Kehadiran media sosial dan kehidupan manusia sudah tak dapat lagi dipisahkan. Mulai dari anak muda hingga orang dewasa adalah pengguna aktif media sosial. Jenis media sosial sendiri bermacam-macam, bergantung pada fungsi dan kebutuhan pengguna. Jika merujuk data dari We Are Social, media sosial yang kerap kali digunakan di Indonesia adalah WhatsApp, YouTube, Instagram, Facebook, TikTok, dan Twitter. Masih menilik data yang sama, rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan tiga jam lebih waktunya untuk bermain media sosial.
Keberadaan media sosial telah menyatu dan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Eratnya kehadiran media sosial di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, membuat tak jarang timbul permasalahan utamanya bagi kalangan remaja. Pernyataan tersebut diperkuat dengan data dari BPS, pada tahun 2020 sekitar 17,13 persen pengguna internet berada pada rentan umur 19-24 tahun. Jumlah yang tidak sedikit tentunya dan merupakan perihal yang mesti dianggap serius.
Hidup di era disrupsi mengharuskan setiap insan terus mengikuti peredaran informasi terbaru. Dalam perkembangannya, kemudahan mengakses informasi tidak selamanya berdampak positif. Contoh ketika saya, kamu, atau kita mengakses profil media sosial seseorang dan melihat bagian “indah” kehidupannya. Pastilah sempat terbersit di dalam benak untuk membandingkan nasib pribadi dengan orang lain. Krisis emosional tersebut umumnya dibarengi dengan perasaan sedih, cemas, bingung, terisolasi, sampai takut akan kegagalan. Perasaan tersebut banyak dipahami sebagai fase Quarter Life Crisis. Perihal seperti finansial, karier, serta relasi dapat menjadi pemicu kambuhnya fase tersebut dalam diri seseorang.
Pemicu-pemicu yang telah disebutkan sebelumnya sangat berkaitan dengan kehadiran media sosial. Kita ambil contoh media Instagram di mana setiap penggunanya berbondong-bondong untuk dapat menjadi yang terhebat, entah dalam unjuk pencapaian, kebaikan, atau bahkan hal yang tak penting seperti banyaknya jumlah pengikut. Efek domino dari perilaku tersebut adalah pengguna selalu terjaga dalam mengecek notifikasi dalam rentan waktu tertentu. Kondisi tersebut dipahami sebagai hyperreality.
Jean Baudrillard selaku sosiolog serta pemerhati kebudayaan menerangkan, bahwa perkembangan teknologi tidak hanya memudahkan setiap laku manusia melainkan juga dapat memproduksi semacam fiksi atau fantasi dan mengubahnya menjadi kenyataan. Mengabadikan setiap momen di waktu yang telah berlalu, serta menyederhanakan setiap pernak-pernik dunia dalam sebuah layar.
Mudahnya mengakses segala sesuatu lewat gawai masing-masing, membuat media sosial menjadi pilihan utama bagi pengguna dalam menghilangkan stres. Naas, bukannya menghilangkan, media sosial malah membuat rasa stres semakin parah. Hal tersebut merujuk kepada penelitian dari Pew Research Center tahun 2015 yang di Washington DC. Survei yang diikuti oleh 1.800 orang tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa Twitter adalah “Aktor Utama” dari rasa stres penggunanya. Hal ini diakibatkan karena pengguna media sosial dapat dengan mudah mengerti permasalahan orang lain. Di sisi lain pengguna sosial dapat lupa dengan masalahnya sendiri dan tanpa sadar sibuk berkutat pada masalah orang lain. Tentunya perilaku tersebut dapat menumpuk masalah dalam diri dan menimbulkan stres berkepanjangan.
Guna menghindari penggunaan media sosial secara berlebihan kita perlu melakukan detoksifikasi digital. Langkah tersebut untuk menanggulangi rasa cemas yang hadir akibat berlebihan menggunakan media sosial. Hal tersebut diperkuat oleh kajian dari Guilford Journals, bahwa individu yang mengurangi penggunaan media sosial selama setengah jam dalam sehari memiliki tanda-tanda depresi serta kecemasan lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak menerpakan pembatasan.
Merujuk artikel dari American Academy of Opthalmology, terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menerapkan detoksifikasi media sosial dan di antaranya sebagai berikut.
Nonaktifkan fitur pemberitahuan pada setiap media sosial. Pemberitahuan yang kerap muncul dalam layar gawai kita mungkin dapat bersifat informatif. Namun jikalau hal tersebut terjadi terus-menerus pada jangka waktu berdekatan, maka upaya detoksifikasi digital tidak dapat berjalan optimal. Atur komposisi warna dalam gawai menjadi hitam dan putih. Komposisi warna pada gawai memiliki peran dalam membangun ketertarikan penggunaannya. Lewat warna-warna yang cerah bentuk visual menjadi memikat dan tanpa terasa sampai lupa waktu menggunakan gawai. Letakkan gawai ketika berkumpul bersama orang terkasih. Kecanggihan teknologi telah membuat yang jauh menjadi dekat dan yang dekat menjadi jauh. Hal ini terlihat ketika pengguna gawai kini sibuk dengan perangkanya meskipun sedang bersama orang-orang terdekat. Guna menghindari hal tersebut penting untuk menyimpan gawai dan memaksimalkan waktu yang ada bersama orang terdekat. Tetapkan lama waktu penggunaan gawai. Mengatur lamanya penggunaan gawai adalah salah satu cara yang tepat untuk meminimalisir kecanduan media sosial. Prioritaskan setiap keperluan penting yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Lalu jikalau hendak bersafari dengan membuka fitur hiburan coba tetapkan berapa lama waktu penggunaan.
Langkah-langkah tersebut dapat diterapkan untuk menghindari kecemasan berlebih akibat penggunaan media sosial. Harapannya setelah menerapkan cara-cara di atas saya, kamu, atau kita dapat menerima kondisi diri dengan rasa syukur. Hal tersebut sangatlah penting karena tidak akan ada rasa cukup ketika terus membandingkan dengan pencapaian orang lain. Selain itu Quarter Life Crisis juga akan selalu muncul dalam setiap kelompok umur, namun ketika dapat mengetahui dengan cermat terkait apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh diri. Maka fase tersebut dapat terlewati dengan baik.
Dion Faisol Romadhon
Mahasiswa Antropologi Universitas Airlangga
- 04/03/2021