“Akhirnya aku bisa membeli permen ini lagi setelah dua puluh tahun!” tulis seseorang di X, disertai foto bungkus jajanan jadul yang kini kembali dijual di waralaba snack berwarna kuning.
Fenomena semacam ini tampak sederhana,bahkan sepele. Namun di baliknya tersimpan perubahan mendasar dalam cara manusia berhubungan dengan masa lalu. Dahulu, kenangan masa kecil hadir melalui peristiwa yang bersifat kolektif di mana makan bersama keluarga, menonton iklan yang sama di televisi, atau berjalan di pasar dengan orang tua. Kini kenangan itu dapat diakses sendiri, dibeli sendiri, dan dikonsumsi secara pribadi. Masa lalu menjadi sesuatu yang dapat dipesan kembali seolah-olah ingatan adalah barang dagangan yang bisa dikembalikan ke tangan pemiliknya.
Jonathan K. Foster dalam karyanya Memory: A Very Short Introduction mengingatkan kita bahwa mengingat bukanlah proses pasif seperti memutar ulang rekaman lama. Ingatan adalah tindakan aktif di mana otak menyusun kembali, menafsirkan ulang, dan memberi makna baru pada fragmen masa lalu setiap kali ia dipanggil. Maka, ketika seseorang membeli permen masa kecilnya, yang dihidupkan bukan masa lalu yang sama, melainkan versi baru dari dirinya yang mengingat.
Fenomena nostalgia yang dapat “dibeli” ini memperlihatkan bagaimana memori telah bergeser dari ruang sosial menuju ruang konsumsi. Ia tidak lagi hanya menghubungkan kita dengan orang-orang di masa lalu, tetapi juga dengan versi diri kita yang lampau. Di titik ini, pertanyaan filosofis pun muncul adalah apakah yang kita rindukan benar-benar masa lalu, atau sekadar keutuhan diri yang pernah kita rasakan di dalamnya?
Dalam pandangan umum, ingatan sering dianggap seperti lemari arsip kita di mana setiap pengalaman disimpan dalam laci tertentu, menunggu untuk dibuka kembali saat dibutuhkan. Namun Jonathan K. Foster menolak pandangan ini. Ia menegaskan bahwa memori bukanlah penyimpanan pasif melainkan rekonstruksi aktif atas pengalaman masa lalu.
Berdasarkan temuan neuropsikologi, Foster menjelaskan bahwa setiap kali seseorang mengingat, otak tidak sekadar memanggil kembali data yang sama, tetapi menyusunnya ulang berdasarkan konteks emosional, bahasa, dan situasi saat ini. Dengan kata lain, kita tidak pernah mengingat peristiwa yang sama dua kali. Setiap kenangan adalah versi baru dari masa lalu atau hasil kolaborasi antara sisa jejak pengalaman dan tafsir diri di masa kini.
Inilah yang membuat ingatan bersifat sekaligus ilmiah dan filosofis. Secara ilmiah, ia menunjukkan fleksibilitas luar biasa otak manusia. Secara filosofis, ia menantang asumsi lama tentang kebenaran dan identitas. Jika ingatan terus berubah, sejauh mana ia masih dapat menjadi dasar bagi pengetahuan diri kita?
Foster menyebut fenomena ini sebagai bukti bahwa memori bekerja dalam sistem yang dinamis di mana ingatan membentuk makna, bukan sekadar menyimpan data. Dalam konteks itu, ingatan bukan hanya jembatan menuju masa lalu, tetapi juga alat untuk menata masa kini. Setiap kali kita mengingat, kita sedang menulis ulang sejarah diri kita sendiri atau dengan bahasa, emosi, dan kebutuhan yang baru. Otentisitas manusia bukan terletak pada kesetiaan terhadap detail masa lalu, melainkan pada kejujuran kita dalam menafsirkan ulangnya. Memori, sebagaimana dipahami Foster, adalah tempat pertemuan antara biologi dan eksistensi di antara kerja neuron dan kisah tentang siapa kita.
Dalam filsafat modern John Locke pernah mengemukakan pandangan bahwa identitas pribadi tidak terletak pada substansi tubuh, melainkan pada kesinambungan kesadaran di mana kita memiliki kemampuan untuk mengingat diri sendiri di masa lalu. Seseorang tetaplah seseorang yang sama sejauh ia dapat mengatakan akulah yang melakukan “itu”.
Pandangan Locke menempatkan memori sebagai fondasi eksistensi moral dan pribadi. Namun, Foster memperlihatkan sisi yang lebih rapuh dari asumsi ini. Jika ingatan bukanlah rekaman tetap, melainkan hasil rekonstruksi yang terus berubah, maka dasar identitas pun menjadi labil. Diri yang kita bayangkan berkesinambungan ternyata dibangun dari potongan-potongan kenangan yang disusun ulang setiap kali kita mengingat.
Dua pendapat ini memiliki kesenjangan yaitu yang pertama keinginan manusia akan keutuhan diri dan kedua kenyataan biologis bahwa memori selalu bersifat sementara dan berubah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita terus berusaha menjaga narasi diri kita dengan menulis kisah yang koheren tentang siapa kita bahkan ketika struktur otak kita sendiri tidak pernah berhenti memperbarui versi cerita itu.
Foster, dengan pendekatan ilmiahnya, tidak sekadar membongkar mitos kepastian dalam ingatan, tetapi justru memperlihatkan sisi kreatifnya. Ingatan malah menunjukkan bahwa keutuhan diri bukanlah sesuatu yang diwariskan, melainkan sesuatu yang diciptakan terus-menerus melalui proses mengingat. Dalam setiap kenangan, kita tidak hanya menatap masa lalu, tetapi juga menegosiasikan masa kini dan membayangkan masa depan.
Dalam konteks budaya digital, refleksi ini menjadi semakin relevan. Media sosial memberi ruang bagi setiap orang untuk mengarsipkan hidupnya, namun juga untuk mengedit, menghapus, dan mengulangnya. Diri digital yang terbentuk dari unggahan masa lalu tampak serupa dengan konsep Foster tentang ingatan yang selalu direvisi, selalu baru sehingga mungkin benar bahwa di era ini, kita mengingat agar tetap menjadi manusia dan bukan karena masa lalu kita itu utuh, tetapi karena kita terus berusaha untuk membangun keutuhannya.
Ketika setiap kenangan bisa diakses ulang melalui layar, manusia modern hidup dalam kemewahan yang belum pernah ada sebelumnya: kemampuan untuk mengingat secara instan. Satu klik dapat menghadirkan kembali iklan masa kecil, suara penyanyi lama, atau gambar jajanan yang dulu kita nikmati bersama keluarga. Namun di balik kemudahan itu, ada sesuatu yang berubah secara mendasar dalam cara kita mengalami masa lalu.
Di dunia digital, ingatan tak lagi menua bersama tubuh dan waktu. Ia dibekukan dalam bentuk arsip visual, siap untuk dihidupkan kembali kapan saja. Kita tidak lagi menunggu kenangan datang pada memori smartphone kita dan kemudian mengingatkan otak kita. Tetapi sebagaimana diingatkan Foster, setiap proses mengingat selalu melibatkan tafsir baru; maka, kenangan yang kita bangkitkan lewat media sosial bukanlah salinan murni dari masa lalu, melainkan hasil kurasi diri masa kini.
Fenomena ini menjadikan nostalgia sebagai praktik identitas. Saat seseorang membeli kembali permen masa kecil atau mengunggah foto lama dengan keterangan sentimental, yang ia cari bukan semata masa lalu itu sendiri, melainkan perasaan utuh yang pernah menyertainya yaitu sebuah kontinuitas yang memberi jaminan bahwa dirinya masih sama, meski segalanya telah berubah.
Namun ada paradoks dalam konsep ingatan yang diusulkan Foster yaitu bahwa mungkin mudah kita memanggil masa lalu, semakin cepat pula ia kehilangan keintimannya. Kenangan yang dulu tumbuh dalam percakapan dan kebersamaan kini berubah menjadi gambar publik yang beredar di antara algoritma dan tren. Masa lalu yang bisa dibeli, dengan demikian, tidak benar-benar mengembalikan apa pun di mana ia hanya memperlihatkan betapa kuat hasrat manusia untuk tetap merasa utuh. Di tengah derasnya arus digital yang mengabadikan setiap fragmen hidup, kemampuan untuk mengingat dengan sadar adalah bentuk paling halus dari kebijaksanaan masa kini.
Daftar referensi
Foster, J. K. (2008). Memory: A Very Short Introduction. Oxford University Press.
Locke, J. (1690/1975). An Essay Concerning Human Understanding. Clarendon Press.
Ricoeur, P. (2004). Memory, History, Forgetting. University of Chicago Press.








Berikan komentar