Imajinasi Kita Diproduksi oleh Mesin

Dunia digital dipenuhi hasil ciptaan yang tampak kreatif, namun lahir tanpa pengalaman, tanpa pergulatan batin, tanpa tubuh yang merasakan.

Toy Making Workshop

Di era kecerdasan buatan saat ini imajinasi kita tidak lagi menjadi hak istimewa manusia. Gambar-gambar yang dahulu lahir dari tangan pelukis kini dihasilkan oleh algoritma misalnya puisi yang dulu tumbuh dari renungan kini dapat muncul dari perintah singkat misalnya“tulis puisi mengenai kesepian dalam gaya Rilke.”

Dunia digital dipenuhi hasil ciptaan yang tampak kreatif, namun lahir tanpa pengalaman, tanpa pergulatan batin, tanpa tubuh yang merasakan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar bagi kita, yaitu ketika mesin mampu meniru imajinasi, apakah yang tersisa dari daya imajinatif manusia?

Jennifer Gosetti-Ferencei seorang filsuf perempuan kontemporer dalam bukunya The Life of Imagination memberi jalan untuk memahami krisis ini dengan cara yang lebih dalam. Ia memandang imajinasi bukan sekadar kemampuan menghasilkan bentuk-bentuk baru, melainkan cara manusia memperluas kenyataan. Imajinasi menurutnya adalah pengalaman yang menghubungkan kemungkinan dengan keberadaan — sebuah gerak batin yang membuat dunia tidak pernah selesai dipahami. Ketika algoritma mengambil alih fungsi penciptaan, yang terancam bukan hanya pekerjaan seniman, tetapi juga dimensi eksistensial manusia itu sendiri yaitu kemampuan untuk merasakan dunia sebagai sesuatu yang masih bisa menjadi lain.

Gosetti-Ferencei memandang bahwa imajinasi adalah ruang tempat dunia memperluas dirinya melalui kesadaran manusia. Dalam bukunya The Life of Imagination ia menulis bahwa imajinasi bukan sekadar bayangan dari realitas, melainkan cara lain bagi dunia untuk hadir dan bukan dalam bentuk yang pasti, melainkan dalam kemungkinan yang terus berubah. Melalui imajinasi manusia tidak hanya melihat apa yang ada, tetapi juga merasakan apa yang dapat ada.

Inilah yang membedakan imajinasi manusia dari simulasi mesin. Kecerdasan buatan atau AI dapat menggabungkan pola dan membentuk citra baru, namun ia tidak mengalami keterkejutan, kekaguman, atau keheranan di mana tiga bentuk dasar dari kesadaran imajinatif inilah yang dibicarakan Gosetti-Ferencei. Imajinasi sejati selalu berakar pada pengalaman hidup yang dialami secara terbuka dan penuh makna. Ia lahir dari pertemuan antara dunia yang nyata dan dunia yang belum selesai di mana terdapat pertemuan yang melibatkan emosi, tubuh, dan kesadaran waktu.

Dalam arti ini, imajinasi bukan aktivitas individual yang tertutup, tetapi cara manusia berpartisipasi dalam keterbukaan dunia. Setiap kali manusia membayangkan, ia menegaskan bahwa realitas tidak pernah final bagi makhluk hidup. Imajinasi menolak kesempurnaan mesin justru karena ia mengandung sesuatu yang tak dapat direduksi menjadi algoritma misalnya rasa ingin tahu, keraguan, dan harapan. Semua itu menandai bahwa manusia tidak sekadar memproduksi bentuk, melainkan mengalami kemungkinan.

Mesin dapat meniru hasil imajinasi manusia, tapi tidak dapat mengalami imajinasi. Perbedaan ini tampak halus, namun justru di situlah letak batas yang menentukan antara manusia dan algoritma. Menurut Gosetti-Ferencei, imajinasi bukanlah sekadar proses menghasilkan bentuk melainkan pengalaman keterbukaan terhadap kemungkinan yang melampaui apa yang sudah diketahui. Mesin beroperasi dalam wilayah pola; manusia berimajinasi di wilayah ketakterdugaan.

Ketika mesin “berpikir”, ia bergerak di dalam sistem probabilitas yang dapat dihitung. Tetapi ketika manusia berimajinasi, ia memasuki ruang yang tak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh sebab-akibat. Imajinasi manusia berakar pada pengalaman waktu atau pada kesadaran akan masa lalu, penantian terhadap masa depan, dan keinginan untuk memberi makna pada yang kini. Di sanalah imajinasi menyentuh wilayah eksistensial yang kita pahami sebagai pengalaman manusia di mana ia lahir dari keterbatasan, ketidakpastian, dan kerinduan untuk memahami dunia yang lebih luas daripada dirinya sendiri.

Dalam pandangan filsuf perempuan ini, batas antara manusia dan mesin bukanlah batas kemampuan, melainkan batas pengalaman. Mesin mungkin dapat meniru bentuk karya seni, tetapi tidak dapat menghayati keheningan yang melahirkan seni itu. Ia dapat menyusun kata-kata, tetapi tidak dapat merasakan keterasingan yang membuat kata-kata itu perlu diucapkan. Imajinasi manusia, sebagaimana ditunjukkan Gosetti-Ferencei, tidak berhenti pada produksi, tetapi membuka jalan menuju pengertian mengenai sebuah ruang di mana makna dan kehadiran saling menyentuh.

Saat ini kita tidak lagi bertanya dengan nada halus mengenai apakah mesin bisa berimajinasi, tetapi apakah manusia masih mengizinkan dirinya untuk berimajinasi secara manusiawi dengan segala keterbukaan, keraguan, dan daya untuk membayangkan dunia yang belum selesai.

Di tengah dunia yang semakin pandai meniru hasil imajinasi, kita justru dihadapkan pada ujian paling mengerikan di mana kita akan dibingungkan dengan pertanyaan, apakah kita masih mampu mengalami imajinasi itu sendiri? Gosetti-Ferencei menjawabnya dalam bukunya dengan mengingatkan kita bahwa imajinasi adalah ruang bagi kemungkinan yang belum tentu berguna, belum tentu efisien, tetapi selalu manusiawi. Ia tumbuh dari ketidaksempurnaan, dari kesalahan, dari kerinduan untuk menyentuh sesuatu yang belum ada.

sebelum kita menyerahkan seluruh daya cipta kepada mesin yang bekerja lebih cepat dari pikiran, mungkin kita perlu berhenti sejenak dan bertanya kepada diri sendiri mengenai tiga kegelisahan yaitu:

  1. Apakah yang dapat kita bayangkan saat ini benar-benar lahir dari diri manusia sendiri, atau hanya hasil algoritma yang sudah memahami hal-hal yang ingin kita lihat?
  2. Masihkah kita berani membayangkan sesuatu yang tidak populer, misalnya hal-hal yang mungkin tidak akan disukai orang lain, bersifat out of the box, dan aneh tetapi lebih terasa jujur dengan perasaan dan pengalaman kita?
  3. Jika imajinasi adalah cara kita menjadi manusia, maka kapan terakhir kali kita sudah berimajinasi untuk menikmati kehidupan yang kita bangun sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja tidak dapat dijawab segera. Pertanyaan-pertanyaan ini menunggu kita dalam kesunyian yang menyekat ruang antara kesadaran kita dan kemampuan mesin. Tempat di mana imajinasi kita mungkin untuk terakhir kalinya masih memantulkan cahaya kesadaran diri kita sendiri.

Referensi

Gosetti-Ferencei, J. (2018). The Life of Imagination: Revealing and Making the World. Columbia University Press.

Sartre, J.-P. (1940/2004). The Imaginary: A Phenomenological Psychology of the Imagination (J. Webber, Trans.). Routledge.

Reynaldo Siregar

Comments

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Baca Juga