Kritik terhadap Teori dan Pengetahuan

Dengan mengetahui sikap dan peran filsafat dan Jurgen Habermas terhadap teori, kita dapat menginisiasi diri pribadi untuk memperoleh pengetahuan sebagai pegangan dalam menjalani kehidupan dengan upaya yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kritik Terhadap Ilmu Pengetahuan credit The Conversation
Kritik Terhadap Ilmu Pengetahuan credit The Conversation

“Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas” yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2004 oleh penerbit Buku Baik dapat dikatakan merupakan karangan terbaru dari karya lama Fransisco Budi Hardiman dengan judul “Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan” yang pertama kali terbit tahun 1990. Dalam buku tersebut, penulis membahas reaksi Habermas terhadap modernitas dengan mencari jalan keluar baru untuk melanjutkan perkembangan modernitas dengan paradigma baru.

Karena memang subjek utama buku tersebut adalah tentang Habermas dalam menyikapi teori terhadap modernitas, yang mana pemikiran Habermas sulit untuk dicerna, sehingga perlu diketahui latar belakang permasalahan, gagasan utama yang dibahas, dan bahasa yang dipakai terlebih dahulu. Hal tersebut dimaksudkan agar diskusi mengenainya dapat berjalan lancar dan tidak terhambat oleh pengulangan pengertian. Perkara baik juga turut menyertai pembahasan dalam buku tersebut yaitu apabila berhasil mengatasi kesulitan pertama tadi, maka dalam membaca karangan Habermas akan teramat mengasyikkan. Karena akan semakin terpesona oleh fokus yang menyatukan pencarian sebuah teori yang secara memadai merumuskan syarat-syarat nyata perwujudan suatu masyarakat yang bebas dari penindasan, dalam arti lain adalah ia hendak mengembangkan sebuah teori kritis.

Beberapa hal yang mungkin akan membantu dalam membahas perihal Habermas antara lain1:

  1. Habermas tidak pesimis dalam berfilsafat, ia tidak mengambil alih kecurigaan terhadap teknologi dan teori ilmu pengetahuan modern;
  2. 2) Habermas menganggap teknik dan ilmu pengetahuan sebagai tenaga produktif penting dalam era modern sekarang ini.

”Represi atas kepentingan termasuk bagian dari kepentingan itu sendiri.” – Jurgen Habermas

Peran Filsafat dalam memandang Pengetahuan

Pertama, diawali dari pemikiran Yunani kuno terhadap pengetahuan. Dalam pemikiran Yunani kuno, pengetahuan diperoleh dan dimaksudkan untuk mencapai cita-cita etis manusia, seperti kebaikan, kebijaksanaan, dan kehidupan sejati baik secara individual maupun kolektif. Dengan pengetahuan tersebut, manusia memperoleh arah yang jelas dalam bertindak secara tepat. Masih dalam pemikiran Yunani kuno, terdapat satu istilah yaitu bios theoretikos2 yang merupakan suatu upaya untuk mengarahkan dan mendidik jiwa dengan membebaskan manusia dari belenggu doxa (doxa: pendapat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan) sehingga manusia dapat mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup. Ada pula istilah lain, yaitu katharsis3 yang dimaknai sebagai pembebasan diri dari perasaan dan dorongan fana yang berubah-ubah.

Dengan demikian, teori atau pengetahuan memiliki kekuatan emansipatoris (emansipatoris: ihwal yang dapat membebaskan sesuatu dari belenggu perbudakan atau kerumitan). Kedua, dalam masyarakat Yunani, pengetahuan bersifat demitologistis terhadap pemikiran- pemikiran mistis. Seiring perkembangan pengetahuan dalam masyarakat Yunani, terkhusus bagi para filsuf, teori diartikan sebagai ’kontemplasi atas kosmos’. Mereka memandang alam semesta sebagai suatu tertib pengetahuan atau hukum alam yang tidak berubah-ubah, hal demikian mendapat istilah baru dengan sebutan macrocosmos. Dengan makrokosmos tersebut, manusia dapat senantiasa menggali teori dan pengetahuan lebih jauh tanpa meninggalkan tanggung jawab moral dalam tindakan perolehannya itu.

Tatanan kosmos yang harmonis itu merupakan keadaan baik dan pengetahuan dimungkinkan untuk diwujudkan dalam praksis kehidupan manusia. Para filsuf dalam perkembangan tersebut berkehendak untuk menerapkan pemahaman konseptual pada berbagai situasi hidup manusia. Untuk merealisasikan pemahaman demikian, teori-teori harus dimurnikan dari unsur-unsur yang berubah-ubah, yaitu dari kepentingan, dorongan, dan perasaan subjektif manusia. Kemudian, dalam perkembangan pemurnian pengetahuan dari hal yang berubah-ubah tersebut, terdapat dua cabang perolehan yang berlangsung. Pada jalur pertama, kemampuan rasio manusia menjadi titik berat dalam menggali dan memproses teori (rasionalisme). Pengetahuan yang diperoleh oleh rasio manusia adalah pengetahuan sejati yang artinya pengetahuan tunggal yang menangkap ide-ide.

Penggunaan bentuk pernyataan logis dan matematis akan sangat membantu dalam mewujudkan pengetahuan sejati ini. Hakikat pengetahuan dalam jalur ini adalah pengetahuan manusia bersifat apriori (apriori dimaksudkan karena pengetahuan yang hendak diperoleh bukan didasari oleh pengalaman dan percobaan yang telah lalu) di dalam rasio-nya, jadi tugas manusia adalah mencari kembali atau mengaktifkan ide-ide di dalam rasionya. Sedangkan, pada jalur kedua, pengetahuan hanya dapat diperoleh oleh peran pengalaman empiris (empirisme: pengalaman dari hasil percobaan dan pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya). Perolehan eviden berdasarkan pengamatan indrawi adalah upaya penting dalam jalur ini. Pengetahuan dalam hal ini bersifat aposteriori sehingga tanggung jawab manusia adalah mengamati gejala yang ada, mengamati unsur-unsur yang berubah-ubah, dan melakukan abstraksi atas unsur itu. Meskipun pada akhirnya, abstraksi pengetahuan tersebut harus dilepaskan dari unsur-unsur yang berubah-ubah yang tak dapat dipertanggung jawabkan. Dalam kalimat lain, pengetahuan yang hendak dan sedang diperoleh harus jauh dari dorongan dan kepentingan manusiawi.

Setelah pengetahuan empiris – analitis yang kemudian menjadi ilmu alam direfleksikan secara filosofis sebagai pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, melalui rasionalisme dan empirisme, ilmu alam tersebut memperkembangkan konsep teori murni. Ilmu alam dapat membebaskan diri dari pelbagai kepentingan dengan mengambil sikap teoritis murni tersebut. Dari perkembangan filsafat (terhadap pengetahuan), lahir konsep positivisme oleh Auguste Comte (1798-1857). Positivisme yang dimaksud di sini adalah puncak pembersihan pengetahuan dari pelbagai kepentingan tadi dan awal pencapaian cita-cita untuk meraih ‘pengetahuan demi pengetahuan’, yaitu teori yang dipisahkan dari praksis hidup manusia.

Namun, dalam kenyataannya, ketika manusia modern saling berinteraksi, bukan fakta mati yang sedang berlangsung melainkan pendapat-pendapat orang dalam interaksi tersebut. Inti yang ingin diperoleh dari interaksi tersebut adalah pemahaman timbal balik. Interaksi antar manusia tersebut terjadi berdasarkan konsep ilmu sosial, setidaknya hadir sikap positivisme dalam ilmu sosial yang mengandung tiga pengandaian4, yaitu 1) prosedur metodologis dari ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu sosial, gejala subjektivitas dan kehendak manusiawi tidak mengganggu objek pengamatan, 2) hasil pengamatan dalam ilmu sosial dapat dirumuskan dalam bentuk ‘hukum-hukum’ sebagaimana pada ilmu alam, dan 3) ilmu sosial harus bersifat teknis yang menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni.

Dari pengandaian tersebut, ilmu sosial harus dapat dipakai untuk berbagai keperluan dan bersifat netral atau bebas dari nilai. Alangkah bijaknya bila dalam interaksi tersebut sikap teoretis murni dijadikan sebagai sandaran untuk mendapatkan teori yang dapat dipertanggung jawabkan, layaknya pada model teori ilmu alam. Dengan demikian, sejiwa dengan bapak positivisme, Comte, didamba-dambakanlah ilmu pengetahuan yang terpadu (Einheit swissenschaft), puncak perwujudan pengetahuan sejati manusia. 

Sikap Habermas dalam Rasionalisme

Jurgen Habermas, pemikir Marxis dengan cara unik tersendiri, berupaya memperdalam perkara rasionalisasi dengan cara yang positif dan berbeda dari para pendahulunya, seperti oleh Adorno dan Horkheimer yang memandangnya secara pesimistis. Sekadar untuk diketahui yaitu bahwa mereka memandang rasionalisasi sebagai jalan tunggal menuju perbudakan gaya baru. Kembali pada sikap Habermas terhadap rasionalitas, ia melihat rasionalitas itu dari segi positifnya. Ia memberdayakan unsur modernitas, seperti teknologi, ilmu empiris, dan positivisme sebagai cara berpikir yang lebih unggul untuk praksis hidup manusia. Dalam usahanya, terkhusus dalam konteks pemahaman baru Teori Kritis-nya, Habermas menjadikan komunikasi sebagai salah satu dimensi praksis. Hal itu bisa diartikan sebagai media penting dalam menyalurkan dan mengadakan pertukaran teori. Namun, bukan berarti bahwa Habermas secara mutlak mendukung penuh rasionalitas ini, sebab ia bersikap tegas bila positivistis dan teknologi diterapkan dalam interaksi sosial, selain untuk perkara kerja manusia.

Keunikan lain pada teori kritis Habermas terhadap aneka tradisi filsafat, seperti pengaruh dan pemahamannya terhadap filsafat analitis dan pragmatisme Amerika, ialah ia mencoba mengintegrasikan keanekaragaman tersebut sebagai suatu teori yang integral dan sistematis. Beberapa karya sebagai contoh integrasinya adalah Teori Komunikasi Masyarakat (dalam pencarian judul aslinya adalah The Theory of Communicative Action) sebagai jalan baru bagi Teori Kritisnya. Habermas mengalamatkan teori (kritis)-nya pada sesuatu yang sangat umum, yaitu rasio manusia. Rasio manusia bagi Habermas berkaitan dengan kemampuan linguistis manusia5. Acuannya adalah paradigma komunikasi sebagai dialog-dialog komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Meski barangkali dapat ditelisik lebih jauh bahwa rasio bukanlah suatu ’kelompok objektif’ dalam pengalamatan teori kritis Habermas karena semua kelompok masyarakat pasti memilikinya tanpa mengetahui status kekuasaannya, di sini, Habermas mengalamatkan rasio tersebut secara implisit kepada ’rasio yang memihak’6, yaitu rasio yang memiliki kepentingan emasipatoris7 . Jadi, meskipun Habermas tidak menunjuk suatu kelompok tertentu dalam masyarakat, ’rasio yang memihak’ itu akan menunjukkan pada kelompok yang harus dibebaskan, mereka yang berada di bawah belenggu kekuasaan dan dogmatisme.

Habermas juga turut berkontribusi pada Marxisme dengan memberikan kritik. Namun, dalam tulisan ini, saya tidak membahas teori di dalam Marxisme, hanya sedikit sikap pemikiran Habermas terhadap teori kelas-kelas pada Marxisme. Terhadap Marxisme, Habermas memberikan kritik bahwa pencerahan dapat terjadi hanya melalui argumentasi rasional yang bersifat dialogis. Tanpa memperhatikan kelas tertentu, menjadikan pemikirannya membawa dampak yang begitu kuat dan dapat dilaksanakan oleh siapa saja. Bagi Habermas, keberadaan kelas-kelas selayaknya dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang saling argumentatif untuk mencapai konsensus (konsensus: kesepakatan setelah kebulatan suara-KBBI).

Tidak semata terjadi pada Rasionalisme dan Marxisme seperti pada pembahasan di atas, Habermas pun menggunakan analisis-linguistik sebagai pelengkap ’perbincangan rasional’ yang ia pakai dalam pengintegrasian psikoanalisis untuk memperkuat teori kritiknya. Linguistik

 pada psikoanalisis terjadi saling berkaitan dan berguna untuk menyingkirkan kendala-kendala komunikasi. Sehingga inti argumentasi dialogis dapat tercapai.

Refleksi

Pengetahuan yang beredar di kehidupan modern ini selayaknya mampu mewujudkan cita-cita manusia, antara lain: kebaikan, kebijaksanaan, dan kehidupan sejati. Untuk meraih puncak luhur tersebut, manusia perlu untuk menggunakan segenap kemampuan dirinya dalam mengolah dan mengelola pengetahuan tersebut. Penggunaan ini dapat terjadi dengan rasio manusia (rasio adalah kemampuan berpikir) atau berpandang pada pengalaman yang telah lampau. Perbedaan keduanya bukan merupakan perintang yang menghalangi manusia dalam memperoleh pengetahuan, melainkan dimaksudkan untuk mengeliminasi kepentingan-kepentingan negatif yang akan atau sedang terjadi.

Untuk semakin menguatkan kepercayaan diri dalam memperoleh pengetahuan, terdapat peran filsuf dalam melihat dan bersikap terhadap pengetahuan, salah satunya adalah Jurgen Habermas. Ia memandang pengetahuan dengan memberikan kritik terhadap pengetahuan yang ada, membedah pengetahuan demi pengetahuan yang baru. Habermas berupaya mengintegrasikan berbagai pengetahuan demi praksis kehidupan manusia. Upaya yang ia capai antara lain dengan menggunakan rasionalisme terhadap teori filosofis, seperti Marxisme. Ia berupaya untuk mewujudkan argumentasi rasional melalui dialog tanpa memandang latar belakang kelas pada anggota dialog tersebut. Upaya yang ia lakukan ini entah ia lakukan secara sengaja merupakan jalan lain dalam memandang teori yang ada. Selain mengintegrasikan teori-teori dan mengandalkan rasio manusia, Habermas turut memainkan peran analisis-linguistik yang ada pada psikoanalisis karena sifatnya yang dapat menyingkirkan distorsi komunikasi sekaligus mengobati kesalahan komunikasi yang pernah terjadi.

Dengan mengetahui sikap dan peran filsafat dan Jurgen Habermas terhadap teori, kita dapat menginisiasi diri pribadi untuk memperoleh pengetahuan sebagai pegangan dalam menjalani kehidupan dengan upaya yang dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga dapat mewujudkan kebaikan, kebijaksanaan, dan kehidupan sejati bagi diri pribadi dan manusia secara keseluruhan.

Referensi

1 Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta. Buku Baik. 2004. Hal. x

2 Bernstein, R. J. The Restructuring of Social and Political Theory. Oxford, Basil Blackwell. 1976. Hal. 175

3 Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta. Buku Baik. 2004. Hal. 5-6

4 Giddens, A. Positivism and Sociology. London. Heinermann. 1975. Hal. 3-4

5 Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta. Buku Baik. Hal. 90-92

6 Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta. Buku Baik. Hal. 937 Agnes Heller. Habermas and Marxism, dalam Thompson JB (ed). Hal. 26

Andika Fadila Pratama

Anggota Lingkar Studi Filsafat Discourse

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content