakan antara al-‘ulum al-syar’iyyah atau “ilmu-ilmu tradisional” (‘ulum naqliyyah) dan “ilmu-ilmu rasional atau ilmu sekuler” (‘ulum ‘aqliyyah atau ghair sya’iyyah). Bagi Al-Ghazali klasifikasi ini benar dalam wilayah etika.

Posisi Kant

Ditinjau dari posisinya dalam Groundwork for the Methaphysics of Morals, Kant sampai pada gagasan bahwa etika dan moralitas, pada dasarnya bersifat rasional. Ide tentang aprioritas dan universalitas norma-norma etika, serta perilaku yang diatur oleh hukum, adalah di antara kriteria rasionalitas yang ingin ditegaskan oleh Kant. Kant membawa semacam Revolusi Copernican dalam etika ketika menyatakan bahwa kebebasan adalah hakikat rasional (ratio essendi) dari moralitas. Terdapat paralelisme sempurna antara model argumen dan konklusi-konklusi dalam tahap-tahap teoritis dan praktis dari filsafat Kant. Pada keduanya, rasio muncul sebagai pemberi hukum (law giver) dan sebagai batas (bound) bagi hukum yang ditetapkannya. Kant dengan jelas membandingkan dua fungsi legislatif ini: Pembentukan hukum (legislation) oleh rasio manusia memiliki dua objek, yaitu alam dan kebebasan. Oleh karena itu, ia tidak hanya mengandung hukum alam, tetapi juga hukum moral; pertama-tama dengan menghadirkan keduanya dalam sistem yang berbeda, namun pada akhirnya menjadi satu sistem filsafat tunggal. Filsafat alam berurusan dengan seluruh segala yang ada (all that is), filsafat moral dengan segala yang seharusnya ada (all that ought to be).

Menurut Kant, tugas filsafat adalah memisahkan unsur apriori dari unsur empiris dalam pengetahuan kita, dan mempertimbangkan justifikasi kita atas penerimaan unsur apriori. Berkenaan dengan etika khususnya, tugas filsuf adalah mencari, dan jika mungkin menjustifikasi, prinsip moralitas tertinggi. Prinsip moralitas tertinggi atau hakikat kewajiban termasuk etika yang dapat kita sebut sebagai etika “murni” atau etika “rasional”. Penerapan prinsip moralitas tertinggi terhadap masalah-masalah tindakan yang timbul oleh kodrat kemanusiaan dapat disebut etika “terapan”. Groundwork of the Metaphysics of Moral dan Crtique of Practical Reason termasuk etika murni, dan di dalam karyanya The Metaphysics of Morals, paling tidak sebagian besar, termasuk etika terapan.  

 Bagaimana Etika Rasional Menjadi Mungkin

Proposisi-proposisi praktis (practical propositions) adalah proposisi-proposi yang di dalamnya pengetahuan memainkan peranan dalam menentukan “kehendak” (will) untuk membuat pilihan spesifik di antara tindakan-tindakan yang mungkin. Proposisi-proposisi itu oleh Kant disebut “prinsip-prinsip” (principles), yang jika bersifat universal, yaitu jika mengungkapkan ketetapan-ketetapan kehendak yang bersifat umum. Sebuah prinsip disebut “aturan-aturan” (rules) jika dapat dimasukkan di bawah prinsip-prinsip atau berasal dari prinsip-prinsip tersebut dalam penerapannya terhadap keadaan-keadaan spesifik. Sementara itu, sebuah prinsip disebut “maksim” (maxim) jika motif yang mendasari ketaatan itu adalah motif yang bersifat pribadi, ketika orang menganut maxim ini sebagai ungkapan kebijaksanaan pribadinya dalam kehidupan. Namun, sebuah prinsip merupakan “hukum universal” (universal law) jika motif yang melandasi perumusan dan pengungkapannya diketahui pantas menurut kehendak setiap makhluk rasional.

Pada dasarnya, setiap prinsip sampai derajat tertentu memaksa pribadi untuk menghargainya. Sekalipun prinsip yang saya anut adalah semata-mata maksim yang hanya berlaku untuk diri saya sendiri, seperti maksim yang melarang saya berbuat salah untuk tidak membalas dendam, prinsip itu tetap mengandung daya normatif dalam kerangka pribadi. Namun, ia memaksa saya, paling tidak sewaktu-waktu mengarahkan dorongan sesaat (misalnya, rasa takut) diri saya agar selaras dengan tujuan umum atau determinasi kehendak. Oleh karena itu, prinsip semacam itu bahkan dapat membangkitkan aturan-aturan yang menetapkan apa yang, dengan motif tersebut, harus dan akan saya lakukan, jika saya (a) menghadapkan diri dengan kebijaksanaan itu, dan (b) sepenuhnya rasional dalam memilih tindakan-tindakan berkenaan dengannya.

Aturan-aturan semacam itu disebut “imperatif” (imperatives) bagi makhluk seperti manusia, yang tidak selalu bersedia dan dengan spontan melakukan apa yang ditentukan oleh rasio sebagai niscaya demi pelaksanaan tujuan. Hanya melalui penalaran, kita mengetahui apa yang harus kita lakukan untuk sampai pada kebijaksanaan yang dinyatakan dalam maksim. Akan tetapi, tak seorangpun yang sedemikian rasional sehingga ia betul-betul melakukan apa yang harus dilakukan tanpa melalui konflik, baik besar maupun kecil, dengan kecenderungan-kecenderungan emosional atau kehendak hatinya.

Jika sebuah prinsip benar-benar merupakan sebuah tindakan-maksim, maka motif bertindak yang sesuai dengannya adalah kondisi subjektif tertentu; imperatif yang bersesuaian dengan yang mengatakan kepada kita apa yang harus dilakukan pada manusia yang bijaksana untuk memuaskan suatu keinginan, seandainya ia memilih keinginan tersebut, disebut “imperatif hipotetis” (hypothetical imperative). Imperatif hipotetis memerintah atau menganjurkan seseorang hanya jika orang tersebut memiliki keinginan yang dipermasalahkan. Dengan kata lain, faktor dinamis dalam mematuhi imperatif semacam itu adalah keinginan atau dorongan.

Di lain pihak, sebuah hukum moral, seperti pernyataan “berbohong adalah salah”, tidaklah tertuju hanya kepada seseorang yang menginginkan kehormatan ataupun tujuan spesifik lainnya. Imperatif yang mengungkapkan hukum ini kepada seseorang yang pada kodratnya tidak secara otomatif mematuhinya adalah “imperatif kategoris” (categorical imperative). Imperatif kategoris tidak menyuruh kita untuk menghindari berbohong karena kita akan mencapai reputasi yang baik; ia semata-mata menyuruh kita untuk tidak berbohong, titik! Ia tampaknya tertuju pada makhluk rasional secara umum, bukan hanya kepada orang-orang yang memiliki keinginan-keinginan spesifik yang dapat dipuaskan melalui kepatuhan terhadap imperatif ini. Dengan begitu, imperatif kategoris ini bersifat tanpa syarat dan universal.

Setiap prinsip yang berdasarkan “objek keinginan” apapun, hanya berlaku kepada mereka yang betul-betul memiliki keinginan itu. Seluruh prinsip semacam itu hanyalah maksim, bukan hukum. Prinsip-prinsip tersebut tidak dapat menjadi hukum sekalipun bagi makhluk yang memiliki keinginan yang dipermasalahkan, semacam keinginan yang dirasakan oleh seluruh manusia demi kebahagian mereka sendiri. Hukum mesti memiliki keniscayaan objektif yang diketahui oleh rasio, tetapi ada atau tidaknya suatu keinginan spesifik hanya dapat diketahui secara empiris. Lagi pula, hukum menimbulkan imperatif-imperatif yang sifatnya pasti dan spesifik, tetapi universal dalam penerapan. Karena keragaman keinginan-keinginan itu sedemikian besar sehingga sekalipun imperatif-imperatif tersebut seluruhnya dimasukkan di bawah keinginan umum demi kebahagiaan, maka imperatif-imperatif itu seharusnya beredar dalam bentuk yang tidak lebih dari saran-saran umum, pepatah-pepatah, dan nasehat bijaksana, yang terbuka bagi keberagaman manusia dan keadaan.

Jadi, hanya hukum yang dapat menurunkan imperatif kategoris. Imperatif ketegoris menyuruh makhluk rasional secara parsial bertindak berdasarkan suatu maksim sehingga makhluk rasional secara keseluruhan harus bertindak tanpa diperintah untuk melakukan hal yang sama. Jika makhluk rasional dapat memutuskan tindakan-tindakannya menurut suatu maksim karena maksim tersebut sungguh-sungguh adalah hukum yang valid bagi seluruh makhluk rasional, makhluk ini dapat mematuhi imperatif kategoris, dan rasio murni pun dapat menjadi praktis.

Dengan seseorang dapat mematuhi suatu “imperatif kategoris”, Kant memperlihatkan bahwa “kehendak” orang tersebut mesti “bebas” dalam pengertian transendental yang ketat. Yaitu, imperatif kategoris tidak dapat ditentukan sama sekali oleh konsepsi orang tersebut terhadap dorongan indrawinya, karena ini akan membuat tindakan-tindakannya semata-mata sebagai efek fenomena alamiah. Hanya rasio yang dapat menghadirkan konsepsi hukum universal sebagai motif dan terhadap makhluk yang bertindak atas dasar motif ini kita katakan bahwa kehendaknya adalah bebas. Sebaliknya, jika kehendak adalah bebas dari mekanisme alam, kehendak mesti ditentukan oleh “forma” (bentuk-bentuk penyimpulan valid dalam pengambilan kesimpulan yang benar) dan bukan oleh muatan maksim atau hukum. Kehendak mesti ditentukan oleh suatu konsepsi mengenai hukum tertentu karena jika tidak ia bukan merupakan “kehendak”, melainkan hanya perubahan pikiran secara tiba-tiba; Dan, jika kehendak ditentukan oleh muatan, yaitu apa yang terkandung dalam hukum di hadapan seseorang sebagai sebuah cara memuaskan salah satu dari keinginannya, kehendak tersebut tidak akan bebas dari mekanisme alam yang bersifat empiris.

Hanya rasio murni yang dapat menjadi sumber bagi hukum dan imperatif kategoris seperti itu. Rasio yang menemukan motif-motif indrawi dan hukum-hukum alam yang dengan itu motif-motif tersebut dapat diatur atau dipuaskan tidak akan dapat merumuskan hukum-hukum yang memiliki universalitas dan keniscayaan yang kita temukan dalam kewajiban moral yang kita alami. Hukum ini tidak berasal dari pengamatan terhadap fakta-fakta empiris; ia bukan suatu hukum teoritis mengenai apa “adanya” (is). Ia adalah hukum praktis yang ditetapkan oleh rasio murni sebagai landasan bagi tindakan-tindakannya sendiri. Jadi, rasio murni praktis sebagai sumber bagi hukumnya sendiri adalah otonom atau pembuat hukum (self-legislating) bagi dirinya sendiri menurut suatu cara, yang jika disyaratkan secara empiris rasio praktis tidak dapat berlaku.

Pembahasan tersebut tidak saja memperlihatkan bahwa etika Kant adalah rasional, tetapi juga “bagaimana ia menjadi rasional”.

Posisi Al-Ghazali

Al-Ghazali menolak kemandirian rasio sebagai pembimbing yang memadai bagi pengetahuan etika. Salah satu aspek yang menarik dari permusuhannya dengan teori-teori etika filosofis dan Mu’tazilah adalah serangannya atas teori mereka mengenai hubungan alamiah yang terletak di balik teori-teori teleologi. Menurut  Al-Ghazali, keseluruhan mekanisme tujuan-tujuan dan sarana-sarana mengenai aktivitas kebajikan yang mengarah kepada pahala dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang tidak didasarkan pada gagasan-gagasan kausalitas.

Bagi Al-Ghazali, jika mekanisme ini berdasarkan semata-mata pada hukum kausalitas, mekanisme tersebut akan gagal menjelaskan kekuasaan dan pengaruh Tuhan Yang Maha Besar atas seluruh kejadian. Namun, adalah penting untuk diingat bahwa persoalan yang berkenaan dengan identifikasi ketidaksetujuan Al-Ghazali atas etika dengan sikapnya terhadap ulasan filosofis tentang kausalitas, terutama ide tentang hubungan konstan antara fenomena-fenomena. Keberatan utama Al-Ghazali adalah ulasan hubungan-hubungan ini yang menjadikan penjelasan tentang pengaruh Tuhan atas hubungan-hubungan tersebut menjadi kehilangan makna.

Berdasarkan pertimbangan teleologis yang utama ini, Al-Ghazali menolak gagasan “kausalitas” dalam tindakan etis. Ia tidak dapat melihat dan membenarkan hubungan kausal antara sanksi dan pahala. Hubungan ini tidak dapat dimengerti secara rasional. Ia secara total bergantung pada kehendak Tuhan. Dari pemahaman dasar ini, Al-Ghazali menyatakan bahwa “kebaikan” dan “kejahatan” hanya dapat diketahui melalui wahyu (dan tidak melalui rasio alamiah) dan menolak bahwa perintah-perintah Tuhan dalam Al-Qur’an memiliki tujuan tertentu (perintah-perintah tersebut harus dipatuhi semata-mata karena mereka adalah perintah Tuhan). Ide-ide fundamental ini memiliki kontribusi besar terhadap konstruksi etika mistik Al-Ghazali yang semata-mata bergantung kepada rahmat Tuhan, bukan pada usaha manusia sendiri untuk meraihnya.

Apakah Etika Sebagai Ilmu Rasional Mungkin

Dalam Mi’yar, Al-Ghazali memberikan daftar panjang contoh-contoh aturan etika “secara umum diyakini” (masyhurat) bersifat universal. Al-Ghazali memanfaatkan skema Platonik dan Aristotelian tentang keutamaan-keutamaan, dengan adaptasi-adaptasi yang diakuinya sendiri. Bersama-sama dengan falasifah, ia juga merumuskan poin umum dalam kerangka teori etika teleologis. Kemudian, ketika berargumentasi menentang gagasan objektivitas etika, Al-Ghazali mengemukakan pembelaan terperinci tentang bagaimana rujukan-rujukan keagamaan secara spesifik dapat dimasukkan  ke dalam makna-makna istilah etika.  Dia melakukan hal ini dengan menginterpretasikan konsep-konsep kunci etika tentang kebaikan dan kejahatan (hasan dan su’ atau qabih) secara teleologis, yaitu dipandang dari segi apa yang tepat kepada tujuan tertentu dan apa yang menghalangi pencapaian tujuan tersebut. Tujuan-tujuan ini secara keseluruhan bersifat relatif terhadap pelaku sehingga bagi pezina, dia akan berpikir bahwa perzinaan adalah baik dan apapun yang menghalanginya dari cara hidup perzinaan adalah buruk.

Namun, meskipun Al-Ghazali memanfaatkan poin-poin umum ini, ia tetap menentang etika teleologis falâsifah. Hal ini, dalam beberapa aspek, cukup mengherankan, dikarenakan penolakannya terhadap etika ciptaan (akal) dan etika objektif – akan membatasi kekuasaan Tuhan. Gagasan tentang Tuhan yang dipaksa berperilaku menurut cara tertentu adalah gagasan yang juga menjijikkan bagi Al-Ghazali. Al-Ghazali berkeberatan terhadap ide tentang Tuhan yang tunduk dengan gagasan tentang kebaikan dan kejahatan seperti pada manusia, yang bersifat ekstrinsik dan independen.

Meskipun Al-Ghazali tidak berkata apa pun dalam menjawab persoalan tersebut secara eksplisit, adalah berguna untuk melihat mengapa ia menentangnya. Penentangan itu berkisar pada dua persoalan: metafisika falâsifah mengenai kausalitas dan pengutamaan kehidupan sesudah mati dalam teologi Islam. Lebih jauh lagi, karena hubungan kausal tidak ada atau tersembunyi, sekalipun lewat proses penalaran teleologis yang independen, kita tidak mengetahui mana (which) tindakan-tindakan yang memperbaiki watak, mana tindakan-tindakan yang membawa pahala, dan mana penempatan-penempatan watak yang membawa pahala. Seluruh yang kita ketahui mengenai fakta-fakta ini diketahui dari kitab suci.  Berdasarkan ide fundamental ini, Al-Ghazali terang-terangan menolak konsepsi etika yang dianut oleh Mu’tazilah dan juga falâsifah.

Menurut Al-Ghazali, klaim atas aturan-aturan rasional universal gagal beberapa pengujian yang seharusnya dipenuhi seandainya klaim itu benar. Pertama, semua aturan rasional yang diajukan tak berlaku secara universal. “Membunuh adalah dosa” tidaklah universal, karena Mu’tazilah sendiri meletakkannya dalam pengecualian; membunuh bukan dosa jika hal itu merupakan hukuman atas kejahatan. “Berbohong adalah dosa” tidak universal, karena ia diperbolehkan dan bahkan diharuskan untuk menyelamatkan kehidupan Nabi. “Menyebarkan perdamaian adalah baik” tidak universal; ia tidak berlaku mutlak dalam keadaan-keadaan yang benar-benar memaksa. Proposisi-proposisi ini dan sejenisnya hanya pada dianggap benar secara umum. Jadi, proposisi-proposisi itu tidak tepat untuk menjadi premis mayor dalam silogisme praktis demonstratif. Akan tetapi, hanya tepat untuk kegunaan yang sifatnya dugaan dalam argumen-argumen hukum.

Kedua, kebenaran-kebenaran etika yang diduga universal gagal melewati pengujian subjektif atas kepastian yang tak terbantahkan, yang diperlukan untuk semua prinsip-prinsip pertama intelek yang bersifat intuitif. Di sini Al-Ghazali berargumentasi bahwa “jika Anda harus menjadi rasional sepenuhnya, tetapi tanpa pengalaman dan kesan, Anda akan dapat menyangsikan premis-premis seperti ‘membunuh manusia adalah dosa, atau paling tidak ragu-ragu tentang premis-premis tersebut. Akan tetapi, Anda tidak dapat menyangsikan prinsip bahwa negasi dan afirmasi tentang sesuatu tidak dapat menjadi benar dalam keadaan yang sama atau dua lebih besar daripada satu”.

Memang, contoh ini dapat dipersoalkan, sebab seseorang yang secara total diabstraksikan dari komunitas tertentu yang menyediakan konteks yang sesuai bagi kehidupan etis, tidak akan mampu membuat penilaian moral. Orang seperti itu tidak akan berada dalam posisi yang baik untuk memberi komentar atas keniscayaan dan universalitas aturan moral karena ia bahkan tidak mungkin dapat menangkap apa makna suatu aturan moral. Namun, makna umum dari argumen tersebut valid, yaitu bahwa terdapat perbedaan penting antara kebenaran logis dan matematis yang sifatnya niscaya dan jenis “kebenaran” yang mencakup etika. Ketiga, proposisi apa pun yang ditangkap secara langsung atau niscaya (bi al-dharûrah) mesti menuntut persetujuan bulat tanpa pengecualian.

Akan tetapi, kebenaran-kebenaran etika rasional itu dipersoalkan karena aliran-aliran Islam yang gagal melakukan kesepakatan tentangnya. Mu’tazilah menjawab bahwa ketidaksepakatan tersebut adalah mengenai teori pengetahuan etika – seperti persoalan yang dibahas di sini – bukan mengenai proposisi-proposisi normatif tingkat pertama, yang mereka pandang rasional. “Akan tetapi, ini tidak benar,” kata Al-Ghazali, “ada juga ketidaksepakatan-ketidaksepakatan dalam pengetahuan normatif, umpamanya mengenai kejahatan yang mengakibatkan penderitaan pada binatang.” Ini, menurut klaim Mu’tazilah, diketahui melalui rasio, tetapi dalam kitab suci Tuhan telah mewahyukan persetujuan untuk itu, dalam kasus pengorbanan terhadap binatang.

Keempat, jika wajib dipahami menurut pengertian Al-Ghazalian yang “benar” adalah “niscaya menghasilkan manfaat”, maka tidak mungkin bagi rasio untuk membuktikan jenis wujud (keniscayaan) ini dalam pengertian apapun menurut aturan-aturan Mu’tazilah. Al-Ghazali jelas-jelas mengemukakan penolakannya dalam Mustasyfâ, dengan berpijak dari definisi dan rangkaian dilema.

Jelas bahwa menurut Al-Ghazali etika sangat tidak mungkin untuk menjadi pengetahuan rasional. Tidak ada basis yang memadai untuk membangun etika yang bersandar pada fondasi rasional; tidak ada ide tentang hukum dan tidak ada unsur-tujuan (kebertujuan) rasional dalam kodrat kemanusiaan kita. Satu-satunya basis yang di dalamnya etika dapat dibangun adalah wahyu Tuhan, yakni “subjektivisme teistik” (theistic subjectivism). Suatu pandangan mendefinisikan kebaikan etis sebagai “apa saja yang disetujui oleh Tuhan” dan sebagai “kebenaran tindakan-tindakan” yang diperintahkan oleh Tuhan.

Titik Temu Etika Kantian dan Al-Ghazalian

Pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara Al-Ghazali dan Kant dalam konsepsi mereka mengenai Tuhan dan mortalitas. Latar belakang pemikiran Kant adalah Alkitab, sedangkan latar belakang pemikiran Al-Ghazali adalah Al-Qur’an. Bahkan, dalam masalah yang paling penting, yaitu masalah keabadian dunia Kant memiliki kesamaan ide dengan Al-Ghazali dalam menggarisbawahi gagasan bahwa waktu, bersama-sama dengan dunia, diciptakan oleh Tuhan. Satu-satunya perbedaan di antara mereka adalah cara merumuskan dan menetapkan peranan dan fungsi rasio dalam memahami fenomena alam dan fenomena moralitas manusia.

Muhammad Asif Maulana

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses