Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah jalan yang akan membawa pada kesucian.[1]
Sepanjang umur kehidupan yang dimiliki oleh masing-masing manusia, besar kemungkinan terdapat momen-momen yang seakan mengarahkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang, apa sebenarnya hidup? Mengapa diri ini hidup? Bagaimana seharusnya hidup? Kapan mulai muncul kesadaran akan hidup? Sampai beberapa di antaranya, entah sengaja atau tidak, terjun pada pertanyaan yang cukup radikal, adakah makna hidup pada hidup itu sendiri? Atau hidup sendiri adalah sebuah cara memaknai? Adakah inti dari hidup yang senantiasa mengalami perubahan, baik secara jasmani (material) seperti lahir, tumbuh, menua, sakit lalu musnah juga dalam faktor-faktor mental seperti keinginan, nafsu, pemikiran dan perasaan? Keniscayaan yang seringkali lebih mudah untuk diabaikan dengan mendistorsinya dalam kegiatan praktis sehari-hari atau memilih berhenti dengan memegang sebuah doktrin yang sepertinya menawarkan jawaban yang absolut. Kadang dibarengi dengan penokohan yang berlebihan. Tanpa bermaksud menyematkan penilaian secara arbitrer bahwa jalan yang satu lebih baik dari jalan yang lain, bahwa segala pertanyaan itu bermula dari diri, sehingga dari diri – lah seharusnya kita memulainya. Tentang apa itu diri?Kapan kesadaran akan diri muncul? bagaimana diri menjadi mungkin? Atau adakah sebuah inti yaitu diri pada diri? diri sebagai diri yang absolut, abadi? Sebagaimana dipahami diri sebagai diri yang sesungguhnya atau yang paling diri dari segala diri.
Investigasi tentang diri, juga dilakukan oleh seseorang yang kini dikenal sebagai Buddha Gotama. Merujuk pada ajaran-ajaran dalam tradisi Theravada, sebelum akhirnya menjadi seorang Buddha, Siddhattha mencapai pencerahan dan memperoleh pengetahuan atas usahanya sendiri tentang karakteristik universal dari fenomena batin – jasmani (materi) yang kita sebut sebagai diri. Karakteristik bahwa diri sebagai fenomena batin – jasmani (materi) yang selalu berubah dan menimbulkan penderitaan, membawa pada beberapa pertanyaan. Adakah diri pada diri itu sendiri yang tetap dan kekal? Adakah diri yang independent atau tidak terpengaruh oleh segala fenomena yang berubah sehingga diri yang kemudian sering dipahami sebagai inti yang kekal dan abadi? Berawal dari sini, kita akan sedikit membahas tentang diri, berdasarkan Kitab Komentar Anattalakkhana Sutta.
Atta sebagai Jiwa atau Diri atau Ego
Kotbah dan permenungan tentang Atta, kini dapat ditemukan dalam Anattalakkhana Sutta. Dapat dikatakan bahwa sutta ini adalah sutta yang penting. Tanpa bermaksud mendiskreditkan sutta-sutta yang lain, Anattalakhana Sutta berisi penjelasan pokok-pokok pembahasan tentang diri,jiwa dan entitas. Adalah penting untuk memahami sepenuhnya Sutta ini, karena disebutkan bahwa sutta ini adalah rangkuman dari Ajaran Sang Buddha.[2] Pada sutta dijelaskan tetang Atta yang senantiasa melekat pada eksistensi fenomena batin – jasmani (material). Dalam konteks india pada masa sang Buddha, ajaran-ajaran yang berkembang pada masa itu, adalah ajaran-ajaran yang masih menggenggam Atta. Dikatakan pada khotbah panjang tentang anattalakkhana sutta bagian pertama dalam kitab komentar bahwa, semua ajaran atau kepercayaan diluar ajaran Sang Buddha jatuh dalam kategori kepercayaan pada diri, Atta[3].
Atta sebagai sikap mental dan kognitif yang secara simultan meyakini bahwa ada diri yang solid, yang bersemayam pada eksistensi. Seringkali dikenal sebagai jiwa atau inti. Mereka percaya bahwa jiwa atau entitas hidup ini sebenarnya berdiam dalam semua makhluk hidup, yaitu, manusia, Dewa atau binatang seperti sapi, kerbau, anjing, dan sebagainya.[3] Secara umum, orang yang berpikir bahwa pada masing-masing mereka adalah entitas hidup dengan jiwa atau diri atau ego. Apa yang dianggap sebagai jiwa disebut Atta dalam bahasa Pali berasal dari ungkapan Sanskrit Atman. Atta ini juga dikenal sebagai jiva, kehidupan; demikianlah Atta membawa konsep kehidupan, jiwa atau entitas hidup.[4] Namun pada akhirnya sang Buddha setelah mencapai pencerahan sempurna, memperoleh pengetahuan yaitu, menganut pandangan bahwa ada jiwa atau entitas hidup dalam diri seseorang dikenal kesalahpahaman tentang diri atau kepercayaan keliru tentang diri,Attaditthi.[5]
Attaditthi, Lima Agregat dan bukan-diri
Telah dijelaskan sebelumnya, menganut pandangan bahwa ada entitas atau jiwa dalam diri seseorang adalah sebuah pandangan keliru tentang diri. Pandangan keliru tentang diri disebut Attaditthi. Kita perlu menelaah lebih lanjut, mengapa kemudian Sang Buddha memiliki argumen yang demikian. Dalam khotbah tentang lima agregat, Sang Buddha berkata kepada murid-murid-Nya, “Para Bhikku, sesungguhnya, rupa bukanlah diri, karena bukan-diri, maka cenderung mengalami penderitaan dan kesusahan. Dan adalah tidak mungkin untuk mengatakan tentang rupa. Biarlah rupa seperti ini (dalam kondisi terbaik); biarlah rupa tidak seperti ini (dalam kondisi terburuk). Tidaklah mungkin mempengaruhi dan mengatur rupa dengan cara ini.”[6]
Hal ini kemudian dilanjutkan ke khotbah selanjutnya, khotbah yang sama terhadap keempat agregat kehidupan selain rupa (tubuh jasmani/materi) yaitu Vedana (sensasi), Sanna (Persepsi), Vinnana (Kesadaran) & Shankhara (Faktor-faktor Kehendak). Dari semua agregat penyusun kehidupan dapat dikatakan selalu menimbulkan penderitaan karena senantiasa berubah sepanjang waktu. Kelima agregat tak dapat dikendalikan perubahannya serta tidak dapat dikendalikan sesuai keinginan. Kemelekatan terhadap lima agregat ini adalah kemelakatan terhadap Atta.
Kemelekatan terhadap Atta membentuk konsepsi-konsepsi antara lain, Sami Atta yang menganggap bahwa ada inti yang hidup dalam diri seseorang, dapat diatur dan menuruti kehendak seseorang; Nivasi Atta yang menganggap bahwa inti diri adalah kekal dan abadi; Karaka Atta yang menganggap bahwa seluruh tiga jenis aktivitas jasmani, pikiran dan ucapan adalah dilakukan oleh inti diri dan Vedaka Atta yang menganggap bahwa inti hidup ini mengalami sensasi baik atau buruk. Semua konsepsi-konsepsi ini bagi Sang Buddha adalah pandangan keliru tentang diri, Attaditthi. Pehaman tentang Attaditthi sangat penting dipahami karena menjadi landasan untuk memahami Anatta sebagai salah satu fakta universal kehidupan bahwa apa yang sering kita pahami sebagai diri/inti/jiwa yang kekal sesungguhnya hanyalah fatamorgana.
Tidak ada inti, tidak ada jiwa sehingga tidak ada diri pada diri itu sendiri. Apa yang kita konsepsikan selama ini sebagai diri sesungguhnya hanyalah kumpulan fenomena batin-jasmani (material) yang bergerak secara simultan, muncul-tenggelam dan selalu berubah. Fenomena ini bersifat universal dan tidak memiliki batas-batas individual atau pribadi. Sehingga, apa yang selama kita pahami sebagai diri sesungguhnya bukan-diri.
Anihilisme dan Eternalisme dalam pandangan Buddha
Anihilisme dan Eternalisme telah ada pada waktu Sang Buddha lahir hingga mencapai pencerahan sempurna dengan usahanya sendiri. Informasi ini setidaknya ditemukan dalam Kitab Komentar Anattalakkhana Sutta. Bahwa, Kaum Anihilis adalah orang-orang yang menganut kepercayaan bahwa ada jiwa perseorangan (individual), suatu entitas hidup yang bertahan selama umur kehidupan sebelum seseorang akhirnya meninggal[6]. Pandangan Kaum Anihilis adalah bahwa tidak ada apapun yang tersisa setelah kematian. Sebaliknya, Kaum Eternalis adalah mereka yang menganut kepercayaan bahwa jiwa perseorangan tetap ada dan tidak hancur setelah kematian, hidup dalam jasmani baru, tidak musnah. Kaum eternalis memahami tubuh sebagai dua bagian, yatu tubuh kasar dan tubuh halus. Apabila seseorang meninggal dunia, maka tubuh kasarnya hancur sedangkan tubuh halusnya, masuk ke dalam tubuh baru dan bersifat kekal-abadi.
Tentu dari sini akan timbul sebuah pertanyaan, apakah Buddha adalah seorang Eternalis, karena beliau juga mengajarkan ada kehidupan setelah kematian sebagai buah-buah kamma atas kehidupan sebelumnya? Sang Buddha menegaskan, tidak, tidak sama. Penjelmaan baru yang muncul dalam kehidupan berikut seperti yang dikondisikan oleh kamma seseorang. Pandangan Buddha tidak mengartikan sebagai transfer Atta, entitas hidup dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Itu hanya berarti muncul rupa (fenomena jasmani/material) dan nama (fenomena batin/mental) yang baru dalam kehidupan baru yang bergantung kamma sebelumnya. Sedangkan Kaum Eternalis percaya bahwa adalah Atta, entitas hidup dari kehidupan sekarang yang berpindah ke kehidupan baru. Oleh karena itu, dua pandangan ini, sangat berbeda satu sama lain.[7]
Tentu dari sini akan timbul kembali sebuah pertanyaan, Bukankah Buddha adalah seorang Anihilis, karena beliau juga tidak mengajarkan bahwa ada jiwa yang kekal? Sang Buddha menegaskan, tidak, tidak sama. Walaupun Kaum Anihilis berpikir bahwa tidak ada Atta, mereka percaya bahwa tidak ada apapun yang tersisa setelah kematian. Perasaan baik atau buruk hanya dinikmati dan diderita sebelum kematian. Kemelekatan pada gagasan bahwa penderitaan dan kenikmatan sebelum kematian sesungguhnya merupakan kemelekatan terhadap Atta.[8]
Dapat disimpulkan bahwa, Buddha memiliki pandangan yang berbeda dengan Kaum Anihilis dan Kaum Eternalis pada masanya. Disebutkan juga bahwa kedua kaum ini seringkali bertemu dalam sebuah perdebatan yang berujung pada pertengkaran. Dalam Dighanakkha Sutta dijelaskan, dan jika ada benturan, maka akan ada perselisihan yang mengarah pada pertengkaran. Dan jika ada pertengkaran maka akan ada kecelakaan. Oleh karena itu Sang Buddha menganjurkan agar seluruh kepercayaan ini ditinggalkan.[9] Karena siapa saja yang mengajarkan kata-kata kebenaran tidak terlibat dalam perselisihan ketika menjelaskan kebenaran kepada pihak lain. Ia hanya membantu mereka yang tidak tahu untuk sampai pada kebenaran dalam hal kepercayaan.[10]
Catatan :
[1] LihatDhammapada.XX.Syair 279. Kisah Yang Berhubungan Dengan Ketanpa-intian (Anatta)
[2] Lihat Sayadaw, YM. Mahasi,”Komentar Anattalakkhana Sutta & Malukyaputta Sutta,” dalam Pengantar,hal.1
[3] Lihat Sayadaw, YM. Mahasi,”Komentar Anattalakkhana Sutta & Malukyaputta Sutta,” dalam Pengantar,hal.1
[4] Lihat Sayadaw, YM. Mahasi,”Komentar Anattalakkhana Sutta & Malukyaputta Sutta,” dalam Pengantar,hal.5
[5] Lihat Sayadaw, YM. Mahasi,”Komentar Anattalakkhana Sutta & Malukyaputta Sutta,” dalam Keterikatan pada,hal.15
[6] Lihat Sayadaw, YM. Mahasi,”Komentar Anattalakkhana Sutta & Malukyaputta Sutta,” dalam Keterikatan pada Atta,hal.15
[8] Lihat Sayadaw, YM. Mahasi,”Komentar Anattalakkhana Sutta & Malukyaputta Sutta,” dalam Dighanakkha Sutta pada Atta,hal.51
[9] Lihat Sayadaw, YM. Mahasi,”Komentar Anattalakkhana Sutta & Malukyaputta Sutta,” dalam Dighanakkha Sutta pada Atta,hal.51
[10] Lihat Sayadaw, YM. Mahasi,”Komentar Anattalakkhana Sutta & Malukyaputta Sutta,” dalam seseorang yang mebicarakan banyak kebenaran tidak berselisih,hal.51,
Referensi :
Kitab Suci Dhammapada. Syair 279. Kisah Yang Berhubungan Dengan Ketanpa-intian (Anatta)
YM Mahasi, Sayadaw.2018. “ Komentar Anattalakkhana Sutta & Malukyaputta Sutta”. Jakarta: Dhammacita Press.
Berasal dari Yogyakarta. Bermasalah dengan tempat baru dan sering tersesat. Terkadang menulis cerpen dan puisi. Lebih sering menulis paper teknis dan membantu teman mengerjakan skripsi.