fbpx

Subjek, Negara, dan Masyarakat

Apakah kehidupan tanpa negara itu mungkin?
Election Day karya Norman Rockwell
Election Day karya Norman Rockwell

Esai ini dimaksudkan sebagai respon atas fenomena dan latar belakang fenomena dari agitasi salah seorang mahasiswa – pada suatu forum di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat – yang menyatakan diri lebih memilih untuk melakukan Golput daripada menggunakan hak suaranya dalam momentum pemilihan kepala daerah.  Sosok yang sama juga menganjurkan agar DPR beserta lembaga-lembaga pemerintahan lainnya – yang merupakan instansi atau agen-agen perpanjangan tangan dari negara – dibubarkan saja karena menurutnya, instansi negara tidak lagi merepresentasikan kehendak rakyat untuk mencapai kehidupan bersama yang makmur, sejahtera dan bahagia, bahkan justru menindas rakyat dengan berbagai macam kebijakan yang dibuat. 

Kita harus berterima kasih kepada kawan kita tersebut, karena lewat pernyataan-pernyataannya dapat memantik sebuah diskursus yang menarik, misalnya bahwa kita dapat menangkap bentuk nyata dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, hal yang mendorong kita untuk menguji kembali justifikasi negara dan instansi pemerintahannya. Terlebih, mengingat bahwa meski pemilu baru akan diadakan 2 tahun lagi begitupun dengan pilkada, namun beberapa waktu belakangan Indonesia sudah diramaikan dengan beberapa tokoh dan partai yang sedang berusaha menaikkan potensi elektabilitasnya masing-masing. Sebagai permulaan, hendaknya kita berusaha memahami pernyataan kawan kita dengan mengajukan beberapa pertanyaan, seperti misalnya mengapa golput? Apakah negara bisa dibubarkan? Dan apakah di zaman modern seperti sekarang ini kehidupan tanpa negara itu mungkin? 

Mengapa seseorang memilih untuk melakukan golput?

Golput merupakan akronim dari “Golongan Putih”, yaitu istilah politik yang merujuk pada perilaku seseorang atau kelompok yang tidak memberikan suaranya atau tidak memilih satupun calon pemimpin saat momen pemungutan suara dalam suatu wilayah yang menjalankan asas demokrasi. Akan tetapi, berdasarkan data dari bbc.com persentase orang yang melakukan golput di Indonesia setiap momen pilpres sejak diselenggarakan pertama kali sejak 2004 selalu menyentuh angka di atas 15% dan bahkan sempat menyentuh angka 30% pada tahun 2014. Meski demikian, 2019 atau pemilu sebelumnya, persentase golput semakin menurun. Namun, fakta ini tetap cukup mengkhawatirkan mengingat partisipasi masyarakat yang menganut sistem demokrasi dalam kehidupan bernegaranya dapat dikatakan relatif rendah, apalagi jumlah populasi Indonesia saat ini berjumlah kurang lebih sebanyak 276,4 Juta orang. 

Jika dipahami dengan seksama, keinginan untuk melakukan golput lahir dari rasa ketidakpercayaan masyarakat kepada para kandidat yang mencalonkan diri menjadi pemimpin atau kepala daerah. Hal itu dapat dimengerti dengan meminjam konsep trauma masa lalu dari psikoanalisa – akibat kinerja pemerintah yang buruk dan terjadi secara berulang-ulang – menyebabkan rakyat skeptis untuk menggunakan hak suaranya. Contoh konkretnya dapat dilihat pada beberapa kebijakan yang disahkan oleh pemerintah pusat, yaitu kenaikan harga bbm, konflik agraria, deforestasi, impotensi penegakan hukum, dan masih banyak lagi yang mengendap dalam diri negara ini. Sekarang pun dikenal istilah “September Hitam” untuk memperingati bentrokan antara rakyat dengan birokrasi terkait pengesahan Omnibus Law beberapa tahun lalu. 

Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) seakan hanya menjadi slogan kosong. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia praktik politik pun hanyalah sebatas pergeseran kuasa, dari rakyat kepada segelintir orang – elit politik. Menjelang pemilihan umum, selalu lahir sebuah ilusi yaitu seakan rakyatlah yang memegang kekuasaan untuk menentukan pemimpin mereka, akan tetapi seiring berjalannya waktu rakyat semakin tersubordinasi dari panggung politik dan hanya menerima apapun kebijakan yang dibuat. Selama masa jabatan sangat minim bahkan tidak ada dialog antara masyarakat dengan birokrasi dalam menggarap kebijakan untuk menentukan arah kehidupan masyarakat yang lebih baik sehingga hal ini menghasilkan sistem oligarki dan dinasti. Misalnya di salah satu daerah – tempat kawan kita di atas berasal – beberapa jabatan strategis di pemerintahan diisi oleh orang-orang dari keluarga tertentu. Selain itu, pembangunan berjalan pasif bertolak belakang dengan janji-janji semasa kampanye dulu, ironisnya beberapa kali pembangunan baru akan berjalan ketika masa jabatan para birokrat hendak habis. Perilaku tersebut bermaksud mengintervensi alam bawah sadar masyarakat sebagai bentuk ‘itikad baik’ dalam upaya persiapan pemilihan selanjutnya. Hal ini tentu saja menimbulkan kesan bahwa rakyat hanyalah alat untuk mencapai kekuasaan, Hannah Arendt mengatakan:

Kekuasaan dimandatkan oleh masyarakat, namun masyarakat kemudian hanya memiliki kekuasaan itu pada saat pemilihan umum. Setelah itu, kekuasaan berpindah ke tangan penguasa yang mereka pilih”.

Ironi tersebut pernah juga diutarakan oleh J.J. Rousseau yang berpandangan bahwa:

“…mereka (rakyat) hanya bebas ketika anggota parlemen berlangsung. Segera setelah para anggota parlemen terpilih, perbudakan segera menguasai diri mereka, dan mereka pun menjadi bukan siapa-siapa lagi…”

Menguraikan pemikiran Hannah Arendt dan Rousseau di atas, kita dapat menggunakan kacamata pemikiran Fenomenologi Maurice Merleau-Ponty untuk memahami relasi negara dan rakyat dalam mengkaji permasalahan ini. Dewasa ini, lazimnya relasi negara dan rakyat seakan-akan dipahami sebagai 2 entitas yang terpisah, implikasinya adalah negara – para elit politik –  mengobjektivikasikan rakyatnya sebagai suatu instrumenl dalam mencapai kekuasaan. Negara adalah subjek dan rakyat adalah objek. Implikasi dari pemahaman tersebut menciptakan suatu iklim politik yang cenderung totaliter. Lewat teori fenomenologi persepsi Merleau-Ponty, hendaknya pemahaman tersebut diruntuhkan, sebab negara merupakan representasi rakyat oleh sekumpulan subjek – elit politik yang dipercaya untuk mengatur masyarakat dalam kehidupan bernegara. 

Banyak cara untuk mendefinisikan negara, oleh karenanya bagaimana jika kita mengandalkannya sebagai sang Ada yang dibentuk oleh ada-ada yang lain yaitu rakyat. Negara merupakan manifestasi keinginan rakyat untuk menjamin kehidupan mereka sebagaimana didefinisikan oleh Thomas Hobbes dan John Locke dalam teori kontrak sosial dan seyogyanya tidak memandang rakyat hanya sebatas objek instrumental belaka melainkan sebagai subjek yang serupa dan bagian dari dirinya. Oleh karenanya relasi antara birokrasi dan masyarakat mengandaikan komunikasi yang aktif – otokritik, negara harus memandang rakyatnya sebagai subjek bebas saling berdialog satu sama lain, untuk menyatakan keinginan mereka sehingga birokrasi dapat berperilaku politik dan membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan kehendak rakyatnya. Sehingga apabila negara adalah rakyat, maka begitupun sebaliknya, karena keduanya merupakan suatu yang manunggal, bersama-sama mengecap pengalaman sebagai bagian dari negara ini untuk kemudian meleburkan pemahaman satu sama lain di ruang publik. Penggambaran tersebut sebagaimana yang dikehendaki oleh Arendt bahwasanya negara lewat politisi maupun negarawan hendaknya mendorong rakyatnya untuk mengekspresikan dirinya (Vita Active) secara aktif, kreatif dan tanpa tekanan. Negara harus bisa memediasi rakyatnya untuk berpartisipasi dalam perdebatan-perdebatan di luar dirinya sebagai individu, berdialog dan berempati satu sama lain untuk menentukan serta membuat kebijakan bersama-sama dengan berasaskan kebebasan, kesetaraan, serta koeksistensi semua orang di dalam ruang hidup yang pluralistik. 

Namun perlu digaris bawahi bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, maka orang yang bertindak sebagai perpanjangan tangan negara – politisi dan negarawan – dijelaskan oleh Arendt bukanlah orang yang sembarangan, menurutnya mereka haruslah memiliki kapasitas (kewajiban) untuk bisa mendorong rakyat untuk bersama-sama menciptakan suatu iklim politik yang argumentatif-diskursif, tidak hanya sebatas mewakili rakyat untuk memaksakan aturan-aturan kepada masyarakat. Adapun Plato mengingatkan dalam Republik, sebaiknya mereka yang hendak menjadi pemimpin adalah yang mempunyai kecakapan atau keterampilan untuk memimpin. Dengan demikian, jika semua gagasan di atas dapat direalisasikan akhirnya masyarakat akan aktif berpartisipasi dalam kehidupan bernegara, dan Golput dapat diminimalisir.

Apakah negara bisa bubar? Dan apakah kehidupan tanpa negara itu mungkin? 

Pada pemilihan umum sebelumnya seorang tokoh politik mengklaim bahwa di 2030 negara Indonesia berpotensi untuk bubar. Selain itu, di awal tadi kawan kita melakukan agitasi agar lembaga-lembaga pemerintahan dibubarkan saja. Pernyataan-pernyataan tersebut, membawa kita untuk menanyakan dua hal yaitu, apakah negara bisa bubar? Dan apakah kehidupan tanpa negara itu mungkin?

Namun, sebelum menjawab pertanyaan pertama hendaknya kita terlebih dahulu berusaha memahami apa itu negara. Seperti yang dikemukakan di awal bahwa ada banyak cara mendefinisikan negara dikarenakan sejarahnya yang begitu panjang bahkan melampaui Perjanjian Westphalia di tahun 1648. Oleh karena itu kita akan membatasi dan memahaminya sebatas sebagai pengorganisasian kekuasaan politik oleh pemerintah. Hal ini disebabkan begitu banyak model sistem pemerintahan di masa lampau yang dipraktekkan oleh suatu wilayah (negara) dan tidak terlepas dari karakteristik masyarakatnya. Meninjau sejarah beberapa negara, bubarnya suatu negara atau wilayah yang diorganisir oleh pemerintah – suatu kekuatan atau penguasa –setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama, karena permasalahan internal yaitu ia kehilangan legitimasinya.  Kedua, karena permasalahan eksternal yaitu invasi atau aneksasi.

Bubar bukan berarti lenyap, jika bubar dipahami sebagai transformasi bentuk pemerintahan maka kita akan melihat bahwa ada beberapa wilayah yang meleburkan diri menjadi suatu negara baru, seperti Jerman Barat dan Jerman Timur. Namun ada pula beberapa negara yang pecah menjadi beberapa negara dan mempunyai kedaulatannya masing-masing, seperti Yugoslavia yang pecah menjadi Serbia, Bosnia, dan Montenegro, atau pemisahan diri Pakistan dari India. Selain itu peristiwa sejarah Revolusi Perancis (1789-1799) dan runtuhnya Uni Soviet (1991) dapat dijadikan sebagai rujukan. Sebab keduanya juga merepresentasikan transformasi atau perubahan bentuk pengorganisasian kekuasaan politik. Prancis yang semula pemerintahannya berbentuk monarki beralih menjadi republik paska pemenggalan Raja Louis XVI. Peristiwa tersebut salah satunya disebabkan karena ketidakpuasan terhadap Ancient Regime (Rezim Kuno), kebangkrutan pemerintah dan sistem pajak yang buruk serta kekalahannya dalam beberapa perang besar. Sementara Uni Soviet, ia kehilangan legitimasinya yang disebabkan oleh beberapa hal seperti ketidakstabilan politik serta ekonomi saat Perang Dingin, Kebijakan Perestroika dan Glasnost – terlebih karena pasal 72 konstitusi Uni Soviet – hingga akhirnya banyak wilayah yang sebelumnya meleburkan diri ke dalamnya akhirnya memilih untuk memisahkan diri dan pecah menjadi beberapa negara yang berdaulat. Beralih kepada faktor kedua, ada juga negara yang bubar karena mengalami permasalahan eksternal misalnya aneksasi yang dialami oleh Tibet pada tahun 1959 dan kini menjadi bagian dari Republik Rakyat Cina. Meski demikian, wilayah tersebut tetap eksis dan menjadi daerah otonomi Cina.

Indonesia sendiri paska proklamasi pernah mengalami beberapa kondisi serupa diakibatkan kondisi politik yang pasang surut. Permasalahan internal karena banyaknya pemberontakan, dan permasalahan eksternal yaitu intervensi pihak-pihak luar yang menginvasi dan berniat menguasai kembali Indonesia lewat berbagai macam upaya, misalnya dengan melakukan perjanjian-perjanjian yang merugikan dan agresi militer. Meski beberapa kali berganti sistem pemerintahan, dari presidensial kemudian menjadi federal (1949), Indonesia sebagai sebuah negara masih tetap eksis.

Berdasarkan uraian di atas, apakah kehidupan tanpa negara itu mungkin? Sebenarnya pertanyaan ini mengarahkan kita untuk meninjau kembali anarkisme, akan tetapi jika memang ada suatu alternatif selain negara, mengapa hal tersebut riskan untuk diwujudkan? Sulit membayangkan jika kata bubar tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan suatu kondisi kehidupan tanpa adanya negara, faktanya saat ini kita sedang hidup dalam sebuah negara, bahkan saat ini total jumlah yang diakui di dunia adalah sebanyak 195 negara yang tersebar di berbagai macam benua. Oleh karena itu, jika kehidupan tanpa negara (modern) yaitu merupakan suatu kondisi alamiah – suatu kondisi individu benar-benar bebas dan tidak ada hukum yang mengatur, dan tentu saja tidak ada negara – sebagaimana yang pernah dijawab oleh beberapa tokoh seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau lewat eksperimen pikiran. Maka, sudah pasti untuk saat ini kehidupan tanpa negara itu – terlebih untuk wilayah yang luas – sulit untuk diwujudkan. Hal ini disebabkan karena motif yang disepakati meski tidak sadar untuk memberikan legitimasi kepada suatu entitas untuk menjamin kehidupan kita. Misalnya motif tersebut, sebagaimana yang dipercaya oleh Thomas Hobbes yang berpandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang jahat, dengan kebebasan yang ia punya ia bisa menjelma menjadi serigala bagi sesamanya, ‘Homo Homini Lupus’. Negara dikehendaki sebagai suatu entitas yang dapat menjamin kehidupan rakyatnya untuk mencapai keuntungan, keamanan dan reputasi, dengan mengorbankan ‘sebagian kebebasan’ mereka. Seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan terbentuklah berbagai macam sistem pemerintahan, beserta lembaga-lembaganya untuk memudahkan terwujudnya keinginan-keinginan rakyatnya. Singkatnya untuk saat ini kehidupan tanpa negara sulit untuk direalisasikan karena kita masih membutuhkannya.

Berangkat dari polemik di atas, sebagai penutup, sejatinya setiap negara berpotensi “bubar” atau pecah menjadi beberapa bagian diakibatkan beberapa hal atau motif tertentu, begitupun sebaliknya beberapa wilayah (negara) bisa melebur menjadi satu. Indonesia bisa saja kehilangan legitimasinya, seperti yang telah terjadi  pada tahun 2002, wilayah Timor Timur memilih untuk memisahkan diri dari naungan Indonesia dan menjadi negara sendiri bernama Timor Leste. Segala kemungkinan itu tergantung bagaimana para politisi atau negarawan menjaga legitimasinya dengan bertindak sebagai perwujudan atas kehendak rakyat (NKRI) – menjaga amanah yang termuat dalam UUD 1945. 

Referensi

BBC News Indonesia. (2019, 3 Mei). Lembaga Survei: Jumlah golput di Pilpres 2019 paling rendah sejak 2004. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48130161

Faith, Moh. Khoirul. (2022). Kebebasan, Pluralitas dalam Pemikiran Hannah Arendt. Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir, 5 (1), 59-65.

Putra, Gusti Arya. (2021, 10 Juni). Fenomenologi Tubuh Maurice Merleau-Ponty: Aku Adalah Tubuhku dan Tubuhku Adalah Aku. LSF Discourse. https://lsfdiscourse.org/fenomenologi-tubuh-maurice-merleau-ponty-aku-adalah-tubuhku-dan-tubuhku-adalah-aku/

Sebastian, Tanius. (2016). Mengenal Fenomenologi Persepsi Merleau-Ponty Tentang Pengalaman Rasa. MELINTAS, 94-115

Setiawan, Deddy. (2022, 19 Agustus). Sempat Bertahan Lama, 6 Negara Bubar dan Lenyap dari Sejarah. VIVA.co.id. https://www.viva.co.id/gaya-hidup/inspirasi-unik/1511123-sempat-bertahan-lama-6-negara-bubar-dan-lenyap-dari-sejarah?page=4 

Sudibyo, Agus. (2012). Politik Otentik Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt. Tangerang Selatan: Marjin KiriWolff, Jonathan. (2018). Pengantar Filsafat Politik. Bandung: Nusa Media

Firdausi Muhammad A.
Firdausi Muhammad A.

Firdausi Muhammad A. merupakan lulusan psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content