fbpx

Ranciere – Ignorant Schoolmaster: Belajar dari Guru Bodoh

Kesadaran akan belajar itu sendirilah yang bisa jadi kunci emansipasi
Jacques Ranciere
Jacques Ranciere

Bagaimana bila belajar dari guru yang “bodoh” ternyata lebih berpotensi mencapai proses belajar itu sendiri?

Tentu praktik pedagogi semacam itu tidak biasa. Selama ini kita lebih mengenal dan memahami konsep belajar adalah proses mentransferkan atau pemindahan ilmu pengetahuan dari guru ke murid (Transfer of Knowledge). Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti.

Dalam konsep pedagogi kritis, konsep transfer of knowledge ini merupakan praktik hierarki. Guru di posisi superior dan murid dalam keadaan inferior. Dari sana, murid harus dibebaskan dari keadaannya lewat pendidikan pembebasan.

Namun bagi Ranciere, pembebasan ala pendidikan kritis dianggap belum cukup ruang untuk mencapai emansipasi. Alih-alih membebaskan murid, pendidikan kritis justru akan terus melahirkan hierarki lanjutan (mitos pedagogi). Karena, pendidikan kritis bermula dari pandangan awal yang hierarki. Bagaimana mengandaikan adanya pihak yang diemansipasi (dibebaskan, murid) dan pihak yang mengemansipasi (membebaskan, guru). Distingsi seperti itu jelas mengakui masih adanya ketergantungan dan ketidaksetaraan, sehingga produksi baru yang sejenis akan terus lahir.

Praktik pendidikan semacam itu yang dikritik Ranciere hadir.  Pandangannya menegaskan, emansipasi pendidikan harus dimulai dari asumsi bahwa semuanya sama dan setara. Jangan dari konsep hierarki. Singkatnya, Ranciere menyebut itu sebagai emansipasi intelektual. Saat guru dan murid bermula dan berada pada level sama-sama tidak tahu. Filsuf Perancis tersebut mengistilahkan jalan emansipasinya tersebut sebagai guru yang bodoh (ignorant schoolmaster).

Guru bodoh (ignorant schoolmaster) adalah guru yang mengajarkan muridnya tanpa menyalurkan pengetahuan (Ranciere, 2010: 2). Pandangan ini tentu memukul pemikiran pendidikan kontemporer. Apalagi pendidikan Indonesia yang kental dengan budaya bernuansa dogmatis, doktrinasi, dan sentralisasi dalam pembelajaran.

Lantas kalau guru tidak menyalurkan pengetahuan, fungsi tugasnya apa? Apa bedanya konsep guru bodoh ini dengan belajar tanpa guru? Berarti guru tidak perlu mengajar?

Di sini menariknya dari pikiran Ranciere. Guru tidak mengajar dalam konsep ini diartikan tidak menjelaskan pelajaran, namun bertugas pada tindakan mendasar seorang guru yang emansipatif. Pertama, menginterogasi dengan menuntut muridnya berbicara, mengatakan, dan memanifestasikan kecerdasan siswa yang tidak menyadari inteligensi dirinya sendiri atau yang telah menyerah pada kemalasan; dan kedua, memverifikasi belajar siswa, menunjukkan bahwa siswa menggunakan inteligensinya (belajar) dengan perhatian (Ranciere, 1991: 29).

Sangat jelas mengindikasikan bahwa pikiran Ranciere ini akan mendorong ke arah pembelajaran otentik dan emansipatif. Bagaimana siswa tidak digurui, tidak didoktrin, dan tidak diasupi. Siswa hanya diberi ruang kesetaraan belajar dengan penginterogasian dan memverifikasikan.

Belajar dari dan bersama orang yang sama-sama tidak tahu akan menumbuhkan gairah gerak keingintahuan. Bila kita belajar dengan orang yang mudah memberi tips dan arahan, kita rasanya hanya akan menjadi wadah penerimaan ilmu (duplicated knowledge). Akibatnya, kita akan bergerak dan berjalan dalam kebutaan rasa belajar. Itu sebabnya, kita butuh guru-guru yang tidak merasa tahu terlebih dahulu (superior). Guru dan murid saat masuk kelas harus sama dan setara.

Interogasi dan Verifikasi

Dalam konteks praktikal pembelajaran, teknik belajar mandiri, murid diberikan kebebasan untuk belajar sendiri, memahami dan mencerna materi pelajaran tanpa bantuan guru, dan guru sebagai fasilitator cukup mengawasi dan membantu menjaga perhatian murid dalam belajar. Ini paling khas dari gaya belajar kesetaraan dan kebebasan yang ditawarkan oleh Ranciere.

Guru bukan berarti lepas tugas sebagai pengajar dan pendidik. Justru guru seperti yang dikatakan oleh Ranciere harus bertugas sebagai penginterogasi dan memverifikasi. Untuk itulah dalam praktik pembelajaran ini pendekatan dialektik lebih dikedepankan.

Misalnya proses menginterogasi. Seorang guru tidak boleh mengajukan pertanyaan yang menuntun siswa pada penjelasan yang sudah ada atau disimpan sebelum akhirnya dibuka (socratic method). Di mana guru berpura-pura tidak tahu, kemudian pada titik tertentu memberi petunjuk dan membimbing murid pada muara pengetahuan dari dirinya. Mengajak siswa masuk jalan pikiran sang guru. Guru memberi pertanyaan yang jawabannya sudah diketahuinya. Penginterogasian semacam itu dikritik keras oleh Ranciere. Menurutnya, itu merupakan pembebalan paling sempurna (perfected stultification).

Penginterogasian dalam konsep emansipasi pedagogi adalah bertanya yang tidak menunjukkan pengetahuan, tapi justru menunjukkan ketidaktahuannya. Guru mengajar dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan atas apa yang tidak diketahuinya. Orang yang tidak tahu bisa bertanya tentang segala sesuatu dan pertanyaan itu akan memaksa penggunaan intelegensi muridnya dan dirinya sendiri. Di sanalah proses emansipasi dalam belajar sesungguhnya berlangsung. Saat guru tidak merasa tahu, dan murid juga tidak merasa tahu.

Contohnya, si guru dan si murid tidak tahu isi buku A. Lalu tujuan pembelajaran adalah membaca, mengidentifikasi isi buku A. Tugas guru di sini awalnya memastikan, memerhatikan, dan memfasilitasi anaknya membaca buku A. Dalam proses interogasi, si guru mengajak dialektika si murid mengenai isi buku A. Berhubung sama-sama tidak tahu isi buku A, si guru bisa bertanya perihal apa pun mengenai buku A.

Segala jawaban itu diterima sebelum akhirnya si guru akan memverifikasi jawaban si murid. Jika ditemukan kecocokan dalam proses verifikasi, berarti dapat dikatakan si guru dan si murid telah berhasil dalam proses belajar. Dari sanalah intelektualitas seseorang tumbuh, berkembang, otentik, dan bebas dengan sendirinya.

Kesadaran Diri atas Belajar

Bila dicermati lebih dalam, emansipasi pedagogi ini sejatinya bergantung pada pendayagunaan bahan ajar, kesadaran belajar, dan gairah membaca. Hal itu lebih mudah dipahami dalam pengertian belajar mandiri, belajar bebas, atau belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. 

Untuk itu, Ranciere mengatakan bahwa dalam suatu praktik pendidikan yang emansipatif, pusat emansipasi adalah kesadaran bahwa kecerdasan dapat bekerja ketika seseorang tersebut menganggap dirinya sama dengan yang lain dan menganggap yang lain sama dengan dirinya  sendiri (Bingham dan Gert Biesta, 2010: 43).

Namun, rasanya tembok besar yang dihadapi oleh pandangan Ranciere adalah budaya literasi pada individu. Pada taraf budaya literasi yang rendah, pembelajaran berbasis pembebasan dan emansipasi Ranciere ini akan sulit mencapai titik harapannya. Terutama pada karakter peserta didik yang selalu mengekor pada apa pun intelektualitas guru, ditambah iklim prosedural citra yang tumbuh subur seperti banyak contoh kasus pembelajaran di Indonesia.

Jadi, dapat sedikit disimpulkan bahwa kesadaran akan belajar itu sendirilah yang bisa jadi kunci emansipasi. Kita sejatinya memang harus sadar, bahwa belajar itu sebenarnya konsekuensi makhluk berakal yang ditanggung secara mandiri, dalam tanggung jawab masing-masing. Bukan pelimpahan pada unsur subjek lainnya. Saat kita sadar akan tugas belajar itu sendiri atas konsekuensi alami otak, kita akan benar-benar telah teremansipasi dengan sendirinya. 

Alfian Bahri

Alfian Bahri adalah seorang guru bahasa Indonesia. Ia menulis antologi cerpen Bau Badan Yang Dilarang (2018). Ia juga menulis di berbagai media daring seperti sanglah institute dan buruan.co.

One Response

  1. Saya kurang paham di bagian “verifikasi” dari guru. Di sini bukankah mengandaikan bahwa guru juga sudah bagaikan pagar yang mengunci dan memfilter arus pengetahuan? Bukankah artinya ia sudah harus berpengetahuan? Padahal dalam penjelasan Anda, menurut Ranciere, guru harus berposisi setara dengan murid, yakni sama-sama tak tahu. Lantas, bagaimana mungkin verifikasi ada di pihak guru? Ini kontradiktif. Di samping itu, saya kurang paham perihal “socratic method” yang dianggap sebagai—menggunakan istilah saya—“menjebak siswa untuk masuk ke kerangka berpikir si guru”. Setahu saya dialektika Socrates itu natural dan mengalir begitu saja. Socrates datang ke pasar atau ke parkiran tanpa berkuda-kuda untuk menjebak interlokutor agar masuk ke jalan pikirannya. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah “sophistic method”, bukan “socratic method”.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content