fbpx

Filsafat Cinta: Pandangan Erich Fromm dan Sokrates Mengenai Cinta

Cinta bukan hanya tentang rasionalisasi belaka, melainkan secara intuisi. Karena berbicara cinta adalah berbicara tentang rasa. Rasa yang sulit dijelaskan bila bukan oleh seorang pecinta ataupun orang yang tengah merasakannya.
Erich fromm

Sebagai sebuah kajian dalam filsafat, cinta memenuhi syarat secara ontologis baik melalui bentuk maupun dalam ekspresinya. Kata filsafat secara etimologi merupakan kata yang berasal dari Bahasa Yunani “Philo” dan “Sophia” yang memiliki arti pecinta kebijaksanaan, dengan begitu cinta merupakan bagian dari filsafat. Cinta juga jika dijadikan sebagai bagian dari pola tingkah laku dan pemikiran manusia, hingga cinta merupakan bagian dari filsafat.

Cinta merupakan suatu rasa yang ada dalam diri individu yang bersifat subjektif dan intuitif, di mana tumbuhnya rasa cinta itu bermula dari ketertarikan akan keindahan yang tampak maupun yang tak nampak dari objek yang dicintainya. Karena cinta adalah orientasi yang tidak hanya mengarah pada sesuatu yang dicintai tapi juga pada segala sesuatu yang berkaitan dengan sesuatu yang dicintai. Seperti halnya jika seseorang berkata “Aku mencintaimu” maka seseorang itu juga harus bisa berkata “Dalam dirimu aku mencintai semua manusia, melaluimu aku mencintai dunia, dalam dirimu juga aku cintai diriku.” Karena jika cinta hanya pada satu objek yang dicintainya saja dan acuh terhadap hal-hal lain yang tidak berkaitan, itu bukanlah rasa cinta melainkan keterikatan simbiotik, atau egoisme yang meluas.

Erich Fromm dan Analisisnya Akan Elemen Cinta

Erich Fromm dalam bukunya seni mencintai mengungkapkan bahwa cinta adalah tindakan aktif dan produktif, serta kesatuan dengan sesamanya tanpa meleburkan integritas dan keunikan setiap individu. Melebur dan bersatu tidak harus menghilangkan keunikan dan integritas masing masing tapi cukup untuk saling melangkapi satu sama lainnya. Karena cinta adalah manifestasi dari kehidupan itu sendiri dan karena cinta adalah jawaban dari keterasingan dan kesendirian manusia.

Erich Fromm yang merupakan murid dari bapak psikoanalisis Sigmund Freud merumuskan empat elemen dasar yang harus ada pada sebuah bentuk cinta. Empat elemennya adalah sebagai berikut:

Perhatian, ialah meletakkan fokus yang mendalam oleh seorang pecinta terhadap kehidupan, perkembangan maju dan mundurnya, baik dan rusaknya, dan juga kesejahteraan kepada yang dicintainya

Tanggung jawab, ialah penerimaan beban dari seseorang atas kemajuan, kebahagiaan, dan kesejahteraan objek yang dicintainya, tidak hanya dalam keadaan suka, namun juga dalam keadaan duka. Dengan terlibat dalam berbagai aspek tersebut oleh seorang pecinta kepada yang dicintai adalah dalam rangka kemajuan dan kesejahteraannya.

Rasa hormat, ialah kondisi di mana seorang pecinta menghargai dan menerima objek yang dicintai apa adanya dan tidak bersikap sekehendak hati terhadap objek yang dicintainya atau dalam kata lain cinta juga berarti tidak memandang secara setara melainkan memandang melalui kekhasan dan keunikannya.

Pengetahuan, ialah kondisi di mana seorang pecinta harus memahami seluk-beluk objek yang dicintainya. Dengan begitu yang dimaksudkan adalah bahwa seorang pecinta juga harus memahami betul karakteristik dari sesuatu yang dicintainya.

Empat elemen ini menurut Fromm harus selalu ada dalam cinta tidak bisa salah satunya ataupun hanya kurang satu bagian, melainkan keempat hal ini merupakan dasar yang harus ada bila menelaah cinta.

Objek Cinta Menurut Erich Fromm

Setelah elemen dasar sebagai pembentuknya, cinta juga membutuhkan objek sebagai sebuah kajian filsafat secara ontologis, kelima objeknya adalah sebagai berikut, yakni:

Cinta persaudaraan, ialah jenis cinta paling fundamental, yang mendasari seluruh jenis cinta. Cinta persaudaraan adalah cinta untuk seluruh umat manusia dengan tak banyaknya unsur eksklusifitas dan bersifat egaliter. Dalam cinta persaudaraan terdapat pengalaman penyatuan dengan semua manusia, solidaritas, dan kebutuhan manusia. Awal dari kecintaan terhadap orang yang tidak berdaya dan kepada orang asing merupakan awal dari cinta kepada sesama.

Cinta keibuan, ialah afirmasi tanpa syarat terhadap kehidupan sang anak dan kebutuhannya. Afirmasi ini terdapat dua aspek; pertama adalah perhatian dan tanggung jawab yang sangat diperlukan untuk keberlangsungan dan pertumbuhan anak. Sedangkan aspek kedua merupakan sikap menanamkan cinta pada kehidupan dalam diri anak, serta bersyukur dan menerima atas apa yang dilimpahkan dalam kehidupannya, karena cinta keibuan bersifat altruisme.

Cinta erotis, ialah hasrat yang mendambakan untuk bersatu atau peleburan total semata hanya dengan dia seorang. Cinta ini pada dasarnya eksklusif dan tidak universal. Dengan demikian sering kali terdapat anggapan bahwa kedua individu saling mencintai, padahal yang sebenarnya terjadi adalah situasi di mana mereka saling menginginkan hanya sebatas fisik belaka. Cinta erotis bersifat egoisme.

Cinta diri, ialah jika mencintai sesama manusia merupakan suatu hal yang baik, maka cinta pada diri sendiri pun merupakan hal yang baik, karena objeknya sama sama manusia. Sudah seyogyanya cinta diri dan cinta sesama bisa saling harmonis dan berdampingan.

Cinta tuhan, ialah bentuk religius dari cinta yang bila ditinjau dalam bahasa psikologi tidak memiliki perbedaan. Cinta yang lahir dari kebutuhan untuk mengatasi kebutuhan transendensi dan meraih penyatuan dengan tuhan. Dalam semua agama baik politeis maupun monoteis pemahaman mengenai konsep tuhan dimulai dengan menganalisis terhadap struktur pemahaman seorang hamba sampai mengenal Sang Pencipta.

Sokrates Menjelaskan tentang Cinta

Sedangkan pembahasan perihal cinta bila kita tarik ke masa-masa sebelum Masehi tepatnya ketika Filsafat Yunani Kuno sedang pada masa puncaknya juga menjadi pembicaraan yang menarik. Bahkan Sokrates maha guru dari filsuf Yunani sampai harus berguru kepada Diotima. Dialog antara Sokrates dan Diotima juga tercatatkan dengan rapi dalam buku Simposium karya Plato, sebagai mana hal berikut:

Diotima berkata kepada Sokrates, “Adalah cukup baginya, yang memproses cinta dengan benar, untuk memulainya semenjak muda dengan mencari tubuh-tubuh yang indah. Jika pemandunya membimbingnya dengan benar, maka dia akan mencintai satu tubuh tunggal dan melahirkan perkataan yang indah. Kemudian jika keindahan yang melekat pada tubuh itu perlu untuk dikejar, adalah tidak masuk akal jika meyakini bahwa keindahan pada semua tubuh tidaklah sama satu sama lain. Saat menyadari hal ini, dia diangkat sebagai seorang pencinta seluruh tubuh yang indah dan meredakan nafsunya yang hanya tertuju kepada satu orang.”

“Tahap selanjutnya, dia harus meyakini bahwa keindahan jiwa lebih bernilai dibandingkan keindahan tubuh, sehingga jikapun seseorang hanya memiliki jiwa baik yang mekar dengan tidak sempurna, maka hal itu cukup untuknya. Dia selalu mencintai, peduli, menelusuri, dan melahirkan sesuatu pembicaraan yang akan menjadi lebih baik, agar dapat diajak untuk merenungkan apa yang indah menurut adat budaya dan hukum. Sehingga, dia percaya bahwa keindahan jasmani merupakan hal yang remeh.”

Melalui proses tersebut, Diotima mengajarkan kepada Sokrates bahwa sebagai seorang pecinta yang di perjalanan mencari cinta  pada yang dicintainya janganlah berhenti pada proses pencarian cinta yang hanya berhenti ketika terpikat pada yang tampak, namun galilah terus hingga masuk kepada aspek yang tak nampak hingga sampai ditingkatan tertinggi sampai tahap mencintai segala sesuatu bukan hanya kepada yang melekat pada dirinya, melainkan mencintai segala hal yang berkaitan dengan yang dicintainya. Hal ini disampaikan oleh Sokrates pada saat pidato ketika sedang pesta di kediaman Agathon sambil dalam keadaan mabuk.

Begitulah cinta menurut dua tokoh tersebut, hal yang sangat rumit. Karena cinta bukan hanya tentang rasionalisasi belaka, melainkan secara intuisi. Karena berbicara cinta adalah berbicara tentang rasa. Rasa yang sulit dijelaskan bila bukan oleh seorang pecinta ataupun orang yang tengah merasakannya. Karena cinta bukanlah hanya sebatas cinta secara materi saja tapi melampaui hingga masuk secara imateri. Sehingga manisnya cinta yang sulit didefinisikan hanya dapat dibahasakan secara baik oleh para pecinta yang tengah tenggelam didalamnya.

Pada akhirnya hal inilah yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi dalam penggalan syairnya sebagai gambaran dari cinta, “Apapun yang engkau katakan atau dengar adalah kulitnya: intisari cinta adalah misteri yang tak dapat dibukakan.”

Miftah Zein

Mahasiswa Sejarah di Universitas Padjajaran.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content