Kaum Pekerja sebagai Homo Faber dan Animal Rationale

Semua manusia pada hakikatnya memiliki kesempatan untuk menggunakan nalar, sebuah bentuk nyata dari animal rationale sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles

Filsafat hadir dalam peradaban sebagai mode manusia menjernihkan jiwa dan nalarnya. Hal tersebut berlaku untuk semua, baik bagi manusia sebagai individu maupun manusia sebagai bagian dari sebuah kesatuan, misalnya sebuah bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa sama dengan mencerdaskan seluruh kelompok masyarakatnya baik yang masih balita hingga manula (manusia lanjut usia), atau yang merupakan angkatan kerja hingga purna-tugas.

Indonesia pada konteks hari ini dapat dikatakan ibarat negara yang tengah putus asa menghadapi persaingan bursa tenaga kerja global. Melalui berbagai kebijakan pendidikannya, Indonesia dinilai terlalu menitikberatkan pada output pendidikan sebagai produsen tenaga kerja terampil. Hal ini dapat dilihat dari usulan Kemenristekdikti untuk mengembangkan lebih banyak fakultas dan jurusan saintek dibandingkan humaniora. Dengan demikian, kaum terdidik hendak disiapkan menjadi para tenaga ahli yang nantinya dapat memajukan bidang-bidang teknis dan aplikatif serta persaingan Indonesia dalam bursa tenaga kerja. Pertimbangan fungsional tersebut tidak dapat dinilai negatif sampai pada batas di mana ilmu filsafat dan humaniora dikesampingkan. Pengembangan masyarakat berkeahlian (techne) akan berdampak positif bila kesadaran manusia atas nilai universal dan kodrati tetap dilestarikan. Bagian yang terakhir ini hanya didapati dari penerapan filsafat dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari.

Secara garis besar tujuan utama pendidikan adalah pengembangan keutamaan manusia dalam bentuk arche maupun techne. Manusia secara kodrati akan mendapati diri melakukan proses kerja atau keahlian. Namun, di sisi lain, keseharian akan menuntut mereka untuk menerapkan rasionalitas yang sehat dan disposisi etis yang tepat. Seorang petani misalnya, harus menguasai teknologi pra dan pasca panen bagi komoditasnya. Namun pada saat yang sama tidak dapat melepaskan diri dari ikatan kehidupan sosial keluarga dan komunitas taninya. Kondisi tersebut menuntut petani untuk memiliki kemampuan techne dalam proses produksi, sekaligus kemampuan arche dalam memikirkan permasalahan etis mengenai hubungannya dengan pemodal, tengkulak, maupun konsumen primer.

Sementara itu, kesadaran umum atas pentingya filsafat di Indonesia tergolong rendah. Sistem pemerintahan dan pusat-pusat pendidikan cenderung memilih pengembangan kemampuan praktis. Filsafat dinilai sebagai ilmu yang ekslusif atau kebarat-baratan, terlalu rumit untuk dipelajari, dilihat sebagai “pembicaraan” yang temaram bahkan awang-awang. Sedemikian kokoh narasi atas filsafat yang terbentuk pada kalangan umum di Indonesia sehingga sebagian besar masyarakat lupa bahwa sebuah bangsa membutuhkan filsafat sebagai penerang untuk lahir dan berkembang.

Indonesia per tahun 2018 telah memiliki 127.067.835 jiwa tenaga kerja yang sebagian besar merupakan warga normal tanpa kebutuhan khusus (BPS, 2018). Angkatan kerja yang menyandang cacat atau berkebutuhan khusus sering kali dipinggirkan karena dianggap tidak efisien dalam sebuah usaha kerja terutama di bidang industrial. Masing-masing pekerja menyumbang perkembangan bagi korporat dan devisa bagi negara. Namun para pekerja tersebut hanya dinilai sebagai mesin produksi alih-alih manusia yang bekerja.

Semua manusia pada hakikatnya memiliki kesempatan untuk menggunakan nalar, sebuah bentuk nyata dari animal rationale sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles. Di saat yang sama seseorang akan mendapati dirinya sebagai homo faber karena melakukan proses kerja dalam berbagai rupa. Para pekerja yang terdiri dari laki-laki maupun perempuan, bekerja di sektor formal maupun informal, berlatar belakang pendidikan dasar hingga tinggi, memiliki hak yang sama dalam memperoleh hasil seturut keadilan proporsional atas kerja yang dilakukan. Para pekerja tersebut bukan merupakan robot, artificial intellegent atau smartphone yang semata digunakan dan dipekerjakan untuk menuntaskan tujuan usaha. Pekerja hidup dalam keluarga, mencintai atau membenci, memiliki hasrat serta menghadapi pilihan. Pekerja di Indonesia tidak boleh lagi dilihat hanya sebagai motor atau mesin, kuda atau budak. Mereka bekerja karena hakikatnya sebagai makhluk kreatif dan panggilannya untuk membangun hidup.

Pekerja dijauhkan dari hasil produksinya. Di saat yang sama mereka dijauhkan dari kehidupan sosialnya. Namun sistematisasi kerja industri dapat membutakan pekerja dengan tuntutan produksi yang berlebihan. Hal ini menyebabkan pekerja kehilangan kesadaran dirinya sebagai hamo faber, serta secara langsung menghilangkan kemampuan manusia sebagai animal rationale. Dalam konteks modern, pekerja dijauhkan dari kesadarannya bahwa mereka ialah homo faber. Manusia modern diposisikan sebagai alat dan bukan lagi makhluk bernalar yang melakukan kegiatan kerja demi mempertahankan eksistensinya. Homo faber mensyaratkan seseorang untuk menjadi manusia terlebih dahulu sebelum ia dapat melakukan sebuah bentuk kerja. Manusia yang dimaksud adalah persona yang mengenal jiwa dan hakikatnya, serta,  dengan kesadaran moral dan nalarnya, mampu memahami realitas. Homo faber bukanlah suatu keniscayaan yang ada semenjak manusia lahir. Kerja juga bukan merupakan usaha memproduksi komoditas.

Dalam Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat Marx tahun 1844 dinyatakan bahwa kerja merupakan bentuk dari usaha para pekerja untuk memproduksi dirinya sendiri. Marx menambahkan bahwa

“…pekerja sebagai komoditas dan ia melakukannya dengan proporsi yang sama seperti halnya ia memproduksi komoditas secara umum.

(Marx, 2016)

Sementara itu faktor kerja yang menjadi hakikat manusia menurut Kasdin Sihotang setidaknya menyangkut tiga perkara yaitu: pertama, keterlibatan subjek dalam bentuk pikiran, kehendak, dan kebebasan secara intensif. Kedua, menghasilkan manfaat bagi subjek. Dan ketiga, mengeluarkan energi (Sihotang, 2017). Dengan demikian jelas bahwa kerja yang dilakukan manusia memiliki syarat-syarat khusus yang bertitik tolak dari independensi manusia itu sendiri.

Lebih lanjut Sindhunata memaparkan pendapat Max Horkheimer bahwa bentuk ekonomi dan kebudayaan dalam masyarakat sungguh berdasarkan pekerjaan manusia sebagai ungkapan untuk menyatakan dirinya secara sadar (Sindhunata, 1982). Dengan kata lain, bangunan ekonomi dalam masyarakat haruslah sesuai dengan penalaran masyarakat itu sendiri. Tuntutan ekonomi tidak boleh memungkiri ungkapan-ungkapan manusia dalam menunjukkan keunikkannya. Sebaliknya, tuntutan ekonomi seharusnya mendukung manusia untuk mempermudah aktualisasi kehidupannya. Sementara itu, bagi Erich Fromm, proses penciptaan ide dan konsepsi adalah bagian dari proses produksi alamiah manusia sebagai makhluk yang berhubungan secara material dengan sesamanya (Fromm, 2004). Dalam proses ini kesadaran yang terangkum dalam penalaran filosofis berperan dalam perjalanan manusia untuk membentuk proses kemenjadian. Kerja, dengan demikian, merupakan proses kemenjadian manusia sebagai animal rationale.

Kerja merupakan dunia yang nyata, bentuk dari realitas manusia rasional. Manusia pekerja menemukan dunia dalam pekerjaan. Demikian Heidegger menjelaskan konsep Everyday Being-with melalui contoh seorang pengrajin yang menemukan realitas dunia-kerjanya dalam kebersamaan dengan peralatan, serta kepada siapa hasil kerjanya diserahkan (Heidegger, 1996). Manusia dapat menyatakan keberadaannya melalui pengejawantahan dalam dunia, dalam dunia kerja dan keseharian. Sebagaimana lebih lanjut dijelaskan oleh Wolf mengenai konsep kerja Marx, terdapat dua mode kerja yang dilalui oleh manusia yaitu: work dan labor. Work mensyaratkan kerja perseorangan sebagai proses pengolahan energi menjadi energi baru, sementara labor mensyaratkan proses kerja yang didorong oleh hubungan sosial (Wolf, 2015). Labor menata hubungan alam dan kebutuhan manusia hingga muncul beragam jenis kerja serta organisasi dan institusinya.

Kemampuan manusia untuk bekerja dan berkarya muncul dari kesadaran manusia atas kemampuan dan kondisinya sebagai makhluk pencipta. Kerja merupakan proses manusia dalam perjalanan “menjadi” dan bukan merupakan penyerahan diri pada korporat sebagai usaha pelengkapan kebutuhan ekonomi semata. Logika berpikir ini mengalir pada pengertian bahwa manusia tidak dapat bekerja sebelum ia menyadari siapa dirinya dan kemana ia hendak beranjak. Dengan demikian, para pekerja juga harus melakukan suatu pekerjaan karena kesadarannya, bukan berdasarkan paksaan atau pengkondisian oleh sistem yang menindas.

Selain berhubungan langsung dengan apa yang dikerjakannya, pekerja juga berhubungan dengan pekerja lain. Mereka bertemu dan membentuk kelompok, atau yang dalam hal ini disebut oleh Armada Riyanto sebagai societas. Societas bersifat dialogal. Dengan kata lain, terdapat kebersamaan manusia yang memproduksi kodrat baru manusia dalam pertemuan yang rasional (Riyanto, 2016). Hal ini mendasari terbentuknya kelompok pekerja yang pada perkembangannya menjadi pusaran relasionalitas di antara para anggotanya. Di dalam pusaran ini terkumpul penalaran, ide, konsepsi, kesadaran dan berbagai aspirasi para pekerja. Dengan kata lain, pekerja melakukan proses berfilsafat secara alamiah dan bersama-sama. Pada titik ini organisasi berperan sebagai pengumpul ide kolektif, dan simpul dalam pengembangan kesadaran. Hal ini memposisikan organisasi pekerja sebagai motor para pekerja untuk melakukan refleksi atas kehidupannya, atau dengan kata lain melakukan proses berfilsafat secara alamiah. Pendasaran ini menegaskan pendapat Tedjakusuma bahwa gerakan buruh menyerap banyak sekali pengaruh sosialisme dan pada tahap berikutnya, gerakan buruh menjadi “sekolah” dalam mempelajari sosialisme (Tedjkusuma, 2008).

Beruntung bahwa dalam tekanan bursa kerja industrial saat ini sebagian pekerja masih memiliki kesadaran untuk berkelompok. Berbagai serikat pekerja berdiri atas dasar keresahan dan kegelisahan atas kondisi hidupnya. Menurut Marx, kemiskinan pekerja yang diakibatkan oleh kuasa ekonomi industri besar menuntut adanya perintisan kesadaran etis di antara kaum pekerja (Ramly, 2013). Hal ini mendorong pekerja untuk bersatu dan mempertemukan pendapat mereka, sehingga terbentuklah kelompok-kelompok yang bergeliat untuk mempertahankan kesadaran pekerja sebagai manusia. Lebih lanjut Jacques Derrida menyatakan bahwa organisasi sosial yang mendunia, yang dalam pembahasan ini diwakilkan oleh organisasi buruh, dapat mengajukan konsep kemanusiaan atau nasionalisme (Derrida, 2015). Hal ini terbukti dengan misalnya digelarnya Mayday internasional secara serempak dalam rangka menuntut kembali keadilan dan kesejahteraan yang sempat dirampas oleh sistem industrial.

Sebagian organisasi pekerja juga melakukan pendidikan bagi anggotanya agar mampu membuka mata atas realitas yang mengitarinya. LBH Jakarta misalnya, pada tahun 2016 telah memberikan pendidikan bagi buruh industri[1] agar dapat memahami kondisi hidupnya yang telah dijauhkan dari segala bentuk keadilan dan kesejahteraan. Hal ini merupakan langkah awal inisiasi kesadaran pekerja yang selama ini surut akibat alienasi yang dibentuk oleh sistem kerja. Dalam forum-forum seperti inilah filsafat hidup. Filsafat tidak lagi berkisar seputar perbantahan teori melainkan usaha untuk memaknai hidup dan mencari kebenaran dari selubung yang menjauhkan manusia dari kodratnya. Filsafat kemudian secara langsung dapat merubah pandangan individual manusia, badan masyarakat atau bangsa, serta institusi seperti organisasi buruh dan LSM. Hal ini mampu menghasilkan konsekuensi positif dalam bentuk agenda gerakan sebagaimana yang digambarkan oleh Mansour Faqih dalam dua agenda yaitu: pengembangan ideologi serta paradigma sebagai organ masyarakat sipil dan memecahkan permasalahan yang dihadapi olehnya (Faqih, 2010).

Filsafat hadir dan tetap relevan dalam kehidupan pekerja. Filsafat dapat kembali diinternalisasikan melalui pendidikan pekerja dalam kegiatan organisasi atau serikatnya. Pemberdayaan masyarakat dalam hal ini khususnya pada buruh dan perserikat melalui pendidikan menjadi penting untuk dilaksanakan. Latar belakang utama adalah untuk mengembalikan kesadaran buruh atas hak-hak serta agar pekerja dapat memberdayakan diri dalam memperjuangkan hak yang dalam kasus tertentu dapat direnggut oleh sistem industrial. Filsafat memiliki peran untuk pembangunan manusia, dalam hal ini adalah kesejatian salah satu identitas manusia sebagai pekerja.

Tersebut kesejahteraan masyarakat yang dalam diskursus orang Yunani kuno disebut sebagai dike. Kesejahteraan merupakan pengejawantahan dari keadilan yang merupakan bentuk keutamaan dari masyarakat polis (Cahyadi, 2017). Konteks hari ini membawa pemahaman atas keadilan dan kesejahteraan sebagai bentuk nyata masyarakat yang rasional. Rasionalitas ini terutama ditemui dalam kehidupan para pekerja yang setiap hari mendapati diri melakukan proses pelengkapan hak dan kewajiban sebagai bentuk pemaknaan diri. Filsafat kemudian mampu bergerak dalam dialektika organisasi pekerja, dalam kelas-kelas pendidikan pekerja, dalam aksi menuntut keadilan, dalam dialog antara pekerja serta instansi yang melingkupinya, dan yang terutama dalam proses perenungan pekerja itu sendiri sebagai pribadi. Filsafat dalam hal ini juga hadir dalam kritik terhadap korporat dan pemerintah sebagai pendasaran bahwa kerja tidak dapat dihubungkan secara langsung kepada hasil produksi, melainkan sebagai usaha menuju manusia dan masyarakat yang otentik. Dengan demikian pendidikan arche dan techne semua orang sebagai persiapan para calon angkatan kerja harus seimbang.

Pendidikan dan kegiatan pengorganisasian pekerja memiliki urgensi yang lebih besar sebagai bentuk usaha mengembalikan pemahaman mereka atas hakikat manusia sebagai pekerja. Dalam kelompok gerakan pekerja, mereka dapat memahami hakikat kerja, siapa manusia yang bekerja (homo faber), dan dengan siapa mereka bekerja. Bekerja menjadi proses yang tidak semata-mata menghasilkan produk melainkan juga menjadi proses perjalanan manusia dalam pencarian maknanya sebagai anima rationale. Para pekerja tidak lagi membiarkan diri diposisikan sebagai perangkat semata, melainkan sebagai manusia yang terus “menjadi”, atau dengan kata lain hendak menggenapi perjalanan hidupnya.

Indonesia sebagai bangsa yang sedang berada dalam tantangan bursa tenaga kerja global tidak dapat meninggalkan aspek filosofis dalam pendasaran nalar dan moral etis masyarakatnya. Walaupun sistem pendidikan belum mampu sepenuhnya menunjang penanaman filosofis, namun setidaknya angkatan kerja didorong untuk memperoleh kesempatan berkelompok atau berorganisasi. Dengan demikian, aspirasi pekerja dapat terkumpulkan dan melalui dialektika di dalamnya kesadaran pekerja sedikit demi sedikit dipulihkan. Bangsa ini membutuhkan pekerja yang mampu merefleksikan hakikat dirinya sebagai homo faber sekaligus animal rationale. Demikian hubungan kedua hakikat tersebut akan terangkum dalam perjalanan manusia bernalar dan mengekspresikan dirinya melalui kerja. Pekerja bukan mesin karena pekerja merupakan manusia yang sedang melakukan perjalanan hidup sebagai mode pembuktian realitas diri. Peran sistem ekonomi dan industrial yang selama ini mengikis jati diri homo faber harus diputarbalikkan. Kelompok atau organisasi pekerja menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat untuk kembali berfilsafat secara alamiah, dan bukan justru menyelubungi kebenaran hakikat kerja dengan berpihak secara timpang pada korporat.


[1] Dilansir dari www.bantuanhukum.or.id


Data Angkatan Kerja yang Bekerja pada Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas https://www.bps.go.id/statictable/2016/04/04/1907/penduduk-berumur-15-tahun-ke-atas-menurut-provinsi-dan-jenis-kegiatan-selama-seminggu-yang-lalu-2008—2018.html . Diakses tanggal 6 April 2019.

Pendidikan sebagai Sumbu Perjuangan Kaum Buruh. https://www.bantuanhukum.or.id/web/pendidikan-sebagai-sumbu-perjuangan-kaum-buruh/ . Diakses tanggal 2 April 2019.

Cahyadi, Haryanto. Paideia: Mendidik Negarawan Menurut Platon. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 2017.

Derrida, Jacques. Hantu-Hantu Marx. Hartono Hadikusumo (terj.) Penerbit Narasi. Yogyakarta: 2015.

Faqih, Mansour. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial. Insist Press. Yogyakarta: 2010.

Fromm, Erich. Konsep Manusia Menurut Marx. Agung Prihantoro (terj.). Pustaka Pelajar. Yogyakarta: 2004.

Heidegger, Martin. Being And Time. Joan Stambaugh (trans.) State University of New York Press. New York: 1996.

Iskandar Tedjakusuma. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia. Trade Union Rights Centre. Jakarta: 2008.

Marx, Karl. Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat dalam Teks-teks Kunci Filsfat Marx Martin Suryajaya (terj.). Resist Book. Yogyakarta: 2016.

Ramly, Andi Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx. LKiS. Yogyakarta: 2013.

Riyanto, Armada. Berfilsafat Politik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 2016.

Sihotang, Kasdin. Filsafat Manusia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 2017.

Sindhunata. Dilema Usaha Manusia Rasional. Penerbit Gramedia. Jakarta: 1982.

Wolf, Eric R. Kilang-Kilang Ketimpangan: Sebuah Pendekatan Marxian dalam Marx, Kapital dan Antropologi. Mulyanto, Dede dan Dicky P. Ermandara (Terj.). Ultimus. Bandung: 2015.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content