Apakah penilaian moral yang berlaku di tengah masyarakat dewasa ini merupakan kebenaran yang berlaku umum atau segelintir orang saja? Tampaknya masyarakat cenderung membenarkan penilaian moral tersebut tanpa membuktikannya secara empiris. Hal ini menjadi masalah yang serius di mata Ayer. Ia melihat bahwa penilaian moral masyarakat tidak dapat dinilai benar atau salah bagi semua orang. Mengapa? Artikel ini hendak menanggapi pertanyaan di atas menggunakan teori etika emotif Alfred Jules Ayer bagi kasus emosi murid yang menyebabkan kematian gurunya dalam Jawa Pos 3 Februari 2018 silam. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode studi pustaka. Dalam metode ini terlebih dahulu dijelaskan apa itu teori etika emotif Alfred Jules Ayer berdasarkan beberapa buku yang mendukung. Pada bagian selanjutnya dipaparkan kembali kasus murid yang memukul gurunya secara singkat dan opini dari koran tentang hal ini. Terakhir disampaikan solusi yang dapat diambil dari persoalan yang ada menggunakan teori etika emotif dan kesimpulan dari artikel ini.
Teori Etika Emotif
Teori etika emotif adalah suatu gagasan dari Ayer yang menyatakan bahwa penilaian moral tidak dapat menentukan benar atau salah satu tindakan manusia. Penilaian moral hanyalah ungkapan emosi dari subjek pengguna penilaian tersebut. Dengan demikian objek yang dinilai secara moral tidak dapat dinyatakan benar atau salah. Dalam buku etika abad kedua puluh, Ayer memberikan contoh demikian:
“Jadi apabila saya mengatakan kepada seseorang, ‘Anda mencuri uang itu.’ Dengan menambah bahwa tindakan itu salah, saya tidak membuat pernyataan apapun tentang tindakan itu. Saya semata-mata mengungkapkan ketidaksetujuan moral saya terhadapnya. Seakan-akan saya mengatakan, “Anda mencuri uang itu” dengan nada ngeri tertentu, atau seakan-akan ditulis dengan menambah beberapa tanda seru khusus. Nada, atau tanda seru, tidak menambahkan apa-apa terhadap arti harafiah kalimat itu. Nada itu hanya dipakai untuk memperlihatkan bahwa pengungkapan pernyataan itu disertai perasaan tertentu.”[1]
Contoh Ayer di atas menunjukkan emosinya ketika ada seseorang yang mencuri. Apakah tindakan pencuri itu salah atau benar ia tidak menyatakannya. Ia hanya mengungkapkan perasaannya bahwa seseorang bertindak salah dengan mencuri. Lebih lanjut Ayer menegaskan hal ini dalam pernyataan moral universal bahwa mencuri uang itu salah:
“Apabila saya sekarang mengungkapkan pernyataan saya tadi dalam bentuk universal menjadi ‘Mencuri uang itu salah’, saya membentuk sebuah kalimat yang tidak mempunyai makna faktual, yang tidak mengungkapkan sebuah pernyataan yang hanya dapat benar atau salah. Sama seperti andaikata saya menulis ‘Mencuri uang!’ di mana bentuk dan ketebalan tanda seru memperlihatkan, melalui sebuah konvensi yang cocok bahwa perasaan yang saya ungkapkan merupakan perasaan pencelaan moral khusus. Jelaslah bahwa di sini tidak dikatakan apapun yang dapat dianggap benar atau salah. Orang lain dapat saja berbeda pendapat dengan saya mengenai bahwa mencuri itu salah dalam arti bahwa ia tidak mempunyai perasaan sama seperti saya tentang hal mencuri, dan ia dapat saja bertengkar dengan saya atas dasar perasaan moral saya ini. Tetapi kalau kita berbicara dengan persis, ia tidak dapat menentang aku. Karena dengan mengatakan bahwa jenis tindakan tertentu adalah benar atau salah, saya tidak membuat pernyataan faktual sama sekali, bahkan tidak tentang keadaan pikiran saya. Saya semata-mata mengungkapkan perasaan-perasaan moral. Orang yang tampak menentang pendapat saya hanyalah mengungkapkan perasaan moralnya (juga). Sehingga sudah jelas bahwa tidak masul akal untuk bertanya, siapa dari kami yang betul. Karena kami dua-duanya tidak membuat pernyataan dalam arti yang sesungguhnya.”[2]
Pernyataan universal moral Ayer tersebut menegaskan bahwa penilaian moral tidak menunjukkan kebenaran maupun kesalahan suatu objek. Penilaian moral hanyalah suatu perasaan subjek terhadap objek-objek tertentu. Dari sebab itu, penilaian moral tidak dapat menyatakan seseorang benar atau salah. Apa yang disebut benar atau salah menurut Ayer adalah apa yang secara empiris positif dapat dibuktikan benar atau salah. Dengan kata lain apa yang disebut benar adalah apa yang dapat dibuktikan secara riil. Sebagai contoh, “Malioboro adalah pusat kota Yogyakarta.” Pernyataan ini dapat dibuktikan secara riil dengan pergi ke kota Yogyakarta lalu melihat apakah ada jalan yang bernama Malioboro di sana. Contoh lain, “Siang ini mendung.” Ungkapan tersebut dapat dibuktikan secara empiris: kita hanya perlu untuk menengadah ke langit lalu mengamati apakah sedang mendung atau tidak.
Pembuktian-pembuktian atas benar atau salah suatu pernyataan menurut Ayer dapat diperoleh melalui observasi. Hal ini tampak dalam dua contoh di atas. Observasi tersebut dapat berupa observasi indrawi maupun observasi riil terhadap objek. Dengan demikian suatu pernyataan moral tidak dapat dinyatakan benar atau salah karena tidak dapat diobservasi, misalnya, “Membunuh itu jahat dan tidak baik.” Pernyataan ini tidak dapat diobservasi karena setiap orang dapat memberikan pendapat yang berbeda. Mereka yang merasa membunuh itu salah akan membenarkan pernyataan tersebut, sedangkan mereka yang berbeda pandangan akan berbeda pendapat pula.
Teori etika emotif menyatakan relativitas dari pernyataan moral. Pernyataan moral dengan sendirinya tidak bermakna. Hal ini disebabkan pernyataan moral maupun penilaiannya tidak dapat menunjukkan suatu nilai-kebenaran (truth-value) dari objek. Pernyataan maupun penilaian moral hanya mengungkapkan tanggapan subjek terhadap objek. Dengan kata lain, pernyataan moral selalu bersifat subjektif semata. Sifat ini menyebabkan pernyataan maupun ungkapan moral setiap orang dapat berbeda-beda.
Teori ini digagas oleh Ayer berdasarkan teorinya tentang positivisme logis. Dalam hal ini, Ayer menggunakan prinsip verifikasi. Prinsip ini membedakan tiga jenis ungkapan. Ungkapan pertama disebut tautologi. Ungkapan ini terdapat dalam logika dan matematika. Predikat dalam ungkapan ini hanya menjelaskan subjek dan tidak menambahkan sesuatu yang baru (A = A). Inilah arti dari tautologi yaitu mengatakan hal yang sama. Kebenaran ungkapan ini tidak bergantung dari data empiris: ia valid secara intuitif. Tautologi dinyatakan benar karena bersifat formal belaka dan tidak memberikan informasi tentang dunia. Ungkapan kedua adalah ungkapan yang dapat diverifikasi berdasarkan data-data indrawi. Ungkapan ini memiliki makna tertentu karena dapat diuji kebenarannya secara empiris. Ungkapan ketiga adalah ungkapan yang tidak bermakna. Yang termasuk dalam ungkapan ini adalah semua ungkapan metafisis, etis, estetis, dan religius.[3] Ungkapan-ungkapan ketiga ini sering kali bersifat subjektif dan tidak dapat dibuktikan secara empiris sebagai benar seluruhnya.
Bila melihat karya asli Ayer yang berjudul Language, Truth and Logic, Ayer menyatakan bahwa:
“It is worth mentioning that ethical terms do not serve only to express feeling. They are calculated also to arouse feeling, and so to stimulate Action. Indeed some of them are used in such a way as to give the sentences in which they occur the effect of commands. Thus the sentences ‘It is your duty to tell the truth’ may be regarded both as the expression of a certain sort of ethical feeling about truthfulness and as the expression of the command ‘Tell the truth.’ The sentence ‘You ought to tell the truth’ also involves the command ‘Tell the truth’, but here the tone of the command is less emphatic. In the sentence ‘It is good to tell truth’ the command has become little more than a suggestion. And thus the ‘meaning’ of the word ‘good’, in its ethical usage, is differentiated from that of the word ‘duty’ or the word ‘ought’. In fact we may define the meaning of the various ethical words in terms both of the different feelings they are ordinarily taken to express, and also the different responses which they are calculated to provoke.”[4]
Di sini Ayer memperdalam penjelasannya mengenai teori etika emotif. Ia menegaskan perlunya memahami ungkapan moral lebih jauh. Dalam hal ini ungkapan tersebut bukan hanya berfungsi untuk mengungkapkan perasaan. Ungkapan moral juga menimbulkan rasa untuk bertindak layaknya sebuah perintah. Ungkapan moral tersebut kemudian menjadi suatu anjuran bagi pendengar atau pembaca. Lebih lanjut Ayer menegaskan:
“Having upheld our theory against the only criticism which appeared to threaten it, we may now use it to define the nature of all ethical inquiries. We find that ethical philosophy consists Simply in saying that ethical concepts are pseudo-concepts and therefore un-analysable. The further task of describing the different feelings that the different ethical terms are used to express, and the different reactions that they customarily provoke, is a task for the psychologist. There cannot be such a thing as ethical science, if by ethical science one means the elaboration of a ‘true’ system of morals. For we have seen that, as ethical judgements are mere expressions of feeling, there can be no way of determining the validity of any ethical system, and, indeed, no sense in asking whether any such system is true. All that one may legitimately inquire in this connexion is, What are the moral habits of a given person or group of people, and what causes them to have precisely those habits and feelings? And this inquiry falls wholly within the scope of the existing social sciences.”[5]
Apa yang dinyatakan oleh Ayer di atas mempertegas teori etika emotifnya. Ia menyatakan bahwa karena penilaian moral hanyalah ungkapan perasaan yang juga bisa berupa anjuran maka tidak mungkin ada suatu cara untuk menentukan kesahihan sistem moral apapun. Dalam hal ini persoalan moral tidak menentukan benar atau salah pada suatu tindakan. Dengan demikian ungkapan moral hanyalah suatu pernyataan dari kebiasaan orang atau kelompok tertentu yang menunjukkan cita rasa baik atau buruk. Akhirnya, Ayer pun menyatakan:
“It appears, then, that ethics, as a branch of knowledge, is nothing more than a department of psychology and sociology. And in case anyone thinks that we are overlooking the existence of casuistry, we may remark that casuistry is not a science, but is a purely analytical investigation of the structure of a given moral system. In other words, it is an exercise in formal logic.”[6]
Sebagai kesimpulan dari Ayer, ungkapan moral tidak memberikan penilaian benar dan salah. Ungkapan moral adalah pernyataan antara apa yang baik dan tidak baik menurut rasa perorangan maupun kelompok. Dengan demikian ungkapan moral tidak lebih daripada sabagai bagian dari psikologi dan sosiologi. Ia merupakan bagian dari ilmu-ilmu kasuistik. Maka dari itu, ungkapan moral dalam realitas hanyalah sebuah latihan dalam logika formal. Ungkapan moral menjadi suatu arahan untuk bertindak dalam hidup bersama tetapi tidak menunjukkan kebenaran ataupun kesalahan individu.
Persoalan dewasa ini
Pada tanggal 3 Februari 2018 terjadi sebuah peristiwa moral yang tampaknya dapat menjadi pijakan untuk teori etika emotif Ayer. Peristiwa tersebut ialah seorang guru meninggal setelah dipukul oleh muridnya. Guru tersebut bernama Ahmad Budi Cahyanto. Ia mengajar seni rupa di kelas XII SMAN Torjun Sampang. Ketika itu, ia menegur salah seorang murid yang ramai. Murid tersebut tidak menerima tegurannya. Murid tersebut justru memukulnya, sehingga ia mengeluh sakit pada leher. Sampai di rumah ia masih mengeluh kesakitan dan tidak sadarkan diri hingga dirujuk ke RSUD dr. Soetomo Surabaya. Dokter melakukan diagnosis dan menemukan patah tulang leher dan cidera otak. Karena terlambat mendapat pertolongan guru tersebut akhirnya meninggal.[7]
Siapakah yang patut disalahkan dalam peristiwa ini: guru atau murid? Ataukah orang tua dari murid tersebut? Peristiwa tersebut tampaknya tidak dapat dinilai benar atau salah dari pihak manapun. Peristiwa tersebut merupakan contoh moral bagi guru, orangtua maupun murid. Sebagai peristiwa moral ia tidak bermakna benar atau salah sehingga peristiwa tersebut perlu didalami lebih lanjut.
Kompas 5 Februari 2018 memberikan opini yang menunjukkan jalan tengah peristiwa tersebut. Opini tersebut diungkapkan oleh Rose Mini, seorang pengajar psikologi pendidikan di Universitas Indonesia (UI). Menurut Rose, peristiwa tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan moral siswa belum terbentuk dengan baik. Siswa tersebut dinilai tidak mempunyai batasan antar posisi yang seharusnya diperoleh dalam pendidikan di rumah. Siswa tersebut tidak memandang korban sebagai guru tetapi sebagai orang yang membuatnya tidak nyaman. Karena itu, ia tidak menghormati gurunya dan kehilangan kontrol diri. Rose menambahkan bahwa seiring berkembangnya anak menuju kedewasaan kecerdasan moral (kontrol diri) tidak hanya melalui pendidikan dalam keluarga melainkan juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Maka dari itu pemberian sanksi pada siswa yang nakal sebaiknya tidak berupa hukuman fisik melainkan pengetahuan akan konsekuensi dari tindakan.[8]
Pendapat Rose di atas tampak menjadi jembatan dari pemikiran Ayer. Tindakan moral atau pelanggaran moral bukan soal benar dan salah melainkan soal baik dan tidak baik. Ayer menunjukkan hal ini dengan menyatakan bahwa nasehat mencuri itu tidak baik sama saja dengan mengatakan saya merasa mencuri bukan hal yang baik. Demikian juga dengan nasehat memukul guru tidak baik. Rose menunjukkan perlunya pengenalan akan batasan posisi dalam pendidikan moral. Batasan tersebut ditanamkan dengan menunjukkan konsekuensi dari setiap tindakan.
Solusi
Dalam Koran Jawa Pos 3 Februari 2018, solusi yang diberikan atas kasus di atas pertama-tama ialah murid yang memukul gurunya tersebut dijerat dengan pasal 351 KUHP. Namun demikian ia diadili menggunakan sistem peradilan anak mengingat bahwa pelaku masih di bawah umur. Maka dari itu, ia hanya akan mendapat setengah bagian dari hukuman terhadap orang dewasa. Selain itu, ia mendapatkan keringanan seperti: tidak dikeluarkan dari sekolah dan tetap dapat mengikuti ujian. Dalam Koran Jawa Pos 4 Februari 2018 memaparkan solusi bagi Sianit Sinta istri dari Ahmad Budi Cahyono selaku guru sekaligus korban. Ia yang mana nanti akan memiliki anak mendapatkan beasiswa dari Kemendikbud.
Solusi yang diberikan oleh negara di atas masih sebatas solusi material semata. Belum terdapat solusi moral, sedangkan apa yang dipaparkan Rose pada paragraf sebelumnya masih berupa tanggapan pribadi. Mengikuti pemikiran Ayer, perlu ada sikap moral yang tegas atas persoalan tersebut. Ayer menyatakan bahwa ungkapan moral sebagai ilmu kasuistik menjadi latihan dalam logika formal. Dalam hal ini segala pihak harus terlibat untuk menjadi pelatih.
Apa yang perlu dilatih? Yang perlu dilatih adalah kemampuan untuk melakukan hal yang baik bukan sekedar benar atau salah. Di sini Ayer menyatakan bahwa ungkapan moral merupakan pernyataan perasaan yang dapat berupa anjuran. Dalam hal ini ia tidak bersifat wajib tetapi memberikan suatu arahan untuk bertindak lebih baik. Dengan demikian, latihan moral merupakan pendidikan rasa. Maka dari itu, murid perlu juga untuk dilatih memiliki rasa. Rasa yang harus dibangun adalah rasa menghormati dan menghargai orang lain, terutama guru. Dalam rasa ini ditanamkan pengertian akan adanya batasan posisi dan konsekuensi dari pelanggaran atas batasan tersebut. Terkait dengan hal ini, Ayer menegaskan pentingnya membedakan penilaian yang diberikan. Penilaian tersebut tidak dapat didasarkan pada benar atau salah tetapi berdasarkan baik atau buruk.
Ayer mengatakan penilaian moral hanyalah ungkapan perasaan, maka tidak mungkin ada cara untuk menentukan kesahihan sistem moral apapun dan tidak masuk akal pula untuk bertanya adakah sistem moral yang benar. Penilaian moral sebagai ungkapan perasaan lebih merupakan kebiasaan sosial. Maka dari itu nilai dari ungkapan moral adalah soal kebaikan. Apa yang dilakukan oleh negara bagi Sianit Sinta selaku istri korban sudah baik. Selain itu kebijakan dari keluarga murid yang telah memukul gurunya tersebut pun sudah baik. Namun demikian, baik keluarga korban maupun pelaku juga harus mengevaluasi diri terkait bagaimana pendidikan moral mereka dalam keluarga. Dengan demikian, solusi moral atas kasus di atas berlaku untuk semua pihak baik pelaku maupun korban.
Dalam kasus di atas selain korban maupun pelaku pihak yang terlibat adalah lembaga pendidikan formal. Lembaga pendidikan formal tersebut secara khusus ialah SMAN 1 Torjun Sampang. Bagi Ayer penilaian moral sebagai ungkapan perasaan tidak dapat berlaku umum. Penilaian moral mengungkapkan rasa perasaan seseorang atau kelompok tentang apa yang baik atau tidak baik bagi mereka. Dengan demikian penilaian moral selalu relatif dan disesuaikan dengan situasi maupun kondisi dalam setiap kasus. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal menjadi tempat latihan dalam logika formal. Maka dari itu, sekolah pun harus dapat memberikan arahan yang tepat baik kepada pendidik ataupun anak didik dalam bertindak sesuai dengan moral. Sekolah harus mengerti dengan tepat relativitas dari penilaian moral sehingga dapat mengungkapkannya dengan tepat. Dengan demikian relasi maupun batasan antara guru dan murid dapat terjaga. Guru bisa memahami kapan harus menegur dan kapan bertindak sebagai teman bagi murid. Murid dapat mengetahui kapan perlu menghormati gurunya dan kapan dapat bercanda dengan gurunya.
“Dulu kemungkinan ada guru yang memukul murid, tapi untuk kebaikan. Setelah itu murid murid tidak terima dipukul guru, didukung orang tua, akhirnya guru dipolisikan. Lalu, meningkat lagi jadi guru yang dihajar oleh murid.”[9]
Ungkapan
di atas mengingatkan kembali
pokok bahasan dalam artikel ini. Apakah penilaian moral dewasa ini merupakan
kebenaran yang berlaku umum atau sebagian? Berdasarkan kasus di atas yang telah
dibahas dan ditanggapi dengan pemikiran Ayer tampak bahwa penilaian moral tidak
dapat berlaku umum. Perlu ditegaskan bahwa penilaian moral adalah ungkapan
perasaan dari seseorang atau kelompok yang berupa anjuran untuk berbuat baik
sesuai dengan rasa perasaan mereka. Penilaian moral tidak memberikan jawaban benar
atau salah terhadap suatu persoalan. Apa yang dinilai benar atau salah adalah
hukum bukan moral. Selain itu benar atau salah juga merupakan wilayah ilmu
pasti bukan ilmu kasuistik. Dengan demikian, ungkapan moral adalah ungkapan
yang diutarakan berdasarkan kasus-kasus parsial yang dihadapi. Di sini
penilaian moral menjadi hanya berlaku untuk kasus per kasus. Dalam pembahasan
kita, kasus yang dilihat ada dalam ranah pendidikan. Ungkapan moral dan
penilaiannya pun harus dalam kasus pendidikan moral. jadi penilaian moral
selalu bersifat relatif. Penilaian moral selalu disesuaikan dengan situasi dan
kondisi dari persoalan yang dihadapi.
[1] Franz Magnis-Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 46.
[2] Ibid., hlm. 46-47.
[3] K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Jakarta: Teraju, 2005, hlm. 180-181.
[4] A. J. Ayer, Language, Truth and Logic, London:Penguin Books, 1936, hlm 111.
[5] Ibid 116-117.
[6] Ibid hlm 117.
[7] Jawa Pos, Dipukul Murid, Guru Meninggal di RS, 3 Februari 2018.
[8] Kompas, Tanamkan Kecerdasan Moral Sejak Dini, 5 Februari 2018.
[9] Jawa Pos, Perlindungan Hukum Untuk Guru Lemah, 3 Februari 2018.
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.