Herbert Marcuse: Membongkar Konsumerisme Masyarakat

Konsumerisme tidak hadir begitu saja atas dasar kecerobohan masyarakat yang kemudian ditata oleh media, promosi, diskon, dan daya tarik lainnya hingga menjadi suatu budaya di dalam masyarakat, yang pada akhirnya menggeser cara pandang masyarakat dalam memandang sekaligus membedakan mana yang sebenarnya adalah kebutuhan atau keinginan.
herbert marcuse

Era milenial dan juga populer saat ini tentunya tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan juga perkembangan teknologi yang semakin pesat. Konon, teknologi berkembang dalam perkembangannya per-8 jam secara konsisten. Dalam kaitannya dengan budaya konsumerisme masyarakat, tersebut kehadiran media massa sebagai jembatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan diri untuk menjalani hidup dalam kesehariannya, dan tentunya kecenderungan masyarakat masa kini yang lebih materialistis

Jauh sebelum kita membongkar budaya konsumerisme, masyarakat masa kini pun hidup berdampingan secara langsung dengan teknologi yang secara eksistensial sudah “melebur”. Bisa dibilang secara ontologis, kedudukan manusia masa kini atau human dan techno kini sukar untuk dipisahkan, dan itu tidak bisa dinafikan. Realitas media pun saat ini sudah menjadi realitas yang telah berjalan secara otentik. Manusia masa kini dalam kecenderungan konsumtifnya merupakan hasil dari persilangan budaya pop dan teknologi, yang selanjutnya membentuk gaya dan pola hidup. Maka, bisa dikatakan bahwa keautentikan manusia saat ini telah menjadi hal yang berjarak atau dikotomi.

Saat-saat ini pun kita bisa memaknai kehidupan yang sebenarnya tanpa terlepas dari kegiatan konsumsi. Namun, menjadi persoalan jika kemudian kegiatan konsumtif itu didasari atas cara pandang konsumerisme tanpa disadari, yang pada gilirannya menggerus keautentikan diri hingga jatuh pada kesukarelaan perbudakan kapitalistik.

Tapak Tilas Herbert Marcuse

Herbert Marcuse lahir di tanah Berlin, Jerman pada tanggal 19 Juli 1898. Ia terlahir sebagai anak laki-laki dari kedua orang tua yang menganut keimanan Yahudi. Ia pun hidup sebagaimana selayaknya seorang Yahudi di Jerman. Marcuse pernah mengambil bagian dalam dunia militer sebagai prajurit Jerman, ia pun terlibat dalam perang dunia pertama.

Selepas itu, ia pun masuk menjadi anggota Partai Sosial-Demokrat sejak tahun 1917 hingga 1918. Tetapi perjalanan baru menyambut Marcuse, ialah dengan meninggalkan partai politik praksis selepas menuliskan pemikiran marxian radikal, Karl Liebknecht dan Rosa Luxemburg.

Selain itu, Marcuse juga menjalani pendidikan kuliah dan belajar di filsafat di Universitas Berlin, Freibug im Breisgau. Gelar doktornya diraih pada tahun 1923 dengan disertasi di bidang kesusasteraan. Pada tahun 1923-1928, Marcuse bekerja dalam pendistribusian atau penjualan buku sekaligus penerbitan (Bertens, 1983: 197).

Marcuse menjalin kedekatan dengan pemikiran Edmund Husserl dan Martin Heidegger dalam rangka melanjutkan kembali studi di Freiburg di bawah bimbingan, Heidegger dalam studi Ontologi Hegel dan Pendasaran suatu teori tentang Historisitas. Maka benar jika Marcuse dikatakan memiliki garis pemikiran yang sangat dipengaruhi Heidegger dan Husserl. Pada akhirnya Marcuse tidak lagi dekat dengan kedua gurunya, karena Marcuse terlalu kiri di mana ia menaruh simpati tinggi terhadap Marxisme.

Jejak Marcuse dalam wacana Marxisme tidak berhenti di situ saja. Pada tahun 1933 di bawah arahan Husserl, Marcuse masuk dan diterima sebagai bagian dari Institut Penelitian Sosial (Institut fur Sozialforschung) atau kerap kali disebut sebagai Mazhab Frankfurt.

Nuansa pemikiran Marcuse menempatkannya sebagai kritikus perkembangan masyarakat industri modern saat itu. Marcuse melihat perkembangan industri telah menjadi anugerah sekaligus malapetaka bagi masyarakat. Hal ini disebabkan karena sistem industri tidak mudah untuk dipecahkan dan konsekuensi dari hal tersebut menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia.

Marcuse meninggal pada tanggal 29 Juli 1979 di Stanberg, dekat Munchen, Jerman (Bertens, 1983: 198). Marcuse mendedikasikan dirinya dan segenap pemikirannya pada aliran filsafat kontemporer yang dibangun di atas filsafat Marx. Sejalan dengan itu filsafat Marx yang menjadi alat analisisnya digunakan oleh para pelajar untuk menguliti dan membongkar peningkatan pola kapitalistik di masyarakat modern yang semakin sakit, berdimensi tunggal, totaliter, menindas, dan menekan.

Konsumerisme

Setiap manusia memiliki aspek naluriah yang sangat mempengaruhi pola tingkah laku dirinya. Manusia pun saat ini, mempunyai dorongan-dorongan tertentu yang terangkum dalam kecenderungan masyarakat konsumtif. Dorongan-dorongan tersebut jika diuraikan ialah aspek kebahagiaan, kebutuhan, dan kesenangan. Setiap upaya untuk memenuhi ketiga aspek tersebut sama-sama memiliki imbasnya masing-masing, sedari hal yang paling baik hingga malapetaka.

Kesadaran aktif manusia sangat diperlukan dalam hal ini, terutama dalam kegiatan konsumsi yang memang dilatar belakangi dari macam-macam aspek. Idealnya, tanpa media apa pun masyarakat sebenarnya secara naluriah mampu menentukan secara mandiri kebutuhannya. Selama mereka memiliki pemasukan atau kondisi finansial yang cukup maka mereka pun bisa mencukupi kebutuhannya sesuai dengan daya finansial yang dimiliki. Namun, persoalan lebih lanjut adalah bahwa masyarakat masa kini sudah terkapitalisasi oleh sistem yang berwujud pada beragam hal, yang kemudian mempengaruhi manusia untuk menjauh dari titik kritis kesadarannya ketika melakukan kegiatan konsumsi guna kelancaran pasar kapital.

Konsumerisme bisa juga dibahasakan sebagai sikap berbelanja yang secara tidak langsung mendegradasi kesadaran kritis manusia tanpa disadari, dan  hal ini merupakan hasil dari hegemoni media sebagai wadah paling masif seperti promosi, diskon, dan lain sebagainya. Hal ini bisa ditandai dari perilaku boros dalam berbelanja tanpa mempertimbangkan apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang menjadi hal yang sebenarnya bukan kebutuhan.

Hal ini pun sudah menjadi kesukarelaan perbudakan yang digambarkan melalui rasionalitas publik. Manusia melakukan hal yang sebenarnya ialah irasional namun kemudian dirasionalkan. Sikap konsumerisme sudah dijadikan alasan sekaligus landasan masyarakat populer. Hal tersebut dibangun di atas upaya manusia yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, hingga tidak adanya skala prioritas dalam berbelanja.

Media dan Instrumen Kebutuhan Palsu

Jauh sebelum membahas bagaimana media menjadi instrumental masyarakat kapitalis, perlu dipahami apa yang melatar belakangi hal tersebut. Dalam gagasan Marcuse, ia melihat bahwa pergeseran pola masyarakat dari logos menuju teknologos adalah hal yang sebenarnya merupakan politia. Hal ini terjadi karena perilaku manusia didomplengi oleh perubahan pola kapitalistik melalui dominasi teknologi pada masyarakat populer menuju masyarakat kapitalis dalam industri maju.

Jean Baudrillard dalam bukunya Consumer Society (1998),ikut merasakan keresahan yang sama dalam perkembangan teknologi yang merebak dalam masyarakat populer. Bahwa perkembangan teknologi dan media telah memicu manusia jatuh pada maraknya godaan media dengan penawaran kemudahan, kesenangan, dan kenikmatan yang dibungkus oleh teknologi dan informasi. Ia mampu membaca hal ini sebagai upaya pengiringan manusia melalui media agar terpenjara dalam masyarakat yang konsumtif.

Salah satu yang mendalami pemikiran Marcuse ialah Valentinus Saeng. Ia mengatakan bahwa kebutuhan palsu tersebut tidak sukar untuk dikenali, sebab hal ini hadir di dalam realitas nyata kita dalam menjalani kehidupan (Saeng 2012 : 257).

Lebih spesifik lagi, konsumerisme adalah hasil dari konstruksi. Ia tidak hadir begitu saja atas dasar kecerobohan masyarakat yang kemudian ditata oleh media, promosi, diskon, dan daya tarik lainnya hingga menjadi suatu budaya di dalam masyarakat, yang pada akhirnya menggeser cara pandang masyarakat dalam memandang sekaligus membedakan mana yang sebenarnya adalah kebutuhan atau keinginan. Dan di sinilah Baudrillard dalam konsep hyper-realitas  (Baudrillard, 1998:2) menduga bahwa yang terbentuk dalam masyarakat masa kini ialah kebutuhan paslu. Relevansi ini bisa kita lihat melalui merebaknya iklan yang terselip dalam simulacra, ialah kemampuan informasi dalam membangun image hingga berbuah pada pikiran baru pada masyarakat, seperti, gaya hidup dan juga sikap konsumtif masyarakat populer.

Referensi

Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia

Baudrillard, Jean. 1998. The Consumer Society: Myths and Structures. London, England: Sage

Saeng, Valentinus CP. 2012. Herbert Marcuse, Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content