fbpx

Kemenjadian “Aku” dalam paradoks identitas

Seluruh konflik identitas itu sebenarnya bukan disebabkan oleh perbedaan identitas, sebab tidak satupun manusia bisa lepas dari identitas, yang utama adalah keberadaan diri kita, memahami diri kita, dan menegaskan misi otentisitas diri kita.
Martin Heidegger di sumur dekat pondoknya
Martin Heidegger di sumur dekat pondoknya

Dalam realitas yang konkret dan semakin kompleks dari waktu ke waktu, tentu seringkali kita jatuh pada kebimbangan dan kecemasan mendalam dalam meraih pegangan untuk memahami betapa kompleksnya kehidupan; untuk memahami sebelum menjalani, untuk menyadari sebelum akhirnya bertindak. Fenomena berdatangan terus menurus bertubi-tubi menghujami eksistensi diri; jatuh cinta, patah hati, masalah keluarga, konflik masyarakat  bahkan kecemasan akan masa depan dan masih banyak lagi. ketika kita berusaha memahami fenomena yang terjadi, fenomena baru pun muncul, kemudian ketika kita memahami fenomena yang baru ini, fenomena yang baru lagi muncul. Begitu seterusnya sampai akhirnya tak satupun fenomena yang terjadi mampu selesai untuk dipahami dan dimaknai sebagai upaya menyelamatkan diri.

Sederetan fenomena yang menghujam, menyulut emosi bahkan mematahkan harapan-harapan hidup itu tak lepas dari catatan sejarah dan saksi akan dibawa kemana diri kita. Di sisi lain, proses kita memahami semua fenomena yang dialami yang sedang terjadi di lingkungan kita, tentu berbanding lurus dengan apa yang menjadi pergolakan besar dalam internal diri kita untuk memahami proses fenomena sekaligus daya pengaruh eksternal itu bekerja. Dalam penjelasan yang lain, tidak hanya dunia yang mengalami perubahan terus-menerus, tetapi kita juga mengalami hal yang sama. Hal tersebutlah yang menjadi stimulus atas reaksi yang terjadi di diri kita, begitupun jika sebaliknya kita memiliki pilihan untuk meng-kontruksi keadaan eksternal di lingkungan kita.

Dalam keadaan tersebut, kita dihadapkan dalam 2 pilihan; pertama, ketika kita memprioritaskan sepenuhnya untuk memahami sistem bekerja dalam fenomena eksternal, ketimbang memahami internal diri kita, maka situasi akan menjadi lebih rumit sebab kita pun tak tahu apa yang kita mau. Jauh daripada itu, benturan paradoks identitas dan betapa hal tersebut menjadi akar serabut yang menyebar dalam konflik yang terbentuk sebagai fenomena di tengah-tengah masyarakat.

Hakikat identitas

Menjadi suatu keniscayaan manusia memiliki dorongan natural being dan cultural being untuk berkelompok, membentuk, memobilisasi, mengkonsolidasi, bahkan membentuk suatu tatanan identitas yang formal yang kelak menjadi identitas yang melekat dipundak masing-masing dari kita, atas dasar rasa aman, kemudian menjadi kekuatan di tengah-tengah masyarakat. Perlu dilihat bahwa identitas adalah hasil konstruksi masyarakat yang entah itu hasil daripada permenungan yang panjang atas dasar kebutuhan dirinya sendiri sebagai makhluk sosial yang bergumul.

Namun, apakah label identitas itu benar-benar nyata ataukah itu adalah hal yang sifatnya rapuh sebab hanya sementara, yang dilekatkan kepada kita sejak kita lahir atau sejak dewasa dalam memilih. Menjadi sebuah hipotesa baru bahwa identitas bisa disebut sebuah hal yang sementara, sebab bisa berubah kapan saja: aliran pemikiran, ras, suku, profesi, dan bahkan agama, itu bisa berubah sewaktu-waktu kita mau dan bergerak menyadarinya.

Paradoks identitas

Dalam beberapa peristiliahan paradoks bisa kita katakan adalah hal menjadi fenomena dimana fenomena tesebut bisa menjadi benar dan salah pada saat bersamaan. Kemudian membawa diskursus identitas dalam kacamata paradoksal bahwa betapa paradoksnya identitas menjadi sebuah problematika perpecahan yang hebat, terlepas dari kacamata politik.

Meminjam beberapa istilah tokoh, kemelakatan pada identitas adalah hal yang rapuh yang sebenarnya bisa dilampaui sebab seringkali berimbas dengan pertumpahan darah, perpercahan antar daerah, hingga pedebatan aliran pemikiran yang berujung pada pembenaran tindakan atas kekerasan, hal tersebut adalah bingkai identitas yang dipersoalkan. Kemudian tak hanya kemelakatan identitas saja, identitas itu sendiri memiliki makna dan sarat akan nilai-nilai kehidupan yang luhur atas sikap militansi ataupun upaya mempertahankan simbol yang sudah menjadi pegangan. Identitas akhirnya menjadi satu persoalan paradoks sebab akumulasi dari hal tersebut sewaktu-waktu bisa menjadi bola api amarah. Mula-mula terpolarisasi dan akhirnya konfrontasi menjadi awal perpecahan.

Dalam upaya yang rasional membenarkan tindakan, perpecahan tetap menjadi  hal yang fatal dan tetap jatuh pada justifikasi yang irasional. Dengan hal yang sama, dalam upaya rasional, kita perlu membaca akar persoalan tersebut, kita bisa membangun spekulasi-spekulasi. Di dalam paradoks identitas tersebut bisa dijabarkan; Pertama, terjadi kegersangan dan betapa keringnya eksistensi pribadi di dalam konflik identitas. Itu bisa dilihat dalam betapa suburnya patronasi dalam segumulan kelompok. Kedua, fanatisme buta yang jatuh dalam dogma yang tidak diimbangi upaya rasional. Ketiga, kegagalan dalam memahami makna solidaritas yang luhur.

Kemenjadian “aku” melampaui identitas

Hidup adalah pelemparan menuju pelemparan yang lain;  manusia  dilemparkan masuk ke dalam identitas yang kerap kali minim kesadaran. Faktor historisitas yang menjadi dasar tergolongkannya manusia dalam satu golongan dengan golongan yang lain. Dalam kepelikan konflik identitas yang menjadi potret kegersangan eksistensi manusia, bingkai filsafat eksistensialisme bisa kita pakai dalam kerangka teoritis memandang satu persoalan tersebut.

Historisitas menjadi poin utama ialah subjek dan predikat, Heidegger menganggap bahwa manusia hidup tak lepas historisitasnya yang sangat lekat dengan temporalitas atau waktu (Richardson, 1974: 86). Maka baginya,eksistensi manusia menjadi tiga susunan: masa lalu, masa kini, dan masa depan.  Demikian identitas hadir menjadi bayang-bayang di antara ketiga hal tersebut, dimensi keterikatan masa lalu selalu berkait-kaitan dengan masa sekarang, begitu pula dengan masa depan. Demikian Heidegger menyebut Dasein ada di atas temporalitas, membuka kesadaran dan kemungkinannya untuk tetap “Ada”, dengan posisi filosofisnya sebagai pengendali menuju keberadaan “Aku” itu sendiri.

Pada persoalan kemelakatan ini, konflik identitas menjadi alasan mendasar untuk melampaui identitas itu sendiri, namun di sini tidak sama sekali ada upaya menghasut untuk melepaskan identitas, hanya saja dorongan untuk melampauinya, dengan bersandar sepenuhnya pada identitas adalah upaya membunuh keberadaan diri sendiri.

Kemenjadian “Aku” menjadi satu-satunya tawaran atas refleksi pemikiran Heiddeger menanggapi konflik identitas, namun terlepas daripada itu sangat diperlukan adanya ide cita-cita politik perihal melampaui identitas. Demikian dengan upaya kemenjadian aku sebagai bentuk melampaui identitas, dengan kata lain pertama, diperlukannya misi otentisitas dalam setiap apa yang dijalani, sehingga keotentikan diri tetap hidup sebagai dirinya sendiri di dalam identitas. Kedua, perlunya tindakan atau upaya mentransendensikan diri melalui kesadaran intensional atau keterarahan kesadaran atas kebabasan memilih pegangan hidup yang ada pada diri kita dengan tanggung jawab penuh.

Dengan demikian, seluruh konflik identitas itu sebenarnya bukan disebabkan oleh perbedaan identitas, sebab tidak satupun manusia bisa lepas dari identitas, yang utama adalah keberadaan diri kita, memahami diri kita, dan menegaskan misi otentisitas diri kita. Maka identitas dan gersangnya eksistensi diri bukan lagi sebuah persoalan yang menjadi konflik di tengah-tengah masyarakat.

Referensi

Richardson, William J., SJ., 1974, Heidegger, Through Phenomenology to Thought, third edition, Martinus Nijhoff, Netherlands

Reza Nur Taufiq
Reza Fauzi Nur Taufiq

Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content