Lingkar Wina sebagai kaum Positivisme Logis
Pertemuan rutin Lingkar Wina di Wina, Austria.

Di tengah kegagalan dunia yang menuntut terus adanya dialektika zaman sangat memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan. Upaya manusia untuk memahami realitas konkretnya merupakan salah satu pekerjaan yang akan tidak pernah selesai dan terus berkembang. Sebagai makhluk yang memiliki kemampuan kognitif atasnya pasti selalu mendorong manusia untuk terus melakukan interpretasi-interpretasi terhadap keadaan yang imanen maupun realitas transenden secara dinamis. Tanpa disadari ini merupakan salah satu konsekuensi dari adanya hukum dialektika zaman. Munculnya berbagai macam ideal-ideal tertentu dalam melihat dan menafsirkan keadaan manusialah yang kemudian berimplikasi terhadap adanya upaya siklus dekonstruksi pada setiap ilmu pengetahuan dan paradigma mengenai ideal-ideal tertentu baik yang berwujud status quo dan bukan.

Di satu zaman tertentu, khususnya zaman modern, kita bisa melihat sebuah fenomena yang merepresentasikan peran manusia sebagai subjek utama dari tugas penting sejarah dan filsafat untuk merasionalisasi keadaan. Lahirnya zaman yang kita kenal dengan renaisans menjadi satu ingatan yang monumental khususnya Eropa sebagai simbol beralihnya zaman ke era yang lebih transformatif dan melakukan dekonstruksi besar-besaran dalam setiap sendi pergaulan sosial manusia yang sebelumnya dinilai perlu untuk diperbaharui dan diperbaiki khususnya pengetahuan secara signifikan. Berangkat dari salah satu peristiwa inilah kita bisa melihat bagaimana kemudian upaya manusia dalam menafsirkan realitas keadaannya yang selalu berujung pada usaha untuk melakukan misi emansipatoris sebagai jalan utama untuk menghadirkan perubahan yang menjadi jawaban dari upaya rekonstruksi kembali.

Lahirnya era baru tidak hanya berdampak atas perubahan sosial semata. Ilmu pengetahuan, yang menjadi instrumen penting dalam menstimulus kesadaran manusia, juga mengalami pembaharuan yang kontras.  Munculnya banyak pemikir yang memberikan sumbangsih pengetahuan terhadap dunia menandai lahirnya satu era ilmu pengetahuan tertentu. Khususnya modernisasi, yang menjadi era pemrakarsa hadirnya beragam aliran pemikiran dan paradigma yang dibangun dari melimpahnya kekayaan intelektual barat kemudian menjadi embrio munculnya istilah filsafat modern. Beberapa mazhab seperti, rasionalisme dan empirisme menjadi induk utama dalam berbagai macam irisan pikiran filsafat modern yang terbingkai dalam satu istilah Aufklarung.

Menilik positivisme logis sebagai produk aufklarung

Positivisme merupakan hasil dari sebuah manifesto pengetahuan barat yang menjadi puncak perwujudan pengetahuan sejati umat manusia. Sebagai upaya reflektif untuk mendorong kemajuan manusia dan juga mengakhiri jalan buntu pengetahuan pra-pencerahan. Usaha rasionalisasi kembali pengetahuan atau revolusi pengetahuan melahirkan satu aliran baru hasil dari perenungan dan proses integrasi berbagai macam corak filsafat modern yang bertumpu pada pengagungan rasionalitas-empiris. Bentuk manifestasinya ialah orbitnya sebuah mahakarya baru yaitu positivisme, yang mana ialah ikhtiar pemikir barat yang berkembang menjadi satu metode sebagai kendaraan untuk memahami dan menjawab kompleksitas persoalan manusia dan alam semesta. Positivisme merupakan sebuah upaya untuk merekonstruksi kembali pengetahuan dengan pengaturan dikotomis antara teori (pengetahuan) dan praksis sosial untuk mendorong pengetahuan bebas dari pretensi kepentingan yang dinilai membuatnya tidak objektif lagi. Upaya ini disebut sebagai purifikasi pengetahuan atau pemurnian ilmu pengetahuan melalui rasionalisme-empiris yang diharapkan dapat membebaskan ilmu dari kepentingan.

Secara metodologis, sesuai dengan prinsip rasionalisme-empirisme, positivisme merobek cara pandang takhayul yang dinilai metafisik dan terbelakang seperti genealogi pikiran pra-pencerahan. Dalam perkembangannya, positivisme bekerja dengan menggeneralisasi metode pengamatan dan pemahaman antara ilmu pengetahuan alam dengan ilmu-ilmu sosial yang mana berakhirnya peran ontologi sebagai peralatan utama untuk mendeskripsikan pengetahuan dan diganti dengan cara kerja hukum alam. Pengamatan satu gejala tertentu harus dibasiskan pada satu fakta yang objektif baik secara inderawi maupun historis empiris dan memahami gejala-gejala lainnya yang saling bertaut. Kemudian kesahihan ilmu pengetahuan diukur dari hasil verifikasi yang mendorong pengetahuan seobjektif mungkin tanpa ada pengaruh fakta-fakta yang melampaui inderawi dan bebas dari kepentingan manusiawi. Secara sikap, positivisme memiliki watak tertentu yang mengakibatkan pengetahuan membeku dan dipahami secara teknis belaka. Sesuatu yang tidak mampu menghadirkan fakta secara objektif inderawi dinilai dan dianggap tidak masuk akal, seperti halnya klaim moral, pernyataan estetis, dan etika. Karena semua hal itu dianggap tidak dapat diverifikasi.

Dapat dipahami bahwa positivisme akan bersifat teknis dan statis dengan upayanya yang menegasikan dan penyangkalan terhadap fakta-fakta epistemologis tidak bisa diverifikasi. Tidak ada perbedaan dengan ilmu saintifik, positivisme menganggap bahwa ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni dan tidak memiliki nilai. Secara tidak langsung, pengetahuan itu harus dipakai untuk kepentingan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis manusia. Ilmu sosial, ilmu alam, bersifat netral dan bebas dari nilai. Dengan sikap teoritis murni yang diwarisi sebagai metodologi seolah-olah positivisme melihat bahwa tidak ada keterkaitan antara struktur dunia atau masyarakat dengan manusia sebagai objek utama yang dengan itu dapat dikatakan bahwa positivisme telah membangun dinding tebal di antara pengetahuan dan kehidupan praktis yang secara prinsip merupakan ciri dari intervensi saintisme terhadap ilmu-ilmu sosial.

Teori kritis sebagai antitesis positivisme

Berangkat dari keberhasilan dunia Eropa atau barat merumuskan satu basis pengetahuan yang mentereng seperti positivistik di dalam dunia ilmu pengetahuan bukan berarti ia sudah final dan ideal. Di dalam perkembangannya, alih-alih menghantarkan manusia dan alam semesta untuk hidup lebih bermutu, positivisme justru menggumulkan beragam anomali ketimpangan yang mendorong dirinya untuk harus direfleksi dan evaluasi. Salah satunya dengan hadirnya ilmu sosial kritis merupakan ikhtiar refleksi kritis positivisme. Teori kritis berdiri sebagai antitesis aliran positivistik yang dinilai telah melempar jauh dan membelokkan pengetahuan dari fungsi utamanya. Berbeda dengan positivisme, teori kritis dilukiskan sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektika antara filsafat dan ilmu pengetahuan tanpa adanya upaya dikotomis. Dengan itu, pengetahuan bisa bergerak secara inheren dan tidak berhenti pada fakta objektif belaka, sebagai mana dianut teori-teori positivistik. Teori kritis beranggapan untuk memahami manusia tidak bisa menyederhanakan seperti memahami alam semesta dengan rasionalisme yang bersifat statis dan matematis, tapi harus ada upaya untuk hendak menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, agar menemukan kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris.

Hadirnya teori kritis merupakan suatu refleksi diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, entah transendental entah empiris. Di dalam perkembangannya, positivisme telah menjadi teman setia bagi kehidupan sosial hingga dewasa ini yang pada akhirnya menjangkiti kesadaran masyarakat khususnya dalam konteks masyarakat industri maju. Hingga akhirnya alih-alih hidup dengan rasionalitas masyarakat modern justru tenggelam dalam keadaan ambivalensi untuk menginterpretasi kembali keadaannya yang tidak pernah berhenti menggulirkan kontradiksi dasar. Walaupun, pengkultusan rasionalitas mampu menghantar manusia sampai keadaan ideal secara taktis, disisi lain ternyata di situ pulalah manusia modern jatuh ke keadaan di mana semua berujung represif. Tanpa disadari, positivisme menggiring dan membentuk sebuah tatanan konfigurasi sosial yang represif dengan instrumentasi pengetahuannya yang bertumpu pada prinsip kerja rasional yang implikasinya ialah manusia dan alam semesta tumbuh dengan kontrol multi sektor melalui teknologi tanpa disadari melalui skema mimesis berbentuk manipulasi konsep kesadaran palsu.

Upaya positivisme untuk membekukan ilmu pengetahuan sebagai instrumen yang bebas nilai, justru bagi teori kritis membukakan corong penindasan yang lebih radikal dan represif. Pasalnya, potensi ilmu pengetahuan mengandung relevansi politis yang lebih besar pada akhirnya yang nantinya justru akan membantu melanggengkan status quo masyarakat yang timpang dengan segala macam dominasi-dominasi terhadap setiap sektor akses khususnya pengetahuan dan teknologi. Untuk alam semesta, kehadiran positivisme yang mengobjektifikasi alam dengan upaya untuk menyingkir segala hal yang irasional, positivisme justru berdiri sebagai pelaku eksploitasi dan perusakan alam terbesar. Melalui prinsipnya yang menelanjangi beragam hal yang dianggap mistis di alam semesta dan ini akan bergulir sampai kepada tahap kulminasinya, sebab karakter positivisme yang tertutup untuk dikritik bahkan untuk dirinya sendiri. Dalam diskursus tertentu juga,  maka dari itu sebagai kontra hegemoni cara berpikir positivistik teori kritis hadir untuk mengkritik dan membongkar kepentingan terselubung positivisme yang pada ujungnya penuh dengan tendensi. Itu dibidikkan ke berbagai bentuk penindasan ideologis sebagai pisau analisis untuk menghubungkan kembali pengetahuan dengan praksis melalui jalan dialog emansipatoris untuk mendiskusikan pengetahuan diruang publik agar bisa lebih organik dan bebas dari pengaruh kekuasaan.

Abdillah Akbar adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.