Ali Syari’ati: Islam Progresif dan Tauhid Sosial

Seorang manusia yang ideal menurut Syari’ati adalah yang sudah selesai di tahap keberinsanan lalu dilanjutkan untuk membumikan tauhid sosial.
Mosque of Sultan Hassankarya David Roberts
Mosque of Sultan Hassankarya David Roberts

Dimensi Eksistensialisme Manusia

Gagasan awal Syari’ati terkait manusia banyak dipengaruhi oleh pendapat Murtadha Muthahhari. Menurutnya, manusia terbagi atas dua level, yaitu Basyar dan Insan. Basyar adalah manusia pada awalnya, yang dibekali oleh Allah berbagai potensi. Pada level ini semua manusia sama, bahkan antara diri kita dan para nabi pun sepenuhnya sama pada level Basyar.

Manusia baru mengalami gejolak diversifikasi pada level Insan. Di level ini, seluruh potensi mulai memasuki tahap aktualisasi. Pada tahap ini pulalah dimensi eksistensialisme manusia mulai tampak. Manusia di level insan sudah memiliki kebebasan untuk memilih jalan mana yang hendak ditempuh untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang diberikan kepadanya. Entah itu ia memilih jalan yang sudah benar atau masih keliru, menurut Syari’ati, kedua hal tersebut adalah bukti keinsanan setiap manusia.

Gagasan awal inilah yang kemudian dikembangkan oleh Syari’ati menjadi sebuah gerakan yang telah mengguncang dunia Islam, khususnya di Iran pada saat itu. Gerakan ini berhasil mengobarkan revolusi Iran dan mengembalikan Iran ke tangan rakyat setelah sekian lama ditindas dan dihisap oleh dinasti boneka Syah Mohammad Reza Pahlevi. Gerakan inilah yang kemudian hari didengungkan sebagai gerakan Islam Progresif.

Gerak Progresif

Menurut Syari’ati, dalam tahap keberinsanan manusia harus belajar dari falsafah penciptaan Adam a.s. Dikisahkan bahwa Adam a.s tercipta dari tanah atau lumpur, yang tidak lebih suci dari api ataupun cahaya, lalu kemudian ke dalam lumpur tersebut ditiupkan ruh ilahiah. Dari kisah penciptaan ini dapat dipelajari bahwa manusia adalah makhluk yang di dalamnya terkandung dua unsur yang kontras, antara yang kotor dan yang suci, antara lumpur dan unsur ketuhanan.

Dalam keadaan Basyar, kedua unsur ini dalam keadaan tetap dan tanpa ada yang mendominasi satu sama lain. Perubahan terjadi ketika manusia mulai memasuki level insan. Ketika manusia cenderung mengikuti nafsu materi duniawinya, maka gerakannya akan menuntun dirinya ke arah materi juga, dan pada akhirnya yang mendominasi dalam dirinya adalah unsur materi/lumpur. Gerakan yang berkiblat pada materi dan menjauhi ruh ilahiah ini disebut oleh Syari’ati sebagai gerakan Regresi.

Sebaliknya, ketika manusia memilih untuk meninggalkan nafsu materi dan senantiasa berkiblat pada ruh ilahiahnya, maka yang kemudian akan mendominasi dalam dirinya adalah unsur-unsur ketuhanan. Ketika dalam diri manusia dominan unsur ketuhanan, maka gerak yang ia lakukan adalah gerak progresif. Sederhananya, antara gerak progresif dan regresif sama-sama berada di level insan, dan yang menjadi pembeda hanyalah kiblat. Gerak regresif berkiblat pada sensasi semu duniawi, sedangkan gerak progresif rela mengorbankan kefanaan duniawi untuk mengaktualkan ruh ilahiah dalam dirinya.

Tak peduli outputnya regresif ataupun progresif, manusia adalah satu-satunya makhluk yang dikaruniai kemampuan untuk naik dari level Basyar ke Insan. Tidak ada makhluk selain manusia yang dikaruniai potensi dan kemampuan untuk sampai ke level insan. Malaikat, jin, hewan, tumbuhan, dan segala ciptaan lain tercipta dan terhenti di level Basyar. Mengapa demikian?

Kembali ke falsafah penciptaan Adam a.s. Segera setelah diciptakan, Adam a.s. dibekali ilmu pengetahuan, hingga kemudian malaikat dan iblis diperintahkan untuk bersujud kepadanya. Sujudnya makhluk-makhluk lain kepada Adam a.s ini menyimbolkan humanisme, yaitu keunggulan manusia dari makhluk lain terletak pada ilmu pengetahuannya. Ilmu pengetahuan adalah bekal utama bagi manusia untuk beraktualisasi. Semua makhluk selain manusia terhenti di level Basyar karena mereka tidak diberi privilege ilmu pengetahuan oleh Sang Maha Pemberi.

Pada akhirnya, Ali Syari’ati menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dikaruniakan kepada manusia tidak secara cuma-cuma. Allah menantang manusia untuk menggunakan privilege tersebut untuk menjadi sebaik-baiknya khalifah di muka bumi, yang bergerak dan menggerakkan insan lain untuk mengaktualkan potensi ruh ilahiah dalam dirinya.

Adapun menurut Syari’ati, sebaik-baiknya khalifah di muka bumi adalah yang mampu mengenali dirinya sendiri. Tentu, mengenali diri sendiri adalah syarat untuk membaca arah gerakan yang nantinya akan kita aktualkan. Kedua, insan terbaik adalah insan dengan kehendak bebas yang tidak terbelenggu apa pun. Menurut Syari’ati, insan yang masih terbelenggu oleh rantai-rantai duniawi belum mampu mengaktualkan unsur-unsur ketuhanan di dalam dirinya secara maksimal. Oleh karena itu, sebelum bergerak secara progresif maka manusia harus bebas terlebih dahulu, agar tidak ada lagi tabir antara dirinya dan penciptanya. Di sinilah posisi Islam sebagai agama pembebasan. Ketiga dan yang terakhir, insan yang didamba-dambakan oleh alam semesta adalah dia yang memiliki kemampuan untuk mencipta dan mengembangkan. Alam semesta dan isinya, selain manusia, tercipta dan terhenti di level Basyar dan tidak memiliki kemampuan untuk mengaktualkan potensinya. Oleh karena itu alam semesta butuh peran kreativitas manusia untuk memanfaatkan dan mengaktualkan berbagai potensi yang terkandung di dalamnya, tentunya secara bijaksana dan tidak berlebih-lebihan.

Membumikan Tauhid Sosial

Setelah memahami tentang dua level manusia berikut gerakan yang terjadi setelahnya, Ali Syari’ati mendambakan masyarakat beragama yang tidak hanya mengejar kesempurnaan vertikal, namun juga tidak melupakan kewajiban horizontalnya. Maksudnya, manusia selain mendekatkan diri kepada tuhannya, ia juga tidak boleh lupa pada dimensi kemanusiaannya. Sebagai manusia sekaligus umat beragama, tentu kita juga memiliki tanggung jawab sosial terhadap sesama manusia. Kepekaan kita terhadap kondisi sosial inilah yang nantinya kita orientasikan ke arah yang tadi disebut sebagai gerak progresif.

Di sinilah kemudian muncul istilah “tauhid sosial”. Menurut Syari’ati, tauhid meniscayakan hanya satu kekuasaan mutlak, oleh karena itu manusia harus bersatu guna menumpas kekuasaan-kekuasaan lain yang tidak berasal dari Yang Maha Kuasa. Tauhid juga menghendaki tuhan yang satu. Oleh sebab itu, tuhan-tuhan kecil seperti harta, tahta, dan jabatan harus ditumpas. Tauhid berarti penghambaan tanpa batas. Tidak peduli golongan dan struktur sosialnya, manusia diperintahkan untuk menghamba dan memuja tanpa syarat kepada sang pemilik segala pujaan. Oleh sebab itu, segala bentuk struktur yang membagi manusia ke dalam kelas-kelas harus disingkirkan. Singkat kata, tauhid sosial menghendaki terciptanya masyarakat tanpa kelas, tanpa strata dan pembeda, yang satu dan menghamba pada Yang satu.

Manusia Ideal

Sebagai penutup, substansi dari filsafat Ali Syari’ati tentang progresivitas Islam adalah bagaimana cara kita sebagai umat beragama untuk menyeimbangkan antara agama dan tanggung jawab sosial.

Seorang manusia yang ideal menurut Syari’ati adalah yang sudah selesai di tahap keberinsanan lalu dilanjutkan untuk membumikan tauhid sosial. Selain itu, Syari’ati mengharapkan masyarakat beragama yang rasional, di mana ilmu tidak membuatnya meragu, dan iman tidak membuatnya tumpul. Hingga pada akhirnya, lahirlah seorang manusia ideal yang disebut Syari’ati sebagai manusia Teomorfis.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content