Proses penciptaan semesta selalu menyimpan rahasia dan berbagai kemungkinan. Gerak partikel yang pada awalnya tidak tertebak dan tidak dapat diperkirakan menjadi jelas melalui penggambaran mitos serta ilmu fisika. Dalam tradisi tersebut manusia memiliki dua garis besar konsep yaitu dualisme dan kekosongan. Positif-negatif dan netralitas menjadi salah satu metode untuk menjelaskan bagaimana semesta dapat tersusun hingga lahir matahari, bumi, dan ratusan konstelasi benda langit lainnya.
Konsep dualisme selalu mengutarakan kelahiran semesta dari pertemuan sisi satu dan lainnya. Contohnya kelahiran bumi yang disebabkan oleh gerak Yin-Yang, pertempuran Ahura Mazda-Angra Mainyu atau pernikahan Cronos dan Rhea. Dualisme juga hadir dalam bunyian genderang dua muka Siwa yang mampu menciptakan jagat sekaligus menghancurkannya. Dalam dualisme konsep kekacauan selalu berpasangan sekaligus berlawanan dengan keteraturan. Hal ini yang kemudian menghasilkan harmonisme atau dialektika dalam mitologi penciptaan.
Sementara itu, konsep netralitas atau kekosongan mengandalkan penjabaran sifat 0 (nol) dalam perjalanan terbentuknya semesta. Dalam Nishkala Siwa misalnya, dinyatakan bahwa Dewa Siwa ialah ketiadaan yang merupakan awal mula semesta. Ia tidak berbentuk dan bersifat tidak terhingga. Kealpaan ini yang kemudian menjadi asal dan tujuan akhir hidup manusia serta kontingensi yang lain. Setara dengan model fisika teoretis yang memprediksi bahwa titik sebelum Ledakan Besar tidak memiliki nilai gravitasi dan jumlah partikel yang dapat terhitung. Demikian Charles Seife mengambil kesimpulan bahwa dualisme akan selalu diawali dan diakhiri dengan netralitas. Seperti Niskala Siwa yang mengawali dentuman Damaru penciptaan dan penghancuran dunia.
Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.
- 29/03/2018
- 30/03/2018
- 08/09/2020
- 24/09/2020