fbpx

Jean Baudrillard: Asumsi dalam Mengonsumsi

Pemikiran Baudrillard ditandai dengan cara pandang yang tajam, serta mendobrak kestabilan berpikir selama ini.
Jean Baudrillard
Jean Baudrillard

Persoalan zaman tidak terlepas dari pengaruh setiap perkembangannya. Hal tersebut menjadi reaksi dalam setiap aksi yang dikemukakan, baik dalam gagasan ataupun tindakan. Dalam abad ke-20 ini peran dari industrialisasi semakin kencang terutama dalam menjadikan kebiasaan mengkonsumsi sebagai landasan yang membentuk perkembangan zaman. Hal ini mendorong kita untuk bertanya, apakah prahara yang terjadi di dalam masyarakat ini disebabkan oleh modernisme?

Ketika membahas perkembangan zaman, seperti dalam kasus konsumsi dan produksi kali ini, sulit rasanya untuk mengabaikan karya dari Jean Baudrillard, filsuf Perancis yang dikenal dengan konsepnya mengenai Simulakra. Dalam karyanya Consumer Society: Myth and Structures (1998), konsep yang ditawarkan Baudrillard diklaim sebagai formulasi kritik dari konsumsi di masyarakat sosial. Melalui potret pemikiran Baudrillard, intensitas dari perkembangan zaman modern coba diuraikan secara mendalam. Baginya modernisme itidak lebih dan tidak kurang adalah ilustrasi dari kebimbangan  masyarakat dalam menentukan barang mana yang layak dikonsumsi maupun diproduksi. Hal ini berkembang semakin cepat dan membuat masyarakat dengan mudah menjadi tidak mudah puas.

Baudrillard beranggapan, bahwa di zaman yang penuh serba kecepatan ini, masyarakat dengan mudah dapat tergoda dan terguncang melalui sajian-sajian yang dengan sengaja ditawarkan di hadapannya. Misalnya, masyarakat rela membeli barang dengan harga yang tinggi asalkan mereka mendapatkan nilai lebih ketimbang sekedar bahan baku komoditas yang berkualitas. Permasalahan ini kian serampangan sehingga titik kesadaran seseorang menjadi sulit untuk dikualifikasikan. Kepuasan yang muncul akibat sebuah tindakan konsumtif diindikasikan hanya bersifat sementara. Ketika orang lain memiliki barang yang sama atau sepadan, dengan mudah hasrat seseorang dapat terpicu untuk membeli atau memiliki produk yang bernilai lebih lagi, dengan asumsi agar status sosialnya tetap diakui.

Pemikiran Baudrillard ditandai dengan cara pandang yang tajam, serta mendobrak kestabilan berpikir yang kaku dalam bidang sosial selama ini. Baginya asumsi dari sikap konsumsilah yang membentuk ruang umum dalam tatanan masyarakat. Dengan objek konsumsi masyarakat yang telah menjadi lahan basah untuk masyarakat — konsumsi dapat membentuk pembeda di antara sesama anggota masyarakat. Sesi konsumsi dipandang sebagai sesuatu yang dapat diorganisir oleh tatanan produsen. Secara inheren, pemikiran Baudrillard telah menjungkirbalikkan persepsi yang selama ini dipercaya dalam ekonomi bahwa kebutuhan sebetulnya merupakan konsekuensi dari produksi. 

Di zaman modern, manusia membeli barang bukan lagi sebagai pemenuhan kebutuhan, melainkan untuk menorehkan tanda dan simbol sosial agar diakui sebagai person yang tengah berkuasa.

Bagi penulis, pandangan dari Baudrillard ini cenderung mirip dengan pandangan Slavoj Zizek. Ia menggambarkan situasi tertentu dalam filmnya yang berjudul The Pervert’s Guide to Ideology (2012) di mana iklan dapat memicu hasrat untuk terus menerus memiliki sesuatu tanpa mau menelusuri apa fungsi, maksud, atau tujuan yang sebenarnya. Zizek mengilustrasikan hal tersebut dengan keragaman simbol-simbol di era modern ini. Dalam teorinya masyarakat kesulitan menentukan mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi keinginan.

Kembali bersama pemikiran Baudrillard, baginya kondisi sosial hari-hari ini semakin mencemaskan karena dimensi sosial terus-terusan diguyur oleh produksi barang dan informasi yang dapat dikonsumsi tanpa adanya verifikasi yang signifikan. Apakah hal tersebut mampu untuk mengatasi persoalan ekologi yang sedang melanda masyarakat dunia? Kondisi masyarakat modern semakin ke sini semakin meresahkan. 

Potensi manusia untuk kian tidaksadar menjadi sarana yang tepat untuk dipertanyakan kembali. Apakah perkembangan intelektual di era modern dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan besar kebiasaan konsumtif saat ini? Permasalahan manusia sosial semakin banyak di antaranya: keadilan, kebebasan, kesejahteraan. Bagaimana kesadaran itu dapat menemukan kembali potensi autentiknya? 

Beberapa Asumsi 

Baudrillard mengasumsikan bahwa modernisme sudah lengkap menuju kedegilan yang paling nyata. Dimana-mana, masyarakat digoda untuk mengonsumsi ataupun memproduksi barang tertentu lantaran persaingan pertahanan hidup yang semakin ketat. Semua sistem baik sistem konsumerisme dan produktivitas memicu masyarakat untuk lekas menemukan ‘keselamatannya’ masing-masing agar tidak hilang dari peredaran sosial. Terutama dalam hal mengonsumsi, masyarakat tanpa sadar ( atau bahkan dengan sadar) segera mempercepat pemenuhan parameter hidup agar tidak kehilangan kendali dalam lingkungan sosial mereka yang sebetulnya telah dikukuhkan secara acak.

Dari semua permasalahan itu, apakah yang dapat disebut layak dan tidak layak dalam hal memproduksi dan mengonsumsi? Di mana posisi modernisme jika manusia tidak dapat lagi dengan jelas lagi menentukan sikap yang akurat? Baudrillard dengan jernih mengemukakan pendapatnya bahwa modernisme ini cenderung membuat masyarakat semakin ambigu, bahkan jika mereka memiliki kaidah-kaidah etis yang belum tuntas untuk disalurkan. Manusia dalam kondisi apapun kini diganjar dengan kepalsuan dan dianggap terlalu abstrak, sehingga tidak relevan untuk memenuhi kebutuhan modernisme. 

Sekolah, pabrik, rumah sakit, perusahaan, pemerintahan, politik, bahkan dunia gaya hidup sekalipun, kini eksistensinya sedang dalam tahap ambivalensi. Di mana masyarakat ingin membuat jaringan di antara seorang dengan yang lainnya, namun mereka dibatasi oleh ruang, waktu, dan nilai semua yang semuanya disebut sebagai pertahanan hidup. Tidak mengherankan, dengan alasan demi hidup, masyarakat dapat berlaku semaunya sendiri selama mereka memperoleh posisi dalam masyarakat (dalam hidup).

Kebiasaan produksi dan konsumsi dunia modern menjadi latar belakang Baudrillard dalam mengemukakan gagasan perkembangan masyarakat modernisme. Ia mengembangkan asumsi yang dilandasi dari pemikiran Karl Marx (meskipun ia mengkritik Marx lantaran tidak lugas dalam meninjau persoalan melalui konsumsi). Keduanya memiliki persamaan dalam merinci persoalan yang terjadi di dalam lingkup sosial, ialah sama-sama menentang keras penggunaan alat tertentu untuk menggerus sumber daya alam yang tersedia. Manusia dan sumber daya lain digunakan untuk mendapatkan keuntungan dan memicu ketimpangan. Permasalahan ini menanti manusia di ambang batas dan menunggu masyarakat menyatakan tidak pada kesewenang-wenangan.

M Hakim

Ruang Ekspresi

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content