Epistemologi Serius dalam Justified True Belief: Bagian 1

Foto Tebing Batu karya North Sky Photography
Foto Tebing Batu karya North Sky Photography

Kami rasa, banyak di antara Anda yang mengetahui epistemologi sebagai satu cabang dari filsafat, namun terbatas hanya dalam definisi dan tidak memiliki definisi lebih lanjut mengenai epistemologi.

Terdapat standar jawaban yang sangat singkat untuk menjelaskan epistemologi; kajian ini tak lain merujuk kepada teori “pengetahuan”. Lantas sebagai sebuah cabang filsafat, epistemologi berurusan dengan kajian sifat, lingkup, dan sumber pengetahuan. Untuk memberikan kepada Anda panduan singkat dalam kajian ini, kami akan merangkumnya pada daftar di bawah ini.

Dalam kondisi-kondisi yang bagaimana seseorang bisa mengetahui sesuatu? 

(Bertujuan untuk menganalisis pengetahuan).

Karena epistemologi adalah teori pengetahuan, maka pertanyaan sentral dari ranah ini adalah: dalam kondisi-kondisi yang seperti apa seorang subjek mengetahui sesuatu—ketika satu hal itu menjadi dirinya? Sebagian besar klaster epistemologi umum menghabiskan sebagian besar fokus penelitiannya pada pertanyaan ini, dan dimulai oleh pertanyaan ini. 

Salah satu referensi penting untuk menjawab pertanyaan ini dapat kita temui dalam pemikiran Edmund Gettier khususnya dalam topik Justified True Belief (Kepercayaan yang terjustifikasi secara benar). Gettier mempertanyakan dalam filsafatnya: “Apakah kepercayaan yang dijustifikasi benar adalah sebuah pengetahuan?”

Kita andaikan satu subjek bernama S mengetahui sebuah pengetahuan bernama P. Hal ini mungkin, (jika dan hanya jika)

  1. P bernilai benar
  2. S mempercayai bahwa P, dan
  3. S telah menjustifikasi (kepercayaan—bahwa P)

Berdasarkan penjelasan itu maka kita akan mengetahui misalnya “di luar hujan” jika dan hanya jika adalah benar di luar hujan, lalu anda mempercayai di luar hujan, dan Anda menjustifikasinya lantas mempercayai.

Untuk menghindari keterkurangan dari nilai Justified True Belief (atau JTB) ini, Gettier memastikan nilai dari kedua percontohan tadi; masing-masing harus termasuk (atau setidaknya secara intuitif) dalam standar JTB dan apabila tidak, maka tidak termasuk sebagai epistemologi. Kita mungkin bisa mencoba untuk mengolah penjelasan JTB dalam kasus yang ditunjukan Gettier dengan menyanggahnya (artinya berlawanan dengan apa yang terlihat)—bahwa nilai true belief perlu dipertanyakan dalam percontohan ini karena mungkin tidak benar-benar dijustifikasi atau dapat mengolah penjelasan ini (lagi-lagi berlawanan dengan keterlibatan yang pertama) bahwa apakah si subjek dalam percontohan di atas mengetahui proposisi tersebut.

Sebagian dari para ahli epistemologi telah sepakat bahwa kasus yang dipercontohkan oleh Gettier secara nyata memiliki kemungkinan sangkalan bagi teori JTB. Percontohan tadi secara genuine mengindikasikan situasi untuk dipertanyakan: “apakah S mengetahui bahwa P?”, dan apakah “S memiliki Justified True Belief (kepercayaan yang benar terjustifikasi) bahwa P?” Yang mana jika menghasilkan jawaban yang berbeda, maka menyangkal penjelasan JTB mengenai pengetahuan.

Karya filosofis Gettier menyembul sebagai sebuah ledakan literatur filosofis yang menciptakan kesepakatan penjelasan mengenai pengetahuan. Baik dengan respon modifikasi nilai JTB, misalnya ada filsuf yang menambahkan draft kondisi-kondisi bagi hal itu, atau dengan mempergantikan nilai yang ketiga tadi yaitu “Justification”. Yang mana kemungkinan justifikasi itu sendiri dapat ditempatkan dalam lebih dari satu kondisi.

Kemudian, dari sekian banyak penjelasan yang dipostulatkan, muncul juga beberapa mempermasalahkan percontohan bandingan—yang akan menolak penjelasan JTB tadi dengan menunjukkan bagaimana satu subjek bisa mengetahui satu hal walaupun tidak melalui tiga standar yang dipostulatkan Gettier tadi, atau dengan menunjukkan bagaimana satu subjek bisa gagal mengetahui sesuatu walaupun ia telah melalui kondisi tiga standar tadi.

Akhirnya, di dalam perkembangan filsafat epistemologi yang lebih mutakhir kita akan menemukan penjelasan yang lebih mengagumkan, yang mempostulatkan contoh baru, percontohan tersebut dengan proposisi “crash on the rocks“.

Pembahasannya akan kami lanjutkan dalam artikel selanjutnya…

Bersambung

Krisna Putra Pratama

Krisna Putra Pratama adalah alumnus Kelas Filsafat Dasar (KFD) yang diselenggarakan oleh LSF Discourse.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.