fbpx

Kiri Islam: Pandangan tentang Imperialisme dan Kedigdayaan Barat

Wacana Kiri Islam Hasan Hanafi menjadi tawaran ide dan solusi untuk memecahkan masalah yang dihadapi Islam.
Fetching Water karya Leopold Carl Muller
Fetching Water karya Leopold Carl Muller

Sebagai sebuah agama yang diyakini lahir paling terakhir, Islam merupakan agama yang cakupannya menyeluruh. Dari urusan privat hingga publik, dari urusan regional hingga global menjadi cakupan doktrinnya. Hal ini yang di kemudian hari menjadi tagline besar Kamil dan Syamil. Menuju kesempurnaan dan menuju keseluruhan. Bahkan pada abad ke duapuluh, pada sisi yang lain Islam diteorikan sebagai “Kiri”.

Ajaran Islam awal yang dibawa Adam hingga Islam paripurna yang dibawa Muhammad adalah “Ajaran Kiri”. Ajaran Kiri di sini diartikan sebagai ajaran praksis selalu memberontak terhadap tatanan-tatanan sosial yang menindas dan diskriminatif. Para Nabi pembawa Islam adalah hamba-hamba kebenaran yang berjuang dengan sepenuh jiwa demi membela kesetaraan sosial. Doktrin Kiri yang dimaksud di sini yaitu gerakan melawan penindasan. Islam yang dibawa Nabi Muhammad pun juga memberontak dari tatanan sosial, yaitu memberontak dari penindasan kaum Quraisy untuk meraih kebebasan dan keadilan.

Ajaran Islam mengenai tauhid dan pengabdian kepada Tuhan bukan suatu seruan religius seperti seruan konvensional yang biasa dikenal. Ia adalah seruan untuk melaksanakan revolusi sosial. Seruan tersebut secara langsung menyerang sistem kelas yang memperbudak manusia dengan tujuan mengakhiri dominasi sistem-sistem yang dianggap tidak Islami, baik dalam bidang akidah, sosial, ekonomi, dan politik.

Melalui beberapa kejadian dan semangat yang diperjuangkan tersebut maka yang dimaksud dengan Kiri Islam adalah kiri dalam pemikiran dan produk-produknya, termasuk produk pemikiran klasik yang biasa disebut Turats, dan dalam perilaku umat Islam yaitu para penguasa, rakyat dan kaum intelektualnya sepanjang sejarah mereka.

Hassan Hanafi menjadi cendekiawan Mesir yang menyerukan gerakan pembaharuan sebagai pemikir revolusioner. Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasar Al-Islami: Kitabat fi an-Nahdhah al-Islamiyyah (Kiri Islam: Beberapa esai tentang kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Esai pertama jurnal itu berjudul “Apa arti Kiri Islam?” Hassan Hanafi mendiskusikan beberapa isu penting berkaitan dengan kebangkitan Islam.

Sebagai salah satu pemerhati Islam kontemporer Hasan Hanafi mencoba menawarkan konsep tentang masyarakat Islam. Menurutnya masyarakat Islam dibentuk dari penguasaan dan pengembangan wacana keilmuan dalam menopang wawasan kehidupan yang progresif. Artinya pemikiran Hanafi diorientasikan pada pembentukan paradigma baru, yaitu dengan melontarkan pembebasan berpikir dan bertindak atas belenggu sosial yang ada dalam masyarakat Islam. Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam;

Pertama, Revitalisasi Tradisi Islam. Kata “tradisi” yang diambil dari kata alturats berasal dari penggunaan orang-orang modern di bawah pengaruh pemikiran Barat, sebagai terjemahan tidak sadar dan tidak langsung terhadap kata-kata seperti legacy, heritage, Uberlieferung sebagai sesuatu yang menunjukkan akhir sebuah periode dan permulaan periode yang lain.

Turats menurut Hanafi dapat ditentukan dalam berbagai level. Ia dapat kita temukan dalam berbagai bentuk tulisan, buku, manuskrip, atau lainnya yang tersimpan di perpustakaan atau tempat-tempat lain. Turats dapat pula ditemukan dalam rupa konsep-konsep, pemikiran, dan ide-ide yang masih hidup dan hadir di tengah realitas. Kategori pertama lebih bersifat materialistik sedangkan yang kedua lebih bersifat abstrak. Setiap tradisi mengusung semangat zamannya, mencerminkan tahap perjalanan sejarah, ia bisa berubah-ubah dan berganti-ganti, dan terbentuk sesuai generasi dan tantangan yang ada pada zamannya.

Turats dalam pandangan Hanafi dianggap sebagai nuqthah al-bidayah (starting point) dalam melakukan upaya tajdid. Sedangkan nilai turats itu sendiri diukur dengan kredibilitasnya dalam menawarkan teori praktis yang menafsirkan serta menyikapi suatu realitas dan sekaligus mengembangkan teori tersebut. Jadi, dalam upaya pembaharuan yang dicetuskan Hanafi dimulai dari tradisi itu sendiri, tidak dari “yang lain‟. Konsentrasi Hanafi dalam pembaharuan terletak pada tradisi umat Islam.

Turats bukanlah museum pemikiran yang dapat semata-mata dapat dibanggakan tanpa melalui sebuah perspektif dan proses. Bukan pula sesuatu yang berada di hadapan tempat berdiri dan dengan rasa bangga mengajak dunia untuk bersama-sama melihat dan mengembara dalam pemikiran. Akan tetapi turats merupakan suatu teori untuk aksi dan membimbing moral, serta merupakan aset bangsa yang dapat disingkap dan dieksploitasi serta dikembangkan guna merekonstruksi manusia dan hubungannya dengan alam sekitar.

Turats bukan semata-mata warisan yang bersejarah layaknya benda dalam museum. Ia harus dilihat dengan perspektif baru. Akan tetapi, turats tetap menjadi pandangan hidup bangsa yang mampu menjadikan manusia mengembangkan dirinya lebih baik lagi. Beserta mampu memanfaatkan alam seperti ajaran yang diyakini Islam bahwa tugas manusia di bumi adalah sebagai khalifah yang mampu mengelola alam dengan baik.

Kedua, Oksidentalisme. Dalam ranah akademik Hanafi secara khusus telah menuliskan wacana ini dalam sebuah buku “Muqadimah Fi ‘Ilm al-Istghrab” yang dalam terjemah bahasa Indonesia Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat. Secara sederhana Oksidentalisme adalah lawan dari Orientalisme. Wacana ini bertujuan untuk menantang peradaban Barat. Hanafi memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejarahan kaya. Hanafi mengusulkan “Oksidentalisme” sebagai jawaban “Orientalisme” dalam rangka mengakhiri mitos kedigdayaan peradaban Barat. Oksidentalisme sangat penting untuk membangun sikap kritis setiap muslim dalam menghadapi setiap kemajuan dan serangan kebudayaan yang mayoritas berasal dari Barat.

Bagi Hanafi, Oksidentalisme merupakan wacana yang muncul untuk memberikan kemampuan kepada muslim dan lainnya untuk kembali menangkap pengetahuan rasional umat manusia dan dunia yang telah dikaji oleh Eropa dan Amerika sejak abad ke-16. Setidaknya Oksidentalisme bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan diri bangsa Timur.

Ajakan Hanafi untuk mempelajari dan mengembangkan Oksidentalisme seperti itu merupakan ajakan untuk menyikapi Barat sebagai objek studi, ajakan untuk mengubah sikap dan kedudukan dari objek pasif menjadi subjek aktif. Ajakan untuk menghilangkan mental penakut dan “pantas dijajah” (qabil li al-isti’mar) untuk diganti dengan mental pemberani, percaya diri dan selanjutnya perasaan punya harga diri. Ajakan untuk memperkecil dan mempersempit lahan dominasi Barat, untuk selanjutnya menghilangkan sama sekali. Ajakan-ajakan tersebut merupakan ajakan pembebasan dari hegemoni kultural dan superioritas Barat.

Oksidentalisme Hanafi merupakan upaya penyadaran dan penegasan bahwasannya Barat, termasuk sejarah dan peradabannya bukanlah peradaban dunia. Tidak ada alasan untuk menyatakan hal itu, apalagi memaksakan nilai-nilai peradaban Barat. Oksidentalisme merupakan penyadaran bahwa Barat tidak lain hanyalah fenomena khusus, dalam kondisi khusus dan cakupan wilayah yang khusus pula. Peradaban Barat adalah peradaban regional Eropa yang secara gencar dan pongah menyatakan diri sebagai peradaban mondial.

Ketiga, Sikap terhadap realitas dunia Islam. Kiri Islam mencurahkan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini yakni imperialisme, zionisme dan kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan yang merupakan ancaman internal.

Imperialisme menjadi isu penting yang dihadapi oleh dunia Islam. Dalam bidang ekonomi, imperialisme saat ini muncul dalam korporasi multinasional. Sementara di sektor budaya, munculnya dalam bentuk pembaratan yang merupakan upaya pembunuhan terhadap semangat kreatifitas bangsa dan mencabut mereka dari akar-akar kesejarahan. Secara militer, imperialisme mewujudkan diri dalam bentuk pangkalan militer asing yang hadir di seluruh dunia Arab. Hanafi mengingatkan bahwa jangan berharap dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan mendambakan kemajuan jika belum memiliki sikap rasional, karena ilmu merupakan kelanjutan dari akal. Menurutnya akal merupakan petunjuk bagi hidup ijtihad umat muslim. Ijtihad yang perangkat utamanya adalah akal merupakan jalan menuju kemajuan atau seperti dikatakan Iqbal, merupakan dasar kebangkitan Islam. Kebebasan dan demokrasi di negara-negara muslim merupakan syarat utama bagi proses modernisasi (tahdits), dan modernisasi merupakan syarat utama bagi perubahan dan rekonstruksi struktur sosial.

Wacana Kiri Islam Hasan Hanafi menjadi tawaran ide dan solusi untuk memecahkan masalah yang dihadapi Islam. Kondisi umat Islam pada zaman Hanafi hidup (atau mungkin hingga saat ini) cenderung menurun, apalagi jika dibandingkan dengan generasi pertama. Hal ini dikarenakan jumudnya pikiran umat Islam karena menganggap warisan (turats) dari para pendahulu adalah yang terhebat dan tidak mungkin ada yang mampu menandinginya. Padahal dalam realitasnya umat Islam sekarang tertinggal jauh dari bangsa-bangsa yang lain.

Umat Islam mampu menantang bangsa-bangsa lain apabila segera menggerakkan semangat kebangkitan. Ia harus bersikap kritis terhadap realitas zaman yang berubah secara drastis. Sikap kritis terhadap realitas zaman adalah suatu hal penting yang harus dilakukan. Hasan Hanafi mengajak untuk kembali mengkaji dan mengkritisi pemahaman tradisi (turats) yang kaku dan saklek.

Daftar Pustaka

Badruzaman, Abad. 2005. Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Chirzin, Muhammad. 2001. Jihad Menurut Sayyid Qutub dalam Tafsir Zhilal. Solo: ERA Intermedia

Hanafi, Hassan. 2000. Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina.

Hanafi, Hassan. 2015. Studi Filsafat 1: Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer. Yogyakarta: LkiS.

Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, terj. Imam Aziz dan Jadul Maula. Yogyakarta : LKiS.

Woodward, Marx, dkk. 2002. Post Mu’tazilah: Genealogi Konflik Rasionalisme dan Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: IRCiSoD

Djoko Santoso
Djoko Santoso

Lulusan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Peminat kajian keislaman dan budaya.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content