fbpx

Metafisika Mulla Sadra

Setiap gerakan wujud yang memiliki tingkatan yang berbeda itu bergerak secara substansial secara terus menerus menuju kesempurnaan.
Imam Mosque Isfahan - Iran
Imam Mosque Isfahan - Iran

Salah satu permasalahan fundamental dalam filsafat Islam adalah metafisika. Pembahasan mengenai metafisika dalam filsafat Islam ini telah dibahas oleh para filsuf Islam awal dengan perdebatan dan pertentangan di antara mereka. Setelah sekian abad,  munculah Mulla Sadra yang dianggap berhasil oleh beberapa kalangan filsuf setelahnya dalam mengatasi permasalahan-permasalahan metafisika dalam Filsafat Islam dengan cara menggabungkan pemikiran metafisika yang berkembang dalam Filsafat Islam sebelumnya. Pemikiran yang dikembangkan oleh Mulla Sadra didasarkan pada beberapa mazhab besar dalam Filsafat Islam. Pemikiran tersebut didasarkan atas Mazhab Peripatetik Islam sekaligus Neoplatonis yang telah dipelajarinya dari pemikiran Al-Farabi dan Ibn Sina, mazhab iluminasi dari Suhrawardi, dan mazhab tasawuf dari Ibn Arabi, sekaligus tradisi kalam yang berkembang secara filosofis dari Nashiruddin Al-Thusi. Dalam usahanya menggabungkan pemikiran metafisika, Mulla Sadra tidak serta merta menggabungkan begitu saja secara dangkal tetapi telah menghasilkan sintesis baru dalam pemikiran metafisika dengan dasar prinsip filosofis yang kokoh.1 Bagaimanapun, sintesis baru tersebut menghasilkan suatu pemikiran baru yang kemudian dianggap layak sebagai Filsafat Islam, yaitu Hikmah Al-Muta’aliyah atau disebut Filsafat Hikmah.

Dalam metafisika, pemikiran Mulla Sadra didasarkan atas pembahasan mengenai wujud (eksistensi). Sebelum itu, para filsuf Islam secara historis telah memperdebatkan tentang permasalahan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (esensi). Permasalahan tersebut merupakan permasalahan untuk menentukan prinsip-prinsip dasar dari realitas. Penting dibedakan antara keduanya, pertanyaan mengenai wujud berkaitan dengan keber-ada-an sesuatu, sedangkan mahiyah berkaitan tentang ke-apa-an sesuatu. Sebelumnya Suhrawardi menganggap mahiyah sebagai prinsip dasar dari realitas, sedangkan wujud hanya dianggap sebagai aksiden dari mahiyah. Kemudian Mulla Sadra mengkritik Suhrawardi yang menyatakan bahwa yang menjadi prinsip dasar dari realitas adalah wujud, bukan mahiyah. Kritik tersebut didasarkan pada kesalahan filosofis dari pembacaan Suhrawardi atas Ibn Sina, sehingga Suhrawardi menganggap wujud hanyalah abstraksi pikiran belaka. Selain itu, Mulla Sadra juga memberikan argumen logis terhadap kritiknya, yang kemudian menghasilkan pemikiran realitas wujud (ashalah al-wujud).

Realitas Wujud

Menurut Mulla Sadra, wujud merupakan suatu prinsip mendasar yang meliputi segala sesuatu dalam dunia eksternal. Selain itu wujud merupakan sesuatu yang paling jelas yang mendasari semua realitas, sehingga wujud tidak dapat didefinisikan. Karena tujuan definisi adalah memperjelas sesuatu yang didefinisikan, sedangkan wujud merupakan suatu konsep yang paling jelas. Menurut logika Aristoteles, untuk mendefinisikan sesuatu kita memerlukan genus dan deferentia. Padahal wujud merupakan sesuatu yang paling umum dalam kemencakupannya. Wujud secara fenomenal dapat diketahui oleh siapapun tanpa terkecuali. Wujud mendahului mahiyah, karena mahiyah tidak dapat dikenali tanpa ada hubungannya dengan wujud. Misalnya, bayi yang baru lahir dapat mengetahui keberadaan sesuatu secara intuitif tanpa mengenali terlebih dahulu sesuatu tersebut. Oleh karena itu, agar mahiyah dapat diketahui dalam konsepsi pikiran, wujud  harus melekat pada mahiyah.2

Ambiguitas Wujud

Selain menjadi prinsip dasar dari realitas, wujud juga merupakan konsep ketunggalan dalam pluralitas dan pluralitas dalam ketunggalan. Pemikiran ini oleh Mulla Sadra disebut sebagai ambiguitas wujud (tasykik al-wujud). Wujud merupakan satu realitas yang membentang yang memiliki perbedaan tingkatan-tingkatan secara hierarkis, dari wujud absolut sebagai tingkatan tertinggi hingga wujud material sebagai tingkatan paling rendah.3 Setiap wujud yang lebih rendah tingkatannya menggantungkan diri para realitas wujud yang lebih tinggi tingkatannya. Segala sesuatu memiliki kualitas wujud yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain, namun ia disatukan dalam satu wujud yang sama. Mulla Sadra menggunakan teori Iluminasi dari Suhrawardi dalam menjelaskan ambiguitas wujud (tasykik al-wujud). Ia mengandaikan cahaya matahari yang memiliki intensitas lebih terang daripada cahaya lampu maupun lilin. Cahaya tersebut dibedakan tingkat intensitasnya, dari yang paling terang, temaram, dan remang-remang. Sebagaimana wujud, segala sesuatu memiliki kualitas wujud yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain, namun ia disatukan dalam satu wujud yang sama. 

Gerak Trans-Substansial 

Setiap gerakan wujud yang memiliki tingkatan yang berbeda itu bergerak secara substansial secara terus menerus menuju kesempurnaan. Pemikiran ini disebut Mulla Sadra sebagai Gerak Trans-Substansial (al-harakah al-jauhariyah). Menurutnya seluruh wujud dalam realitas secara terus menerus mengalami perubahan berkelanjutan yang meningkat menuju sumber wujud, yaitu Wujud Absolut (Eksistensi). Gerak Trans-Substansial ini terjadi pada substansi dan empat kategori aksidensinya. Dan perubahan aksiden itu mensyaratkan perubahan pada substansinya. Sehingga tidak mungkin perubahan hanya terjadi pada aksidennya saja, substansi juga mengalami perubahan. Perubahan tersebut terjadi dalam proses berulang dan terus-menerus.4 Seperti halnya aliran sungai yang terus mengalir, tidak mungkin untuk menginjak sungai yang sama dalam dua kali. Dengan demikian, seluruh realitas dalam wujud tidak benar-benar dalam keadaan tetap, tetapi terus menerus bergerak dalam proses menjadi (becoming).5 Sehingga segala sesuatu di dalam realitas yang tercakup oleh wujud (eksistensi) selalu berkesinambungan dengan Wujud Absolut (Eksistensi).

Ahmad Zidan Muzakki

Catatan

  1. Haidar Bagir, Mengenal Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2020). hlm.131.
  2. Syaifan Nur dan Kuswaidi Syafi’ie, Filsafat Wujud Mulla Sadra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002). hlm. 154.
  3. Seyyed Hosein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Kedua, terj. Tim penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003). hlm. 916.
  4. Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra. terj. Tim penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2002). hlm. 95.
  5. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Kedua. hlm. 920.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content