Diskursus kebijakan lingkungan hidup: Membuka sumbatan ruang partisipasi

Foto oleh B. Anthony Stewart

Membaca diskursus kebijakan lingkungan hidup secara kontekstual, berarti harus melihat bagaimana praktik demokrasi yang ada di Indonesia sekarang ini. Terutama bagaimana regulasi dan kebijakan dibuat, apakah sesuai dengan kepentingan publik. Melihat artikulasi kepentingan publik, maka harus dibaca pada konteks sejauh mana kebijakan terkini sejalan dengan persoalan yang dihadapi publik. Problem utama dari kebijakan terkini lebih bersifat top-down disusun oleh yang berkepentingan, sehingga sering kali bertentangan dengan kepentingan publik, apalagi sustainability. Ini dapat dilihat dari political will baik dari legislatif maupun eksekutif yang menelurkan aneka aturan yang inkonstitusional dan tidak memiliki “sensitivitas ruang ekologis.” Ini dapat dilihat dari keberadaan UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang dalam pembuatan hingga pengesahan sarat dengan kepentingan 1% daripada mayoritas 99%. Mengapa demikian? Berdasarkaneeeeee riset dari Marepus Corner yang berjudul “Peta Pebisnis di Parlemen Potret Oligarki di Indonesia”, menunjukkan bukti bahwa banyak dari anggota legislatif merupakan pebisnis langsung dan pebisnis tidak langsung. 

Lebih detail lagi, 5-6 dari 10 anggota DPR RI merupakan kelompok pengusaha atau sekitar 55% dari total populasi, sekitar 26% merupakan pemilik usaha, lalu yang berposisi sebagai direktur dan wakil direktur ada 25%, komisaris 8% dan seterusnya merupakan pemegang posisi strategis korporasi. Sektor usaha yang paling dominan di legislatif adalah tambang dan migas sekitar 15%, lalu teknologi, industri, retail dan manufaktur kurang lebih 15% disusul oleh perkebunan, perikanan dan peternakan 10%. Jika dipetakan lebih jauh lagi, contoh kasus komisi III DPR RI yang membawahi bidang pertanian, pangan, maritim dan kehutanan mayoritas diisi oleh pebisnis dari sektor perkebunan, perikanan dan peternakan sekitar 21%, lalu di komisi VII yang membawahi bidang energi, riset, teknologi dan lingkungan hidup didominasi oleh sektor tambang dan migas sekitar 30%.

Di atas adalah potret legislatif, lalu bagaimana dengan eksekutif. Setali tiga uang, tak jauh berbeda, mayoritas pengisi pos eksekutif adalah jaringan pengusaha besar yang memegang kendali atas usaha di sektor tambang, migas dan sawit, belum lagi ketersambungan dengan aktor-aktor yang tidak tampak. Seperti dalam invesigasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) “Oligarki Tambang di Balik Pilpres 2019” menggambarkan keterlibatan pebisnis besar dalam pesta demokrasi, baik di kubu incumbent maupun penantang. Puncaknya saat gelaran pilpres usai, kedua kelompok yang bertarung menyatu meninggalkan huru-hara di masyarakat “cebong dan kampret.” Hampir pos penting pemerintahan diisi oleh politisi sekaligus pebisnis, yang juga punya koneksi dengan “baret hijau” dan “seragam coklat.” 

Kondisi di atas menunjukkan apa yang disebut oleh Meitzner (2014) dalam “Money, Power, And Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia I” sebagai pola kekuasaan di Indonesia yang hanya didominasi oleh aktor politik tak berideologi, karena kepentingan mereka adalah mengamankan kekuasaan dan memperoleh kekayaan, sehingga tidak ada musuh yang abadi ideologis, justru yang tampak adalah kepentingan. Maka tidak heran corak kekuasaan politik di Indonesia tidak ada oposisi yang sempurna, cenderung nepotis, korup dan elitis. Paling tidak itulah yang disebut sebagai relasi-relasi sosial sebuah jejaring kroni bisnis yang mencoba menegaskan kekuasaan, memperluas pengaruh dan meningkatkan pendapatan. Pada akhirnya menciptakan logika kuasa berupa membentuk institusi-institusi sosial dan politik sebagai arena pertarungan kepentingan (Hadiz & Robinson, 2004) tak ayal praktik rent seeking, manipulasi regulasi dan kebijakan dalam suatu yang diklaim sebagai pembangunan menjadi sangat kentara, baca “Menaja Jalan: Ekonomi Politik Pembangunan Infrastruktur Indonesia” dari Jamie Davidson (2019). 

Dari penjabaran di atas jika diabstraksikan, maka artikulasi kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik, akuntabel dan partisipatif benar-benar hanya gimmick, sebab tidak ada yang namanya kepentingan publik, justru yang ada adalah kepentingan kelompok 1% berkuasa. Ini dapat dilihat dari aneka regulasi yang dibuat, lalu proyek pembangunan yang dijalankan, semua tak lepas dari kepentingan bisnis elite. Baik proyek energi, tambang, ketahanan pangan dll yang berhubungan dengan sumber daya alam selalu bertalian dengan kelompok tersebut. Contoh kasus untuk memenuhi Energi Baru Terbarukan (EBT) salah satu yang didorong adalah geotermal, tetapi hampir operator dan private partnership adalah aktor-aktor lama yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan dan sebelumnya menguasai energi kotor sebut saja Bakrie Group dan Medco. Begitu juga tren menggunakan mobil listrik hingga energi solar, semuanya bertalian dengan pemain tambang nikel besar yang juga berhubungan dengan aktor lama, sebut saja menteri segala urusan. Sehingga dapat dikatakan, melihat dari proses politik yang seperti dijabarkan, munculnya regulasi dan kebijakan pro pemodal di sektor ekstraktif, maka apa yang disebut sebagai sustainability adalah “ketidaknyataan yang terus direproduksi.”

Ketidaktentuan demokrasi dan tersumbatnya ruang partisipasi

Melihat dari perspektif Paul Robbins (2012) dalam “Political Ecology A Critical Introductions” menyatakan pengadopsian pendekatan apolitis terhadap tata kelola lingkungan sangat erat kaitannya dengan pendekatan pasar dan modernisasi. Terutama hal ini dapat dilihat dari sisi perubahan kelembagaan dan politik, terutama mengikuti pola “neoliberalisme.” Paling tidak pendekatan ini secara inheren bersifat politis, untuk mendorong apa yang disebut sebagai individuasi dan mendistribusikan sumber daya “commons” seperti hutan atau air. Karena untuk menyokong arus pasar dan modernisasi yang lekat dengan “developmentalism” sangat membutuhkan keterasingan dari pengguna sumber daya sebelumnya. Pengelolaan sumber daya agar dapat dimanfaatkan secara ekonomis dibutuhkan transformasi institusi sosial-politik. Sebab semakin pasar terbuka, maka mereka menuntut deregulasi tenaga kerja dan kontrol atas lingkungan. Sehingga jika dikaitkan dengan partisipasi, praktik deregulasi hingga persoalan tidak terakomodirnya kepentingan publik. Praktis, pendekatan apolitis sangat lekat dengan penutupan ruang partisipasi secara tidak langsung.

Secara realitas dinamika terkini menunjukkan bahwa kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan publik, ternyata hanya mewakili kepentingan dari segelintir elite. Hal tersebut merupakan wujud dari ketidaktentuan demokrasi, karena terdapat praktik pendekatan apolitis dalam membuat sebuah kebijakan, terutama menyasar sektor lingkungan hidup. Di mana publik yang berkepentingan atas masa depan ruang hidupnya sangat terbatas ruang partisipasinya, ketika memang benar-benar ingin mendorong dan mengubah sebuah regulasi serta kebijakan yang linier dengan kondisi rill. Karena persoalan di Indonesia begitu kompleks, belum ada yang disebut sebagai ruang deliberatif (ruang publik, diskursus dan partisipatif) yang benar-benar utuh. Kenyataannya ruang tersebut hanya sebatas citra yang digunakan untuk menggugurkan kewajiban demokrasi, terlebih melihat peta di legislatif yang sangat terbatas, kaku dan terjebak aneka kepentingan. 

Kecacatan demokrasi dalam konteks representasi, secara praktik telah ditutup rapat ruang tersebut, ini terlihat aneka agenda masyarakat sipil yang mendorong transformasi sektor kelola lingkungan tidak ada yang diakomodir. Kanal-kanal ruang tersebut mau tidak mau harus diakui sangat terbatas, misalnya petisi saja, belum ada aturan khusus yang mengakomodir petisi sebagai salah satu hal yang penting untuk ditanggapi dan jalankan sebagai mandat publik. Kondisi ini praktis menggambar betapa bermasalahnya representasi, sehingga tidak dimungkinkan apa yang disebut sebagai partisipasi langsung, seperti petisi, referendrum dll. Karena memang sistem di Indonesia tidak memfasilitasi hal tersebut. Belum lagi aneka aturan pemilu yang menghambat partisipasi publik, seperti adanya presidential threshold belum lagi juga election threshold, sampai aturan pembentukan partai politik yang berbelit, rumit dan membatasi partisipasi publik. Ruang-ruang publik yang seharusnya menjadi wilayah pertukaran pengetahuan, suatu ruang di mana publik dapat terlibat pra dan pasca pembuatan suatu regulasi, benar-benar tertutup. 

Mendorong partisipasi melalui pendidikan kritis

Melibatkan masyarakat terutama generasi muda menjadi tantangan tersendiri dalam upaya untuk mendorong ruang partisipasi dan mengembalikan lagi ruang demokrasi yang tersumbat, sehingga mengakibatkan kebijakan yang tidak sejalan dengan kepentingan publik dan kondisi rill lingkungan hidup terkini. Euforia aktivisme Gretha Thurnberg mampu meluas hingga ke Indonesia, mengilhami beberapa aksi bertajuk climate strike sampai terakhir school skipping yang baru-baru ini dilakukan oleh 8-10 pelajar SMA di Kota Batu dan Malang, sampai mulai munculnya gerakan Jeda untuk Iklim Indonesia, Extincion Rebellion, Jaga Rimba, Golongan Hutan, Koprol Iklim dan Climate Rangers, menjadi semacam harapan baru bagi gerakan lingkungan hidup di Indonesia. 

Meski begitu, gerakan tersebut masih tersegmentasi untuk golongan menengah urban, belum mampu meluas hingga ke perdesaan atau kelompok rentan urban. Persoalan ekonomi politik menjadi pembacaan atas persoalan ini, di mana kelompok-kelompok rentan di perdesaan dan urban tidak terlampau memiliki kesadaran atas persoalan tersebut rata-rata memang kurang mengetahui meski mereka merasakan apa yang disebut degradasi lingkungan dan perubahan iklim. Mereka lebih banyak disibukkan oleh kerja sehari-hari sehingga teralienasi dari alam dan realitas sosial politik. Di sini kita melihat bahwa kapitalisme memang bekerja dengan memisahkan manusia dengan alam, mereka teralienasi dari ruang hidup mereka karena ketiadaan alat produksi, proses demikian telah dijabarkan secara lengkap oleh Bellamy Foster (2000) dalam “Marx’s Ecology: Materialism and Nature,” terutama dalam pembahasan The Metabolism of Nature and Society

Paling tidak gambaran di atas merupakan situasi rill yang tengah dihadapi oleh kondisi demokrasi Indonesia, di mana minimnya kesadaran khususnya anak muda memiliki persoalan yang berbeda. Maka untuk mendorong bagaimana keterlibatan masyarakat terutama golongan muda secara lebih luas, dibutuhkan usaha yang tidak mudah. Harus ada ruang-ruang pembelajaran sebagai wujud transformasi pengetahuan. Konstruksi yang harus dibangun di sini adalah memunculkan apa yang disebut sebagai critical consciousness yang oleh Freire (1970) dalam “Pedagogy of Oppressed” disebut sebagai conscientization sebuah upaya untuk menumbuhkan kesadaran kritis melalui pendidikan progresif yang kontekstual (disesuaikan wilayah). 

Mendorong sebuah kesadaran kritis dibutuhkan pemahaman atas kondisi dan situasi wilayah, mereka berada di kelompok rentan urban atau perdesaan, sehingga nantinya akan menumbuhkan strategi tepat sasaran. Secara dasar persoalan dan realitas dua wilayah tersebut sangat berbeda. Misalnya wilayah urban problemnya adalah penggusuran, eksklusi, sampai ancaman banjir, maka kondisi itu berbeda dengan pedesaan yang rata-rata persoalannya beberapa berkutat pada persoalan hak atas lahan, kegagalan panen, mulai menurunnya ikan di laut, adanya alih fungsi lahan. Meski hampir serupa, tetapi akarnya berbeda sehingga dalam memunculkan kesadaran kritis pun juga berbeda caranya.

Pada praktiknya untuk menumbuhkan kesadaran kritis dibutuhkan eksperimentasi yang berdasarkan pada konteks wilayah berbeda, harus benar-benar dilihat. Sebab pengalaman di urban berbeda dengan perdesaan, begitu pula pengalaman Freire di Brazil berbeda dengan di Indonesia. Kontekstualisasi ini nantinya akan mengarah pada tataran sampai mana tingkat kesadaran, tentu hal tersebut akan mendorong semacam perlakuan khusus atau bagaimana pendidikan kritis akan dijalankan pada kondisi dan situasi wilayah tertentu. Semisal dalam suatu wilayah apakah mereka condong ke sifat tiga tipologi antara lain magis, naif dan kritis. Sehingga menumbuhkan gerakan dari kalangan anak muda terutama dari kelompok rentan sangat berbeda dengan kelompok urban menengah dan terdidik, bahkan sangat berbeda dengan gerakan anak muda di Eropa sana. 

Paling tidak keberhasilan pendidikan kritis dapat dilihat di Brazil, sebagai contoh organisasi Movimiento de los Trabajadores Rurales Sin Tierra (MST) atau gerakan dari pekerja tak bertanah, mereka benar-benar lahir dari kelompok rentan melalui pengorganisiran dan pendidikan kritis baik tua maupun muda. Bahkan mereka tidak sekedar berbicara soal tanah, tapi berbicara soal iklim dan kedaulatan pangan melalui gerakan agroekologi-nya. MST adalah contoh praktik pendidikan kritis yang memunculkan kesadaran kritis dan mengilhami sebuah gerakan besar, memiliki posisi tawar yang kuat dan menjadi salah satu gerakan yang menyokong kemenangan Workers Party Brazil. Bahkan mereka mampu mendorong kebijakan reforma agraria skala luas dan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan iklim dan lingkungan hidup, salah satunya upaya mendorong tata kelola lingkungan yang lebih pro ekologis seperti dikatakan Meszaros (2013) dalam catatannya “Social Movements, Law and the Politics of Land Reform: Lessons from Brazil.”

Sains dan ilmu pengetahuan sebagai faktor pendorong

Mendorong sebuah ruang deliberatif hingga memunculkan ruang partisipasi masyarakat terutama bagaimana memunculkan sebuah kesadaran kritis, tentu tidak bisa dilepaskan dari bagaimana posisi sains dan ilmu pengetahuan. Meski cukup miris dalam situasi terkini di mana sains dan ilmu pengetahuan tidak lagi memiliki keberpihakan kepada realitas, sering kali malahan menjadi legitimasi dari aneka perampasan hingga pembuatan regulasi dan kebijakan yang memakan ruang hidup, sampai berperan dalam menekan ruang partisipasi. Padahal jika berbicara sains, seharusnya menjadi sebuah kanal untuk mengabarkan yang benar-benar terjadi dalam ruang realitas. Seperti yang diungkapkan oleh Noam Chomsky (2017) dalam “Responsibility of Intellectual” bahwa seorang intelektual harus mengatakan kebenaran dan mengungkap kebohongan. 

Meski begitu praktiknya sangatlah susah, memang apa yang dikatakan Chomsky sulit disangkal, tetapi dalam situasi terkini kondisi tersebut sangat berkontradiksi, di mana sains bukan lagi kita berbicara sebuah kebenaran yang harus diutarakan, tetapi lebih ke berbicara sebuah kebenaran yang disampaikan dengan menutupi kebohongan. Kebenaran yang subjektif pada pemangku kuasa atau kepentingan, mengungkapkan yang nyata namun menutupi realitas. Kondisi inilah yang sering kita temukan dalam aneka persoalan perampasan ruang, persoalan lingkungan dan perubahan iklim. Sering kali sains dijadikan legitimasi untuk membenarkan logika kuasa eksploitatif, di mana secara politis mereka membentuk aneka aturan yang sangat bertentangan dengan kondisi ruang, bahkan tanpa malu-malu melakukan pembungkaman dengan selimut sains. Seperti mendekonstruksi pengetahuan lokal masyarakat menjadi irasional, tidak ilmiah dan lain-lain. Ini dapat dilihat dari kondisi sekarang, yang mana aneka proyek nasional hingga persoalan alih fungsi kawasan hutan tetap eksis dengan dalih sudah dikerjakan oleh ahli dan melalui riset yang ilmiah. Contoh paling mudahnya adalah sawit yang dilegitimasi oleh perguruan tinggi di Bogor sebagai tanaman hutan.

Di sini penting melihat bahwa sains dan ilmu pengetahuan harus menjadi salah satu tumpuan yang dikembalikan lagi marwahnya, menjadi yang mengatakan kebenaran dan mengungkap kebohongan. Paling tidak menjadi hal yang mendorong terbangunnya ruang publik, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mendorong sebuah tatanan yang lebih demokratis, terutama berkaitan dengan konteks artikulasi kebijakan publik yang mendorong sebuah perubahan tata kelola dalam konteks lingkungan hidup. Karena sains dan ilmu pengetahuan yang berpihak dan membumi, akan memberikan sumbangsih yang besar terhadap masyarakat terutama kelompok rentan, di mana mereka mendapatkan pengetahuan, sehingga dapat memunculkan partisipasi dan menguatkan mereka dalam sebuah gerakan lingkungan.

Kesimpulan

Melihat kenyataan tertutupnya ruang partisipasi publik dalam sebuah demokrasi yang tercermin dari artikulasi kebijakan publik yang tidak memiliki keberpihakan pada realitas, mendorong perentanan masyarakat dan keberlanjutan kehidupan komunitas di masa mendatang. Tertutupnya ruang tersebut sebagai sebuah implikasi dari menurunnya partisipasi publik dalam ruang demokrasi, proses alienasi hingga manipulasi oleh pemangku kepentingan telah mendorong situasi rumit yang terjadi sekarang. Sehingga jika membincangkan masa depan lingkungan hidup apalagi berbicara soal iklim dalam konteks Indonesia tengah dibawa ke arah suram.

Peran masyarakat terutama anak muda, khususnya kelompok rentan di daerah urban dan perdesaan menjadi harapan perubahan untuk menyelamatkan lingkungan hidup. Pendidikan kritis yang menumbuhkan kesadaran kritis dengan melihat konteks wilayah serta didorong oleh sains dan ilmu pengetahuan, merupakan keniscayaan untuk menumbuhkan sebuah gerakan yang nantinya akan mengisi ruang partisipasi dan mengembalikan lagi ruang deliberatif. Sehingga artikulasi kebijakan dan regulasi yang tidak demokratis, di mana kanal-kanal ruang partisipasinya disumbat dapat didobrak dan dikembalikan lagi marwahnya. Situasi tersebut paling tidak akan mengilhami sebuah cita-cita untuk menyelamatkan bumi, terutama Indonesia dari kiamat ekologis.

Wahyu Eka Setyawan

Seorang pelajar di WALHI Jawa Timur

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.