Dramaturgi Goffman di Dunia Open World Game

Dramaturgi Goffman menjelaskan fenomena open world game sebagai ruang sosial terstruktur di mana manusia menemukan kebebasan dalam batas-batas yang jelas.

Dramaturgi Goffman menjelaskan fenomena open world game sebagai ruang sosial terstruktur di mana manusia menemukan kebebasan dalam batas-batas yang jelas.

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia open world game seperti Genshin Impact atau Roblox telah menjadi ruang sosial yang semakin digemari, terutama oleh generasi muda. Fenomena ini bukan hanya tentang hiburan atau pelarian dari rutinitas, tetapi juga tentang cara baru manusia membangun dan menampilkan diri. Di dunia virtual ini, interaksi sosial diatur oleh sistem yang jelas, estetika yang dapat disesuaikan, serta aturan main yang konsisten—sebuah kombinasi yang sulit ditemukan dalam relasi sehari-hari di dunia nyata.

Sosiolog Erving Goffman, melalui teori dramaturginya, memberikan kerangka yang relevan untuk memahami hal ini. Menurut Goffman, kehidupan sosial dapat dipandang seperti pertunjukan teater, di mana setiap orang memainkan perannya di “panggung depan” untuk audiens, sambil mempersiapkan diri di “panggung belakang” yang lebih privat. Perspektif ini membuka cara pandang baru terhadap mengapa dunia open world game terasa begitu nyaman: ia menawarkan panggung yang terstruktur, ruang privat yang fleksibel, kontrol penuh atas identitas, dan kenyamanan psikologis dari “naskah” interaksi yang jelas.

Fenomena ini bahkan dapat menjelaskan mengapa kejadian langka di dunia nyata—seperti seorang remaja yang menjadi ketua RT—mendapat sorotan besar. Di dunia game, hal semacam ini adalah hal yang lumrah: usia, latar belakang, atau pengalaman bukanlah hambatan selama penampilan di panggung sesuai ekspektasi. Dengan demikian, dunia virtual tidak hanya menjadi ruang hiburan, tetapi juga arena eksperimen sosial yang semakin membentuk cara kita berinteraksi dan memahami diri sendiri.

Front Stage

Dalam teori dramaturgi Erving Goffman, front stage adalah ruang di mana individu menampilkan diri mereka untuk dilihat, dinilai, dan diinterpretasikan oleh audiens. Di dunia nyata, panggung depan ini sering kali penuh dengan ketidakpastian: standar penampilan bisa berubah-ubah, aturan sosial kadang samar, dan audiensnya beragam dengan ekspektasi yang tidak selalu jelas. Sebaliknya, di dunia open world game, panggung depan dibangun dengan struktur yang relatif stabil dan mudah dipahami semua pihak.

Dalam Genshin Impact, misalnya, setiap pemain hadir dengan avatar yang secara visual merepresentasikan peran dan kemampuan mereka. Kostum, senjata, hingga gaya berjalan menjadi bagian dari penampilan yang langsung terbaca oleh pemain lain. Roblox menawarkan hal serupa melalui skin dan accessories yang dapat didapatkan dengan sedikti upaya. Di sini, front stage bukan sekadar ruang untuk menampilkan siapa kita, tetapi juga untuk mengomunikasikan status, pencapaian, dan afiliasi—semua dalam format yang secara visual terstandardisasi. Keunggulan utama dari panggung depan di dunia game adalah adanya feedback loop yang cepat dan jelas. Pencapaian diakui melalui level, badge, atau ranking, dan penampilan bisa langsung memengaruhi cara audiens bereaksi. Tidak ada ambiguitas berlebihan seperti di dunia nyata; jika seorang pemain mengenakan skin langka atau memegang senjata legendaris, semua orang tahu ia telah mencapai prestasi tertentu. Dengan demikian, panggung depan di dunia open world game menyediakan rasa kepastian dan pengakuan instan yang sering kali sulit diperoleh dalam interaksi sosial sehari-hari.

Back Stage

Bagi Goffman, back stage adalah ruang di mana individu bisa melepaskan peran, menanggalkan kostum, dan beristirahat dari tuntutan panggung depan. Di dunia nyata, panggung belakang ini biasanya sangat terbatas—hanya bisa diakses di rumah atau di lingkaran pertemanan yang intim. Tekanan sosial sering tetap terasa, karena reputasi di dunia nyata sulit dihapus dan interaksi tidak bisa di-reset begitu saja. Sebaliknya, di dunia open world game, back stage bersifat jauh lebih fleksibel dan mudah diakses. Pemain dapat berpindah dari interaksi publik ke ruang privat dalam hitungan detik: log out dari server, masuk ke private world, atau bahkan mematikan notifikasi obrolan. Transisi ini memberikan kontrol penuh atas intensitas interaksi sosial—sesuatu yang jarang dimiliki di dunia nyata.

Fleksibilitas ini juga membuat beban psikologis menjadi lebih ringan. Jika terjadi kesalahpahaman atau konflik di dunia virtual, pemain dapat meninggalkan situasi tersebut tanpa konsekuensi yang terlalu besar di kehidupan sehari-hari. Bahkan, mereka bisa kembali dengan identitas baru, memulai interaksi dari nol, atau mencoba peran yang sama sekali berbeda. Dalam kerangka dramaturgi, ini berarti panggung belakang di dunia game bukan sekadar tempat beristirahat, tetapi juga ruang latihan untuk membentuk persona baru sebelum kembali ke panggung depan. Bagi banyak orang yang merasa interaksi dunia nyata penuh risiko sosial dan sulit ditebak, back stage di dunia game menawarkan rasa aman. Tidak ada tatapan langsung yang mengintimidasi, tidak ada keharusan merespons secara spontan, dan selalu ada tombol “keluar” yang bisa ditekan. Dengan kata lain, panggung belakang virtual adalah versi ideal dari tempat bernaung sosial: selalu tersedia, mudah diakses, dan bebas dari penilaian permanen.

Menentukan Identitas

Salah satu perbedaan paling mencolok antara interaksi di dunia nyata dan di dunia open world game adalah tingkat kontrol yang dimiliki individu atas identitas mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, kita lahir dengan sejumlah atribut yang sulit diubah—usia, fisik, latar belakang keluarga—dan atribut ini sering memengaruhi cara orang lain memandang kita, terlepas dari kehendak pribadi. Menurut Goffman, di panggung depan dunia nyata, individu sering kali hanya bisa “mengelola” kesan, bukan sepenuhnya menentukan identitas yang ingin ditampilkan. Sebaliknya, di dunia game, identitas bersifat jauh lebih plastis. Pemain dapat membentuk avatar yang sama sekali berbeda dari diri mereka di dunia nyata: memilih jenis kelamin, tinggi badan, warna rambut, gaya pakaian, hingga kemampuan khusus yang tidak mungkin dimiliki dalam kehidupan fisik. Lebih dari itu, identitas ini dapat diubah sewaktu-waktu—berganti skin, username, atau bahkan membuat karakter baru sama sekali—tanpa harus memikul beban reputasi dari identitas sebelumnya.

Kontrol ini memberikan kebebasan psikologis yang besar. Seseorang yang mungkin merasa tidak percaya diri di dunia nyata bisa menampilkan diri sebagai sosok yang penuh wibawa, lucu, atau bahkan misterius di dunia virtual. Dalam konteks open world game, kemampuan untuk mengatur identitas juga memungkinkan pemain untuk mencoba berbagai peran sosial: dari petualang soliter hingga pemimpin guild yang disegani. Goffman akan melihat hal ini sebagai bentuk ekstrem dari impression management, di mana pemain tidak hanya mengelola kesan yang ada, tetapi benar-benar merancang kerangka identitas dari nol. Fenomena ini juga menjelaskan mengapa banyak pemain merasa lebih “asli” ketika berinteraksi di dunia virtual. Paradoksnya, meskipun identitas itu sepenuhnya hasil desain, kontrol yang penuh membuat pemain merasa bahwa yang mereka tampilkan justru lebih dekat dengan versi diri yang ideal. Dalam dunia nyata, kita sering terjebak dalam label sosial yang diwariskan; di dunia game, kita bisa menciptakan label sendiri—dan menghapusnya kapan saja.

Kisah Hidup yang Sudah Ditentukan

Salah satu sumber kecemasan sosial di dunia nyata adalah sifatnya yang penuh ambiguitas. Aturan interaksi tidak selalu tertulis, ekspektasi orang sering berubah-ubah, dan “naskah” percakapan harus diimprovisasi terus-menerus. Menurut Goffman, situasi ini membuat impression management menjadi pekerjaan yang melelahkan, karena aktor sosial harus membaca suasana, menyesuaikan peran, dan mengantisipasi reaksi audiens secara spontan. Dunia open world game menawarkan kontras yang mencolok. Meskipun terlihat bebas, interaksinya dijalankan di dalam kerangka aturan yang stabil dan disepakati semua pemain. Misi, quest, dan sistem reward-punishment berfungsi seperti naskah tak tertulis yang membimbing perilaku. Pemain tahu apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil tertentu, siapa yang punya otoritas, dan bagaimana cara mencapai tujuan bersama. Hal ini menciptakan rasa aman, karena langkah-langkah menuju keberhasilan dapat diprediksi.

Contohnya, dalam Genshin Impact, event kolaborasi atau domain challenge memiliki mekanisme yang jelas: siapa yang memulai, siapa yang membantu, dan bagaimana hadiahnya dibagi. Dalam Roblox, game-mode yang berbeda tetap mengandalkan pola interaksi yang familiar bagi pemain veteran. Tidak ada ketidakpastian besar seperti dalam rapat warga atau pertemuan komunitas di dunia nyata, di mana norma sosial bisa saling bertentangan. Kejelasan “naskah” ini membuat pemain merasa lebih percaya diri untuk berpartisipasi. Mereka tidak perlu khawatir akan “salah langkah” yang berakibat panjang, karena kesalahan di dunia game biasanya hanya berarti respawn atau mencoba lagi. Bagi sebagian orang, kepastian ini menjadi alasan utama mengapa interaksi di dunia virtual terasa lebih nyaman dan memuaskan daripada di dunia nyata.

Melalui kerangka dramaturgi Erving Goffman, kita dapat melihat bahwa kenyamanan yang dirasakan banyak orang di dunia open world game bukan sekadar pelarian dari realitas, melainkan pencarian akan bentuk interaksi sosial yang teratur, dapat diprediksi, dan mudah dikelola. Empat elemen yang dibahas—panggung depan yang terstruktur, panggung belakang yang fleksibel, kontrol identitas yang tinggi, dan kenyamanan dari naskah yang jelas—menunjukkan bahwa dunia virtual menyediakan ekosistem sosial yang memberikan rasa aman sekaligus ruang untuk bereksperimen. Fenomena ini mengungkap sesuatu yang lebih mendasar: manusia sering kali menemukan ketenangan dalam kehidupan yang memiliki keteraturan dan batasan yang jelas. Dalam dunia game, “keterbatasan” itu hadir dalam bentuk aturan, level, dan misi—semua sudah ditentukan sejak awal. Ironisnya, kebebasan yang dirasakan di sana justru lahir dari penerimaan terhadap batas-batas itu. Hal ini menjelaskan mengapa dunia virtual bisa terasa lebih “hidup” bagi sebagian orang dibandingkan dunia nyata yang terbuka namun membingungkan.

Dengan demikian, relevansi pemikiran Goffman tidak berhenti pada analisis panggung sosial semata, tetapi juga membantu kita memahami mengapa keteraturan yang terancang dapat menjadi sumber kenyamanan psikologis. Dunia open world game membuktikan bahwa, kadang, manusia justru merasa lebih bebas ketika hidup di dalam batas yang jelas. Kebebasan itu bukan soal ketiadaan aturan, melainkan kemampuan untuk bergerak, memilih, dan berekspresi di dalam kerangka yang stabil. Pada akhirnya, fenomena ini mengajak kita merenung: mungkin yang kita cari bukanlah dunia tanpa batas, tetapi dunia di mana batas-batasnya membantu kita menemukan versi diri yang paling ingin kita perankan.

Referensi

Goffman, E. (1959). The presentation of self in everyday life. Anchor Books.

Kevin Aditya
Mahasiswa Hubungan Internasional

Comments

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Baca Juga