Belt and Road Initiative

Untuk melestarikan semua alat produksi dan penghidupan yang berguna, ambillah tindakan tegas terhadap perusakan atau pemborosan oleh siapa pun, menentang makan dan minum yang berlebihan dan perhatikan penghematan ekonomi.” – Mao Zedong, Speech at a Conference of Cadres in the Shansi-Suiyuan Liberated Area, April 1, 1948.

Great Leap Forward merupakan kebijakan Mao Zedong untuk mengubah keterarahan ekonomi masyarakat Tiongkok pada tahun 1958 hingga  14 tahun sebelum wafatnya di tahun 1976. GLP dalam kacamata dunia barat disiarkan sebagai kebijakan yang telah mengorbankan jutaan warga, terutama petani sebagai korban tak langsung dari revolusi kebijakan ini. Penduduk Tiongkok yang sebagian besar merupakan petani, dipindahkan ke daerah berkembang dan daerah industri, di mana mereka selanjutnya diajarkan untuk mengoperasikan mesin-mesin industri. Perpindahan penduduk desa ke kota juga dituding sebagai titik awal perubahan demografi dan degradasi taraf hidup masyarakat Tiongkok.

Berbeda dengan sudut pandang barat, pemerintahan berkuasa di Tiongkok menganggap bahwa negara telah mampu mengelola hasil alam melalui tenaga ahli (petani manasuka dan profesional), diversifikasi dan pembagian pola tanam yang didukung oleh partai, serta pemajuan teknologi pengelolaan sumber alam yang didukung industrialisasi. Dalam GLF sumber daya alam menjadi senjata utama Tiongkok untuk mewujudkan kemandirian ekonomi bagi negaranya sendiri. 

Di sisi lain, industrialisasi mulai diajarkan pada usia dini. Pada masa GLF, sepulang sekolah, anak-anak akan diajarkan untuk membantu orang tua menghasilkan komponen atau barang pabrik – yang idealnya bagi negara barat – hanya dapat dilakukan di dalam lingkungan kerja. Namun PKC menilai bahwa hasil kerja anak-anak dalam membantu orang tuanya memproduksi komoditas akan menjadi tabungan sekolah mereka di kemudian hari. Tentu saja janji ini terpenuhi saat biaya pendidikan di Tiongkok secara umum tidak menjadi beban bagi penduduknya. Di luar pembiayaan oleh pajak, penduduk usia remaja yang memilih untuk terus bersekolah pada masa GLF akan difasilitasi sebaik mungkin oleh pemerintah atas hasil akumulasi kinerjanya semasa kecil. Menurut Amanda W. Solivan, perubahan ekonomi yang diputuskan oleh Mao untuk mengisolasi Tiongkok dan memperkuat tulang-tulang ekonomi masyarakat, terbukti menyejahterakan rakyat untuk pertama kalinya dalam sejarah Tiongkok modern. 

Untuk mempercepat pemulihan dan pengembangan [produksi pertanian dan produksi industri di kota-kota kecil] ini, kita harus melakukan yang terbaik, dalam perjalanan perjuangan kita untuk penghapusan sistem feodal, untuk melestarikan semua sarana produksi dan mata pencaharian yang berguna, mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang menghancurkan atau menyia-nyiakannya, menentang makan dan minum yang berlebihan dan memperhatikan penghematan dan ekonomi.1

Namun keberlangsungan GFL berakhir dengan kebijakan Jiang Zemin dan Deng Xiaoping yang memutuskan untuk membuka tirai bambu Tiongkok dan menyebarkan produksi masyarakat Tiongkok ke dunia luar. Reformasi ekonomi Tiongkok yang mengubah Tiongkok menjadi negara dengan ekonomi terkuat (kedua—sesuai besaran GDP versi Forbes 2024) di dunia. Hal ini bukan hanya menambah beban kerja dan menambah pemasukan per kapita, melainkan juga memenuhi dunia dengan berbagai kelas komoditas buatan Tiongkok melalui perdagangan terbuka. Hal yang sebelumnya hanya menjadi salah satu visi republik rakyat komunis Tiongkok.

Kondisi perekonomian yang diputuskan oleh Deng masih bertahan hingga saat ini di mana negara-negara di Asia Tenggara, Eropa, dan Afrika telah menjadi konsumen utama bagi produk-produk buatan Tiongkok. Lalu bagaimana dengan masyarakat Tiongkok sendiri? Xi Jinping, sebagai penanggungjawab tertinggi RRT memutuskan untuk memperkuat keputusan liberalisasi pasar dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas komoditas Tiongkok bagi dunia dan bagi rakyat Tiongkok sendiri. Proses ini telah terencana sebelum Xi dipilih menjadi presiden, dan mulai berlaku pada tahun 2015 dengan reformasi kelembagaan keuangan seperti pendirian ‘Bank Kebijakan’ di bawah Bank Sentral, desentralisasi kredit, dan penomorduaan pasar. 

Tiongkok telah memproduksi dan mengekspor hasil tambang, manufaktur, dan hasil ternak dan pertanian ke seluruh dunia. Tiongkok tercatat mengalami transaksi modal dan finansial sebesar 483,73 (ratus juta) USD pada kuartal kedua tahun 2024. Sebagaimana kaum minimalis berpendapat, dunia telah dipenuhi dengan berbagai komoditas dan di lain sisi, alam telah mengalami berbagai jenis eksploitasi sebagai konsekuensinya. Tiongkok dalam situasi ini, telah menjadi salah satu aktor terkuat dalam berkontribusi atas konsumsi bahan bakar dan manufaktur dunia. Di saat masyarakat dunia menjadi semakin konsumtif karena penawaran, ketersediaan, dan kemudahan pasar untuk memperoleh produk-produk baru. Hal yang sama menjadi pertanyaan bagi masyarakat Tiongkok: apakah rakyat perlu menjadi konsumen aktif atas hasil negaranya sendiri?

Konsumerisme  menjadikan masyarakat modern – dan juga rakyat Tiongkok merasakan apa yang disebut dengan kenikmatan kepemilikan. Bahwa seseorang dapat mendapatkan apa yang ia butuhkan, apa yang ia mau, dan apa yang ia akan mau jika mungkin ia mengetahuinya. Imajinasi untuk mengonsumsi sesuatu menjadi semakin liar dan kemudahan tersedia sebagai hal yang biasa. Untuk negara-negara lain di dunia, hal ini dapat menjadi fasilitas yang penuh tantangan, mengingat masing-masing negara tidak dapat selamanya menjadi negara konsumen untuk mempertahankan perekonomiannya masing-masing. Namun bagi Tiongkok saat ini, permasalahan konsumerisme menjadi permasalahan ideologis.

Kita harus memastikan bahwa semua kader dan seluruh rakyat kita selalu ingat bahwa negara kita adalah negara sosialis yang besar tetapi terbelakang dan miskin secara ekonomi, dan bahwa ini adalah kontradiksi yang sangat besar. Untuk membuat Tiongkok kaya dan kuat, diperlukan usaha keras selama beberapa dekade, yang akan mencakup, antara lain, upaya untuk menjalankan ekonomi yang ketat dan memerangi pemborosan, yaitu, kebijakan membangun negara kita melalui ketekunan dan berhemat.2

Dari Mao hingga Xi, kehidupan commune adalah inti dari kehidupan rakyat. Hal ini juga berarti bahwa negara dan partai perlu menjamin keberlangsungan hidup layak masyarakat. Ekonomi kerakyatan terpusat yang diberlakukan dalam berbagai kebijakan Tiongkok mengandaikan kepemilikan umum yang dikelola oleh negara menjadi hal yang wajib didistribusikan. Masyarakat tetap mendapat hak milik pribadinya sejauh komoditas tidak mengganggu kepentingan publik. Hingga saat ini, ekonomi sektor privat rakyat Tiongkok menjadi salah satu pertimbangan bagi pertumbuhan ekonomi negaranya. Mengingat jumlah penduduk dan kemampuan produksi-konsumsi bersihnya yang menyumbang pemasukan lebih besar dibandingkan dengan absorpsi komoditas negara luar.

Namun kebijakan Xi yang lebih visioner dan luas dibandingkan para pendahulunya, menyebabkan kekhawatiran ekonomi bagi Tiongkok. Inovasi Xi setidaknya dapat termanifestasikan pada tahun 2049 dengan mengedepankan Belt and Road Inisiative (Yi Dai Yi Lu) yang menghubungkan Asia Tenggara, Asia Utara, Timur Tengah, hingga Afrika dan Made In China 2025 (Zhōngguózhìzào èrlíng’èrwǔ) yang mengedepankan swasembada teknologi dalam 10 bidang (teknologi pertanian, material baru, obat dan alat kesehatan, sumber energi hijau, kereta api, teknologi kelautan, teknologi luar angkasa, kendaraan hijau, robotik, dan teknologi informasi). Dua keputusan besar Xi ini membutuhkan berbagai dukungan modal, tenaga manusia, dan teknologi dalam skala yang lebih besar modal dibandingkan modal-modal lain yang diperlukan oleh para pendahulunya.

Sementara, dengan perkembangan kemudahan yang disajikan oleh konsumerisme, kebijakan satu anak, dan tingkat kesejahteraan yang meningkat, menyebabkan tenaga ahli dan tenaga kerja Tiongkok berkurang. Para pemuda di Tiongkok saat ini, di luar anggota partai dinilai belum tentu memiliki semangat pembangunan yang sama seperti para pendahulunya yang mampu melakukan Long March sepanjang 10.000 km.

Melalui sejarah kita dengan sederhana menjawab, bahwa masyarakat dan pemerintahan Tiongkok mampu mewujudkan negara berswasembada sejak merdeka pada tahun 1949 (lepasnya Republik Rakyat Tiongkok dari pemerintahan Nasionalis.) Semangat yang diajarkan pada anak-anak hingga manula mengenai kehendak untuk berjuang menuju kehendak rakyat telah dituangkan Mao dalam Little Red Book. Namun misi BRI dan MIC yang hendaknya dipenuhi sebanyak 70% pada tahun 2025 dan mencapai dominasi dunia pada tahun 2049 menjadi pertanyaan bagi dunia internasional, apakah kemajuan perekonomian Tiongkok ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat Tiongkok? Ataukah keputusan ini menjadi salah satu agenda politik Tiongkok untuk mengendalikan sistem perekonomian dunia – tanpa memiliki perhitungan yang matang mengenai kondisi masyarakatnya?

Di tengah dugaan turunnya kemampuan ekonomi Tiongkok proses penyelamatan ekonomi negara dapat dilaksanakan sebagaimana dilaporkan oleh Kitty Wang, agar rakyat Tiongkok berbelanja, liburan, dan menikmati hiburan sebanyak mungkin? Berbalikan dengan saran Mao di bawah ini, selama dua dekade terakhir rakyat Tiongkok telah menyumbangkan devisa negara dengan melakukan banyak pengeluaran untuk konsumsi dalam negeri. Demi perputaran ekonomi, manula misalnya, disarankan untuk menghabiskan biaya pensiun mereka dengan melakukan perjalanan liburan di berbagai daerah di dalam negeri. Untuk mendukung hal tersebut, pinjaman daerah diperkuat melalui keberadaan bank regional dan manajemen investasi infrastruktur yang difokuskan untuk pertanian dan wisata. Selain berhasil mendongkrak industri kreatif, pada tahap ini Tiongkok juga membuka kacamata baru dalam melihat ‘puing feodalisme’ sebagai aset paling bernilai bagi sektor wisata.  

Di mana pun kita berada, kita harus menghargai tenaga kerja dan sumber daya material kita, dan tidak boleh berpandangan sempit dan terlibat dalam pemborosan. Di mana pun kita berada, sejak tahun pertama bekerja kita harus mengingat tahun-tahun mendatang, perang berkepanjangan yang harus dipertahankan, serangan balik, dan pekerjaan rekonstruksi setelah pengusiran musuh. Di satu sisi, jangan pernah boros; di sisi lain, tingkatkan produksi secara aktif. Sebelumnya, di beberapa tempat orang-orang sangat menderita karena mereka tidak berpandangan jauh ke depan dan mengabaikan ekonomi yang dipertahankan oleh manusia dan sumber material, dan ekspansi produksi.3 

Fenomena bersenang-senang, berlibur, dan aktivitas konsumtif rakyat Tiongkok di satu sisi mendorong besarnya tingkat kebahagiaan penduduk, dan di sisi lain memutar roda ekonomi masyarakat. Namun hal ini seakan-akan menjadi bentuk pengkhianatan atas saran Mao untuk berhemat dan tidak melakukan pemborosan. Tidak hanya Mao, kekuatan rakyat Tiongkok untuk tidak melakukan pemborosan sebelumnya diperkuat oleh ajaran Konfusianisme dan Taoisme. “Junzi itu murah hati tapi tidak boros, seorang yang dapat memberi tugas tanpa ada orang yang mengeluh, berkeinginan tapi tidak serakah, bermartabat tapi tidak sombong, menginspirasi tapi tidak menakutkan.” (Konfusius, Analek 20:2). 

Melalui fenomena ini, dunia luar melihat bahwa Tiongkok tidak lagi memiliki wajah komunisme yang kaku dan tertutup, melainkan penuh ekspresi dan terbuka. Liberalisasi sistem keuangan yang memperbolehkan Goldman Sachs dan Morgan Stanley untuk menyuplai modal untuk Tiongkok, serta tergabungnya Tiongkok dengan WTO pada tahun 2001 mengingkari gambaran Amerika Serikat atas Tiongkok yang anti liberalisme. Daratan Tiongkok tidak lagi dapat digambarkan dengan barisan rakyat malnutrisi berkaus linen kusam, menggunakan budenovka, mengantre bubur sambil memanggul cangkul. Tiongkok kontemporer mengumpulkan berbagai kekayaan wajah yang dapat memenuhi imajinasi masyarakat dunia. Lalu, akankah Tiongkok yang sekarang tetap dapat menyatakan dirinya sebagai negara yang menjunjung tinggi idelogi?

Zhao Yangsheng dalam The Institutional Reforms in China’s Financial System menggambarkan bahwa hal-hal yang tidak dapat hilang dari Tiongkok adalah (1) imajinasi penyelenggara negara atas rakyat yang berbahagia dalam jalan komunal. (2) Kendali utama pertimbangan dan pelaksanaan kebijakan bersifat utuh dan tersentral oleh PKC, dan (3) desentralisasi dilakukan dengan menjaga kestabilan komunikasi antar pemerintah dan aktor utama ekonomi politik yaitu rakyat. Selain itu, (4) Tiongkok melakukan pertimbangan penuh atas sejarah bangsa untuk menetapkan langkah mereka menuju masa depan negara. Zhao mengemukakan pula bahwa baik dalam skala makro maupun mikro, sistem perekonomian di Tiongkok dilaksanakan bukan demi kemapanan kondisi penyenggara negara, melainkan demi rakyat. Catatan kecil di atas adalah gambaran abstrak mengenai alasan dari manuver-manuver unik Tiongkok (misalnya Bank Kebijakan, ekonomi non-pasar, dan konsumerisme modern) dalam pengelolaan ekonomi-nya. Terlaksananya BRI, MIC serta kebijakan progresif lain yang mungkin terdengar utopis, dapat menjadi despairing object bagi negara lain, namun menjadi kepastian bagi rakyat Tiongkok yang mengamini kebudayaan dan ideologinya. Melalui pembahasan ini, kita dapat belajar hingga ke tanah Tiongkok di mana keberberhasilan dalam bidang ekonomi merupakan hasil dari upaya negara menghargai rakyatnya sebagai pemeran utama serta pertimbangan utama bagi roda perekonomian.

Catatan Kaki

  1. Pidato pada Konferensi Kader di Daerah Pembebasan Shansi-Suiyuan (1 April 1948), Karya Pilihan, Vol. IV, hlm. 238. ↩︎
  2. Penanganan Kontradiksi yang Tepat di Kalangan Rakyat, Februari, 27, 1957 edisi pertama hal. 71  ↩︎
  3. Kita Harus Belajar Melakukan Pekerjaan Ekonomi (10 Januari 1945)  ↩︎

Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.