Konsep naturalisasi filsafat yang diusung oleh Al-Ghazali memberi kontribusi besar dalam khazanah filsafat Islam. Sistem pemikiran yang dibawakannya memiliki elemen-elemen yang membangun serta memiliki makna yang mendalam dalam membumikan filsafat. Sehingga, filsafat tidak tampak lagi wujud aslinya yang kerap disangka radikal. Konsep naturalisasi filsafatnya membawa sistem filsafat untuk masuk ke dalam dimensi keislaman.
Al-Ghazali ialah sosok pemikir Islam yang diakui pemikirannya secara sistematis oleh pengkajinya di seluruh dunia, baik Timur maupun Barat dalam khazanah keilmuan Islam. Menurut Frank Griffel, pemikirannya banyak menjadi sorotan dan rujukan oleh sarjana Barat, khususnya dalam pemikiran filsafat dan kritikannya terhadap filsafat pada kitab karya Al-Ghazali (tahafut falasifah).1 Selain itu, ia juga sering dikenal dengan sebutan Al-Imam, Hujjatul Islam, Zainul ‘Abidin, ‘Ajubah Az-Zaman, dan Al-Bahr. Karya-karyanya begitu populer di kalangan pengkaji Islam seperti Al-Munqiz Min Al-Dholal, Tahafut Al-Falasiah, Bidayatul Bidayah, Minhajul ‘Abidin, Ihya Ulumuddin dan masih banyak lagi.
Pergerakan pemikiran Al-Ghazali yang dikenal sang ‘hujjatul Islam’ ini tidak begitu mulus dalam khazanah keilmuan Islam. Anggapan yang dilontarkan kepadanya begitu pedas, seperti Ernest Renan seorang sejarawan dan filsuf dari Paris yang mengatakan bahwa Al-Ghazali-lah orang yang menentang pemikiran rasional dalam Islam. Menurut Renan, problem filsafat muncul dalam dunia Islam saat itu berawal dari ungkapan ‘pengkafiran’ Al-Ghazali terhadap filsafat.
Para pengkaji filsafat yang memberikan penilaian negatif terhadap relasi antara Al-Ghazali dengan filsafat di antaranya adalah Solomon Munk dan Ernest Renan. Adapun yang menyebutkan bahwa Al-Ghazali itu ‘musuh filsafat’ di antaranya seperti, Ghazali Munir, Mas’udi, Ahmad Atabik dan Jamhari. Akan tetapi, sebenarnya, ungkapan pengkafiran Al-Ghazali terhadap filsafat ialah pada dimensi keilmuan, bukan pada ranah teologi.
Solomon Munk mengatakan, bahwa Al-Ghazali “menikam filsafat yang membuatnya tidak pulih lagi di Timur,” yang ia tujukan tentu saja adalah karya Al-Ghazali Tahafut Falasifah yang isinya mengkritik teori kausalitas. Hal ini menjadi penting untuk diketengahkan bahwa karya Tahafut Falasifah yang dominan di anggap sebagai sebab filsafat dalam dunia Islam runtuh. Sebenarnya, bukan berarti Al-Ghazali mengkritik habis filsafat dalam karyanya tersebut. Namun, merujuk pada wahyu, ia mengkritik filsafat yang dianggap telah keluar dari dimensi keislaman, sehingga tidak dapat diterima lagi isinya dan bahkan pengkajinya dianggap telah murtad dari Islam.
Majid Fakhry memandang kritikan Al Ghazali dalam karyanya A History of Islamic Philosophy, kritik Al-Ghazali terhadap filsafat Islam ialah sebagai bagian dari konflik inheren antara filsafat dan dogma dimana dapat diduga, Ibn Sina dan Al-Farabi merepresentasikan tradisi filsafat dan rasionalisme, sementara Al-Ghazali menjadi representasi atas dogma.2
Ada tiga kritikan pedas Al Ghazali terhadap filsafat dalam kitab Tahafut Falasifah yang menjadi buah manis oleh para pengkaji Al-Ghazali mengatakan bahwa ia merupakan ‘musuh filsafat; Pertama, teori eternitas (qadimnya) alam semesta. Kedua, pengetahuan tuhan yang bersifat universal. Ketiga, mustahilnya jiwa kembali pada tubuh (jasmaninya).
Perjumpaan Al-Ghazali dengan tradisi filsafat merupakan perjumpaan yang kritis, bukan oposisional, di mana anasir-anasir filsafat yang dipandang keliru dan lemah dikritisinya, sementara anasir-anasir lainnya yang dipandang valid dan demonstratif diadopsi dan diadaptasi ke dalam sistem pemikirannya.3 Sehingga memunculkan operasi pemikiran baru yang menjadi sebab atas pengadopsian sistem filsafat ke dalam dunia Islam. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa gagasan naturalisasi filsafat Al-Ghazali itu sebenarnya terjadi, dan menjadi kemajuan atas perhelatan pemikiran dalam Islam.
Namun, di samping tiga penolakan tersebut, Al-Ghazali juga mencoba untuk mengintegrasikan konsep-konsep filosofis tertentu ke dalam pemahaman Islam. Konsep “naturalisasi filsafat” ini bertujuan untuk membawa filsafat ke dalam budaya (dimensi) Islam dengan cara yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Bagi Al-Ghazali, filsafat bukanlah sesuatu yang negatif atau berlawanan dengan Islam, namun ia menyatakan bahwa pandangan-pandangan filsafat harus dipahami dan disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam. Konsep naturalisasi filsafat inilah mengusulkan bahwa filsafat harus diartikan ulang agar sesuai dengan pandangan dunia Islam.
Lebih dalam lagi, kita perlu mengupas proses kreativitas Al-Ghazali dalam menggeluti disiplin filsafat. Terdapat tiga proses yang kemudian menghasilkan naturalisasi filsafat ke dalam dunia Islam. Pertama, apropriasi yaitu Al-Ghazali melakukan penerjemahan dan pensyarahan terhadap karya-karya filsafat, proses ini kemudian menghasilkan karya berupa kitab Maqashid Falasifah. Kedua, kritik terhadap filsafat, proses ini menghasilkan karya Tahafut Falasifah. Ketiga, Naturalisasi, yaitu ia menggunakan metode filsafat yang dipribumisasikan secara sederhana ke dalam ruang pemikiran Islam agar wujud asingnya tidak lagi terasa, inilah yang kemudian menghasilkan karya berupa kitab Ihya Ulumuddin.
Jadi, Al Ghazali itu tidak menghilangkan ataupun menghabisi dengan mengkritik filsafat. Akan tetapi, ia ingin membuka peluang bagi filsafat untuk masuk ke dalam ranah keislaman. Konsep inilah yang bertujuan untuk membawa filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai atau kultur Islam. Jika tidak memakai filsafat, manusia tidak bisa menjangkau dan nantinya akan susah dalam membedakan antara malaikat, jin, dan tuhan.
Akal (rasio) membantu Al Ghazali untuk berpikir secara sadar, yang mana dalam konsep tasawufnya secara tidak langsung memiliki unsur tasawuf yang sadar. Seperti dalam petikan kitab Ihya Ulumuddin tentang kausalitas menjelaskan;
“Bila Engkau mengharap Allah membuatmu kenyang tanpa roti, atau membuat roti bergerak kepadamu, atau memerintahkan malaikat untuk mengunyahkannya buatmu dan menyaksikannya pindah ke dalam perutmu—itu hanya akan memperlihatkan kebodohanmu saja tentang tindakan-Nya!”
Al-Ghazali, Ihya’, 4: 249
Petikan pesan tersebut memberitahukan kepada kita untuk sadar dalam menjalani kehidupan dan gunakanlah akal sebagai suatu bentuk kinerja atas diri kita. Bukan sekadar menunggu hal bodoh untuk nantinya menjadi pintar.
Dari beberapa uraian di atas Apakah dengan adanya kritikan pedas terhadap tokoh besar tersebut mengakibatkan perhelatan pemikiran Islam mengalami kemunduran? Atau malah disiplin keilmuan Islam kembali pada titik peradaban keilmuan baru dan cemerlang yang dibawakan oleh Al-Ghazali, yaitu melalui gagasan naturalisasi filsafat ke dalam dunia Islam, sehingga filsafat dapat diterima oleh khalayak umum? Dengan hal ini, kita dapat mengetahui apakah Al-Ghazali merupakan sosok penghancur filsafat atau menaturalisasikan filsafat ke dalam dunia Islam.
Dalam pandangan Al-Ghazali, ada beberapa konsep filsafat yang dapat diterima oleh Islam, seperti konsep-konsep tentang logika, epistemologi, dan etika, untuk dapat diadopsi ke dalam sistem pemikiran Islam. Di balik itu, ia menolak pandangan-pandangan yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti pandangan bahwa alam semesta abadi atau bahwa Tuhan tidak terlibat dalam kehidupan manusia. Karena pandangan tersebut telah keluar dari dimensi keislaman.
Dalam memperkenalkan konsep naturalisasi filsafat ini, Al-Ghazali berharap agar filsafat dapat diintegrasikan dengan ajaran Islam dan memberikan kontribusi yang positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran Islam. Konsep ini juga mencerminkan pandangan Al-Ghazali bahwa agama dan filsafat seharusnya saling melengkapi satu sama lain, bukan bertentangan.
A. Anjasyah
Pengkaji Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Catatan
- Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (New York: Oxford University Press, 2009), hlm.5.
- Majid Fakhry, “A History of Islamic Philosophy”, 3rd edition (New York: Columbia University Press, 2004), 223-239.
- Assyabani, Ridhatullah. “Naturalisasi Filsafat Islam dalam Pemikiran al-Ghazali.” Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora 18.2 (2020): 243-260. https://dx.doi.org/10.18592/khazanah.v18i2.3563