fbpx

Sukarnya menjadi sarjana di tengah pandemi covid-19

Jargon-jargon agent of change, revolusi, dan merdeka sudah tak lagi berlaku sepertinya. Bagaimanapun skripsi yang tebal itu telah menjadi tumpukan kertas berdebu; gelar akademik tak ubahnya pemanis di belakang nama; dan semangat kemahasiswaan hanya berakhir sebagai cerita.
No Unemployment karya Elizabeth Olds (1936)
No Unemployment karya Elizabeth Olds (1936).

“Lepas dari mulut harimau, masuk ke dalam mulut buaya.”

Mungkin itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisi para wisudawan dan wisudawati kini. Jargon-jargon agent of change, revolusi, dan merdeka sudah tak lagi berlaku sepertinya. Bagaimanapun skripsi yang tebal itu telah menjadi tumpukan kertas berdebu; gelar akademik tak ubahnya pemanis di belakang nama; dan semangat kemahasiswaan hanya berakhir sebagai cerita. Kondisi-kondisi pasca kehidupan kampus seperti usia orang tua yang telah senja, hilangnya rekan sejawat, dan pencapaian diri yang dirasa stagnan membuat pribadi menjadi lebih realisitis dalam bersikap.

Setiap hari hanya berkutat kepada berita lowongan kerja, mencari peluang untuk membebaskan diri dari status beban keluarga. Pastilah setiap upaya itu tak berjalan seperti rencana entah karena terjebak lowongan palsu, penolakan dari perusahaan yang dilamar, atau jurusan kuliah tak sesuai dengan industri yang ada. Jadilah saya ini seorang pengangguran terdidik dengan segala problematika hidup. Kondisi tersebut dikuatkan dengan hasil survei Tenaga Kerja Nasional yang menunjukkan tingkat pengangguran terbuka pada penduduk usia muda berkisar 18,03% pada Februari 2021. Hasil tersebut menunjukkan kenaikan sebesar 1,72% jika dari Februari 2020, namun apabila dikomparasikan pada bulan Agutus 2020 hasil tersebut turun 2,43%. Lebih dalam lagi Sakernas menjelaskan bahwa sebanyak 3,82 juta penduduk dengan rentang usia 15-24 tahun masih menganggur.

Kondisi ini secara tidak langsung mengundang kecemasan bagi para fresh graduate dalam menentukan langkah pasca kehidupan kuliah. Sebuah penelitian dilakukan kepada 57 mahasiswa jurusan Psikologi Universitas Lambung Mangkurat yang lulus saat pandemi covid-19. Hasilnya sekitar 43,4% mahasiswa fresh graduate mengalami kecemasan dalam kategori tinggi (Rika, 2021). Lewat penelitian dapat dimengerti bahwa kegetiran menjadi pengangguran dirasakan banyak orang. Jadi bukanlah menjadi alasan untuk kita semua murung akan keadaan yang ada. Sekarang ini banyak kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang dapat kita manfaatkan sebagai sarana pengembangan diri.

Pertama adalah kartu prakerja yang telah kita ketahui bersama sebagai kebijakan pemerintah untuk meningkat kemampuan masyarakat dengan beragam program, walaupun banyak mendapatkan komentar tak sedap dari masyarakat. Dalam perkembangannya kartu prakerja mampu mengurangi tingkat pengangguran seperti yang dikatakan Denni Puspa Purbasari selaku Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja. Dikutip dari laman fin.co.id, Hasil Survey Evaluasi Manejemen Pelaksana Program Kartu Prakerja yang digelar pada Januari 2021 menunjukkan sepertiga dari total penerima kartu prakerja telah bekerja kini. Kebetulan pendaftaran kartu prakerja untuk gelombang baru telah dibuka dan untuk pembaca dapat mempertimbangkan kesempatan ini.

Selain itu juga ada program Ayo Kursus 2021 yang diresmikan oleh Kemendibud Ristek lewat Direktorat Kursus dan Pelatihan, Direktur Jendral Pendidikan Vokasi. Melansir dari kompas.com, Wartanto selaku Direktur Kursus dan Pelatihan, memaparkan adanya program Ayo Kursus bertujuan untuk menjembatani anak-anak untuk dapat reskilling dan upskilling. Lebih dalam lagi dapat mencetak SDM yang memenuhi kebutuhan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI).

Kebijakan-kebijakan dari pemerintah tersebut patut untuk diapresiasi dan dikritisi penerapannya. Pada akhirnya situasi pandemi telah membawa banyak pihak ke dalam fase tersulit kehidupan. Permasalahan, kecemasan, dan kegagalan telah menjadi makanan sehari-sehari. Namun penulis ingin mengajak pembaca untuk dapat merefleksikan kembali kondisi yang ada.

Mungkin lewat keterbatasan tersebut kita masih dapat melakukan sesuatu guna penghidupan yang lebih baik. Jalannya upaya seringkali tidak cepat membuahkan hasil namun setidaknya telah mencoba dari pada berdiam diri. Sebagai penutup baiknya saya mengutip bait-bait lirik dari Pangalo berjudul Menghidupi Hidup Sepenuhnya.

Aku menari dalam kelam dunia ini, kawan.
Merayakan hidup dengan hasrat pemberontakan
Berjanji dalam hati bahwa aku tak berhenti.
Melampaui diri sendiri dengan amorfati.
Kutuliskan anarki lalu kuberaksi, kukoreksi diri dengan khusyuk kontemplasi.
Kubekal hati, nalarku mengambil kendali, setiap nazar kugenapi dengan revolusi diri.
Kehendak berkuasa menantang penguasa, merumuskan senjata dengan tajam kata-kata.
Kumati berkali dan lahir kembali, menata kembali moralku yang basi.
Sampaikan pada kawanku yang lelah mengembara.
Yang memendam angkara atas congkaknya dunia
Jangan pernah menyerah, meskipun tak bermakna
Tetap jalani hidup ini dengan sepenuhnya
Tetaplah kau hunus amarahmu macam semangat Sisifus
Kepakkan harapanmu bagai sayapnya Ikarus
Walau hangus ragamu jangan terberangus.
Meskipun absurd yang penting kau tulus.

Daftar Pustaka

Zwagery, Rika Vira. “Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Pada Mahasiswa fresh graduate Pada Masa Pandemi Covid 19.” Temu Ilmiah Nasional (TEMILNAS XII) 1.1 (2021).

Dion Faisol Romadhon

Mahasiswa Antropologi Universitas Airlangga

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content