Dua Keutamaan untuk Menyelamatkan Indonesia

Jika membentuk sebuah masyarakat yang memiliki sikap intelektual dilatih melalui pengajaran dan jika membentuk sebuah masyarakat bermoral tentunya hal tersebut dilakukan melalui kebiasaan
Puing Kerajaan Hadis-Persia
Puing Kerajaan Hadis-Persia

Melihat kondisi para pejabat bangsa Indonesia dalam kacamata media sosial kita saat ini menjadi hal yang menyedihkan. Jika persoalan nilai-nilai moral ini ada peringkatnya (seperti layaknya dalam sebuah kompetisi olahraga) sepertinya para pejabat Indonesia mendekati zona degradasi. Zona degradasi yang kita kenal dalam sepak bola biasanya merupakan posisi urutan tiga terakhir, posisi yang akan turun ke tingkatan di bawahnya. Itu artinya bahwa kita ada dalam situasi degradasi moral. Tentunya hal tersebut harus diselamatkan.

Degradasi moral di Indonesia bisa dilihat dari realitas kondisi negara kita saat ini melalui para pejabat publiknya. Mereka yang senang memamerkan kendaraan, jam tangan, bahkan pesawat yang ditumpanginya adalah gaya baru para pejabat publik dan keluarga mereka di hari-hari ini. Penulis akan mencoba melihat fenomena ini sebagai gaya hidup yang menindas.

Gaya hidup mewah para pejabat publik saat ini telah menjadi sorotan publik. Hal itu semakin marak setelah terjadi penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy dan Shane. Penganiayaan yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2023 itu menyebabkan seorang korban koma. Kejadian tersebut membuka mata masyarakat soal gaya hidup mewah para pejabat, karena salah seorang pelaku merupakan anak dari pejabat publik dalam bidang pajak. Kasus ini menggiring mata publik pada gaya hidup berbagai pejabat dari berbagai lembaga.

Di Indonesia sendiri, gaya hidup mewah para pejabat bukan hal baru. Terdapat latar belakang historis dari zaman Yunani Kuno hingga zaman kolonialisme di Hindia Belanda yang menyebabkan permasalahan di atas seakan menjadi hal yang biasa.

Kekalahan Sparta dan Kritik dalam Max Havellar 

Sebelum Masehi, masyarakat Sparta sangat mencintai hidup sederhana, anti kekayaan dan tidak pernah menerima suap. Bangsa Sparta hanya fokus pada pembangunan sumber daya manusia yang diatur dimulai dari anak kecil, suami-istri, dan bahkan hubungan keluarga. Pembangunan sumber daya manusia Sparta saat itu berhasil mewujudkan masyarakat yang cerdas melalui pendidikan. Masyarakat sehat melalui olahraga dan disiplin melalui militer. Sparta sempat menjadi bangsa Yunani unggulan karena melahirkan para pahlawan, penyair, dan seniman. Namun ada sebuah peristiwa di mana Sparta berhasil ditaklukkan oleh Pausanias dalam perang di Platea. Pada masa yang sama, raja mereka menerima suap dari Raja Xerxes dari Persia. Setelah itu, kebijakan yang ada di Sparta sangat bersifat picik dan menindas rakyatnya. Aristoteles yang hidup setelah keruntuhan Sparta memberikan kritik terhadap konstitusi Sparta pasca perang Pausanias. Para pejabat merasa selalu miskin dan mudah disuap. Cara dan gaya hidup para pejabat bertentangan dengan semangat konstitusi, sementara kerasnya peraturan yang diberlakukan bagi rakyat kelas menengah-bawah terlampau berlebihan. Hal ini mendorong rakyat untuk mencari kebebasan melalui kenikmatan syahwat yang ilegal. 

Kita bisa melihat, bahwa pelaku kejahatan yang utama adalah mereka yang biasanya memiliki kendali atas kuasa. Namun, sebetulnya para pejabat publik bisa membuahkan peradaban jika laku dan tindakannya mencerminkan mentalitas raja. Mentalitas yang mengutamakan kemajuan sebuah bangsa secara kolektif, ketimbang mentalitas budak yang condong memikirkan nasib diri sendiri.

Gambaran yang hampir sala pernah terjadi pada masyarakat Indonesia. Mau tidak mau, masyarakat Indonesia tergolong taat membayar pajak sejak zaman kolonial Hindia-Belanda. Bahkan, kerap tanah-tanah yang dimiliki oleh para petani dapat diambil atas nama pajak bagi kekuasaan (bahkan tanpa sebab apalagi melalui peradilan). Edward Douwes Dekker atau Multatuli, seorang keturunan Belanda yang mata dan hatinya diperuntukkan bagi masyarakat pribumi yang tertindas menuliskan pengamatannya dalam kisah Max Havelaar. Dekker sendiri memiliki pengalaman sebagai pengawas di Lebak pada kisaran waktu tahun 1845-an. Laporannya selama di Lebak, menggambarkan bahwa masyarakat Lebak hidup bodoh, miskin, dan tertindas. Hal tersebut disebabkan karena pejabat penjajah pada saat itu terlalu menindas sementara para pejabat bawahan yang merupakan pribumi memanfaatkan posisi yang sama untuk menindas sesamanya. 

Para pejabat pribumi memiliki gaya hidup yang mewah padahal Pemerintah Belanda memberikan gaji kepada para pejabat publik dengan nilai yang cukup tinggi dimulai dari fasilitas dan pengawalan. Multatuli dalam kisah Max Havelaar menceritakan bahwa gaya hidup mewah para pejabat terlalu tinggi, gaji yang tinggi dianggap masih kurang sehingga bersedia menerima suap dan melakukan korupsi. Padahal, selain dari gaji, para pejabat atau raja memanfaatkan dari pajak pribumi. Masyarakat taat pajak namun sepanjang hidupnya masyarakat bodoh, miskin dan tertindas. 

Menyelamatkan Indonesia; Mengutamakan keutamaan 

Sudah lama masyarakat Indonesia tertindas dan hidup dalam kebodohan. Dari sekian banyak yang menjadi penyebab salah satunya adalah korupsi atau gaya hidup mewah para pejabat publiknya. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang dermawan, masyarakat yang rajin membayar pajak. Akan tetapi, Indonesia belum memiliki mentalitas kemajuan. Hal itu disebabkan karena hasrat membangun kekayaan pribadi diutamakan ketimbang membangun bangsa dan negaranya. Sehingga konstitusi di negara demokrasi kalah dengan hasrat atau keinginan individu para pejabatnya untuk memperkaya diri. Ada pernyataan menarik dari Bre Redana, Koran Kompas (Minggu 2/4 April 2023) dalam kritik para pemikir Marxist. Menurut mereka pihak yang menguasai teknologi Industri tak kalah membahayakan. Dengan penguasaan atas modal dan teknologi, kalangan tersebut tak lebih juga parasit peradaban. Bre Redana memberikan kritik, kurang etis pamer piknik ke negeri yang jauh, bergaya di pesawat high class, makan enak sambil nyengenges, sementara jutaan rakyat hidup susah. 

Terdapat dua keutamaan menurut Aristoteles, yang pertama adalah keutamaan intelektual dan yang kedua adalah keutamaan moral. Untuk membentuk sebuah masyarakat yang memiliki keutamaan intelektual, maka masyarakat harus dilatih melalui pengajaran. Demikian halnya dengan membentuk sebuah masyarakat yang berkeutamaan moral, tentunya hal tersebut dilakukan melalui pembentukan kebiasaan, termasuk para pejabatnya.

Wikka Essa Putra

Guru, penulis lepas, dan anggota Pemuda Muhammadiyah Cabang Pasar Minggu

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content