Nietzche telah mati namun tidak pada tahun 1900 saat Tuhan bangkit dan membunuhnya. Beberapa literat kerap mengutip Sabda Zarathustra dan menyatakan bahwa mereka percaya manusia dapat membunuh Tuhan. Pada saat yang sama para literat justru telah membunuh Nietzsche dan gagal memahami tuhan. Kaum ateis milenial menyatakan bahwa Tuhan tidak ‘ada’ dan manusia dapat melahirkan Tuhan sesuai kehendak sebagaimana Zarathustra dapat membunuh Tuhan dengan mudah. Tesis ateis secara dangkal menyatakan bahwa Gott is tott mewakili pemahaman bahwa tuhan tidak ada sehingga manusia tidak perlu beragama dan mempercayainya. Namun perihal beriman dan beragama pada kasus tertentu merupakan hal yang berbeda. Beragama merupakan rumusan moral yang dikhususkan manusia agar memiliki keterarahan kepada entitas yang teragung bagi agamanya, sementara kepercayaan merupakan dorongan untuk berjalan kepada entitas tersebut. Agama merupakan jalan, sementara iman merupakan kemampuan manusia untuk berjalan. Jika tujuan manusia adalah Tuhan sementara Ia telah dibunuh maka faktisitas menunjukkan bahwa Tuhan tetap ada. Keinginan, hasrat, tuntutan, ketidakpedulian dan pragmatisme-lah yang justru meluaskan jarak manusia pada Tuhannya dan bahwa penggunaan Gott is tott sebagai rasionalisasi seseorang untuk tidak beragama merupakan sebuah kesalahan logis.

Tafsiran lain dari Gott is tott adalah kritik Nietzche terhadap pemberhalaan manusia atas Tuhan dan pemakzulan agama yang justru menumbuhkan kejahatan manusia sepanjang catatan sejarah. Tuhan melampaui apapun dan tidak tinggal di dalam agama. Tuhan yang dibunuh oleh Zarathustra diasumsikan sebagai tuhan-tuhanan atau idols yang ada di dalam kepercayaan umat beragama. Namun tafsir ini dapat dibantah oleh spiritualis dengan menjelaskan bahwa Tuhan yang disembah merupakan hasil penerimaan emanasi Tuhan pada intelektual manusia. Penerimaan itu menimbulkan pengetahuan yang kemudian diwujudkan dalam penanda seperti totem atau teks suci sementara manusia tetap berbeda dengan Tuhan sehingga memiliki kekurangan sebagaimana kejahatan dan kemunafikan timbul dalam diri manusia. Tafsir ini juga membuka ruang penilaian bahwa Nietzsche justru merupakan seorang beriman.

Tafsir yang lebih relevan dengan pemikiran Nietzsche lainnya adalah bahwa Gott is tott merupakan seruan kebebasan dan kekuatan. Istilah membunuh digunakan Zarathustra untuk menunjukkan bahwa ia mengenal apa dan siapa Tuhan. Pengenalan ini menyingkap kemampuan intelektual manusia yang super-uber. Di saat orang lain sedang membatasi diri dengan konsepsi mereka atas tuhan, Zarathustra telah melampaui pemahaman mereka dan mampu terbebas dari pengetahuan palsu. Zarathustra ingin mengungguli manusia lain dalam usahanya membunuh Tuhan. Ia menjadi yang paling relijius sekaligus tak beriman demi menunjukkan bahwa manusia memiliki kekuatan untuk menjadi apapun. Pembunuhan tuhan oleh Zarathustra merupakan usaha Nietzsche untuk menyatakan bahwa manusia merupakan ubermensch. Penafsiran atas Gott is tott tidak selalu sama dan searah sehingga Sabda Zarathustra sebagai karya konundrum Nietszche membutuhkan studi eksegese pada satu sisi dan sekaligus pada sisi lain membutuhkan kepekaan nurani untuk memahami posisi manusia dan Tuhan.

Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.