Dalam hiruk-pikuk ruang publik hari ini – baik dalam demonstrasi jalanan maupun dalam linimasa sosmed – kita semakin akrab dengan sosok yang menyuarakan perlawanan. Kata-kata seperti “melawan”, “menolak arus utama”, atau “berpihak pada rakyat” sudah tidak lagi asing, bahkan sering kali menjadi semacam slogan identitas. Namun, di balik gegap gempita retorika tersebut, muncul satu pertanyaan filosofis yang mendesak: sejauh mana ungkapan-ungkapan perlawanan itu benar-benar berangkat dari kesadaran eksistensial yang otentik, dan bukan sekadar pencitraan yang dikurasi oleh jumlah suka di media sosial?
Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis Prancis, memperkenalkan gagasan bad faith (atau mauvaise foi) untuk menggambarkan bentuk penipuan diri ketika seseorang menolak tanggung jawab atas kebebasannya sendiri. Dalam konteks kehidupan aktivisme kita, konsep ini menjadi relevan ketika seseorang menyatakan “perlawanan” tidak sebagai sikap sadar yang reflektif, melainkan sekadar penyesuaian diri dengan peran sosial yang tampak keren atau superior secara moral. Dalam Being and Nothingness, Sartre mengisahkan bagaimana seorang pelayan kafe bersikap terlalu “menjadi pelayan”—terlalu mekanis dan terlalu sadar perannya—hingga ia kehilangan otonomi eksistensialnya. Hal ini mencerminkan bagaimana seseorang bisa terjebak dalam peran simbolik yaitu bukan karena keyakinan personal, tetapi karena ekspektasi sosial.
Menurut Sartre, manusia adalah makhluk yang dilemparkan ke dalam kebebasan. Kita tidak pernah sepenuhnya ditentukan oleh keadaan objektif atau peran sosial. Karena itu, kita bertanggung jawab atas setiap makna yang kita ciptakan dan keputusan yang kita ambil. Namun, tanggung jawab ini sering kali terlalu berat. Maka, manusia melarikan diri bukan ke dalam keterpaksaan melainkan ke dalam permainan peran. Dalam konsep bad faith, seseorang memilih menjadi “sesuatu” yang statis misalnya pelayan ya hanya menjadi pelayan, guru ya hanya menjadi guru sejati, atau dalam konteks kita, aktivis yang hanya menjadi “aktivis” sebagai peran semu, bukan sebagai pilihan eksistensial yang reflektif.
Sartre memberi contoh konkret tentang seorang pelayan kafe yang terlalu pelayan—setiap gerak tubuhnya, cara ia berbicara, dan perilakunya dibentuk oleh perannya, hingga seakan-akan ia menghapuskan kemungkinan bahwa ia bisa menjadi yang lain. Ia berpura-pura bahwa dirinya hanyalah seorang pelayan, padahal sebagai manusia, ia punya kapasitas untuk melampaui peran itu. Inilah bad faith di mana seseorang menyusutkan eksistensinya ke dalam satu citra kaku demi menghindari kebebasan dan tanggung jawab.
Dengan kerangka ini, kita dapat melihat fenomena “abang aktivis” sebagai ekspresi kontemporer dari bad faith. Mereka yang menyatakan “melawan” tanpa refleksi filosofis, tanpa pengorbanan etis, dan tanpa komitmen konkret—adalah individu yang sedang menyaru. Mereka bukan sedang berjuang, melainkan bermain peran sebagai pejuang.
Sebagai inti dari filsafat eksistensialisme-nya, bad faith menjadi gambaran tajam atas penyangkalan manusia terhadap kebebasan dirinya sendiri. Sartre memahaminya bukan sekadar sebagai kebohongan biasa, melainkan kebohongan terhadap diri sendiri—di mana seseorang, secara sadar maupun tidak, menolak kenyataan bahwa ia bebas dan bertanggung jawab atas eksistensinya. Dalam kerangka ini, bad faith adalah jalan pintas untuk menghindari kecemasan eksistensial yang muncul dari kesadaran akan kebebasan itu sendiri (Valčo & Bírová, 2024). Ketimbang mengambil sikap yang jujur terhadap keadaan dirinya, seseorang justru menyusutkan dirinya ke dalam peran-peran yang telah ditentukan oleh tatanan sosial, seolah-olah itu adalah satu-satunya kemungkinan yang ada.
Sartre menunjukkan dinamika ini melalui contoh-contoh yang subtil, seperti seorang laki-laki dalam kencan yang berpura-pura tak sadar atas niat lawan bicaranya, atau pelayan kafe yang memainkan perannya terlalu sempurna (Edwards, 2021). Di sini, bad faith bukan semata soal kebohongan, melainkan cara hidup yang menunda konfrontasi terhadap kenyataan—sebuah kompromi antara tuntutan masyarakat dan rasa nyaman dalam ketidakotentikan (Rasool & Ibrahim, 2023). Dalam bad faith, seseorang hidup di antara sadar dan tidak sadar, di antara tahu dan berpura-pura tidak tahu, demi menghindari pilihan-pilihan sulit yang menuntut komitmen eksistensial. Lebih jauh lagi, bad faith tidak hanya muncul dalam laku personal, tetapi dapat meresap ke dalam praktik sosial dan politik. Misalnya, Tichavakunda (2021) menunjukkan bagaimana bad faith menjadi cara kolektif untuk menyangkal bukti-bukti ketidakadilan struktural seperti rasisme. Dengan menolak mengakui fakta-fakta yang tidak nyaman, individu atau kelompok dapat terus mempertahankan pandangan dunia yang keliru tanpa merasa bersalah—sebuah bentuk pelarian dari tanggung jawab etis yang lebih luas.
Dalam konteks ini, kita mulai melihat relevansi konsep bad faith terhadap fenomena aktivisme permukaan atau perlawanan semu. Mereka yang menyuarakan “perjuangan” sambil menolak refleksi kritis atas posisi, niat, dan konsekuensi dari tindakan mereka, berpotensi menjadi aktor bad faith kontemporer. Alih-alih hidup dalam otentisitas yang mengakui beban kebebasan dan komitmen, mereka justru hidup dalam peran yang telah dibentuk oleh ekspektasi sosial: si aktivis keren, si penolak arus, si penyelamat rakyat—sebuah topeng yang tak selalu sejalan dengan kedalaman eksistensial yang seharusnya menyertai perlawanan sejati.
Salah seorang sosok yang dapat menjadi inspirasi bagi kita Adalah Soe Hok Gie, yang dengan tajam mengkritik mereka yang menjadikan aktivisme sekadar batu loncatan menuju kekuasaan. Dalam Catatan Seorang Demonstran, ia menulis, “Saya kira tidak ada yang lebih munafik dari seorang mahasiswa yang ikut demonstrasi, hanya karena ingin jadi anggota DPR.” Ucapan ini mencerminkan keresahannya terhadap mereka yang memperalat perlawanan sebagai sarana pencitraan atau karier politik. Bagi Gie, aktivisme harus tumbuh dari keberpihakan nurani dan kesadaran moral yang tulus, bukan sebagai panggung untuk membangun pengaruh. Dalam kerangka filsafat Sartre, aktivisme semacam itu merupakan bentuk bad faith—kebohongan terhadap diri sendiri ketika seseorang memilih menjadi “aktivis” hanya karena tuntutan sosial atau keuntungan pribadi, alih-alih sebagai ekspresi otentik dari kebebasan dan tanggung jawab eksistensial.
Namun bagi Gie, pengkhianatan terhadap perjuangan tidak hanya terjadi pada level motivasi, tetapi juga dalam cara seseorang memperlakukan orang lain. Ia juga pernah menulis, “Kita tidak bisa memperjuangkan nilai-nilai besar kalau dalam kehidupan sehari-hari kita memperlakukan manusia seperti binatang.” Perlawanan sejati, menurutnya, harus menyentuh dimensi kemanusiaan yang paling konkret—yakni laku hidup sehari-hari yang penuh empati dan integritas. Aktivisme yang hanya lantang di forum publik tetapi bersikap kasar, manipulatif, atau tidak manusiawi dalam ruang privat, adalah bentuk bad faith yang lain: mengklaim memperjuangkan nilai, sambil menolak bertanggung jawab secara utuh terhadap nilai itu dalam praktik hidup. Di sinilah kebohongan terhadap diri sendiri menjadi sistemik, ketika seseorang berpura-pura menjadi agen perubahan padahal tak mampu berelasi dengan sesama secara etis.
Lebih jauh lagi, Gie menekankan bahwa perjuangan bukanlah panggung performatif melainkan jalan hidup yang sunyi dan reflektif. Dalam suratnya kepada Arief Budiman, ia menulis, “Bagiku perjuangan adalah suatu jalan hidup, bukan hanya slogan-slogan yang diucapkan dalam mimbar-mimbar demonstrasi.” Kritik ini diarahkan pada mereka yang menjadikan perlawanan sebagai identitas kosong—ditandai oleh gaya bicara, estetika, atau komunitas tertentu—tanpa melalui proses refleksi yang jujur terhadap makna dan beban perjuangan itu sendiri. Seperti dalam kritik Sartre terhadap mereka yang hidup dalam peran sosial yang kaku, Gie menolak aktivisme yang hanya tampil radikal di permukaan namun kehilangan kedalaman eksistensial. Ia menuntut keotentikan: keberanian untuk berpikir, bersikap, dan bertindak selaras dengan nilai yang diyakini, meskipun tanpa tepuk tangan.
Karena itulah, meski dikenal sebagai figur penting gerakan mahasiswa, Gie justru menolak gelar “pemimpin” yang menurutnya sering kali menjauhkan seseorang dari kontemplasi. “Saya tidak suka menjadi pemimpin mahasiswa. Menjadi pemimpin sering kali berarti tidak punya waktu untuk berpikir jernih, untuk menulis, untuk belajar,” tulisnya. Ia curiga terhadap heroisme yang hanya menonjol di permukaan tetapi miskin substansi batin. Dalam dunia aktivisme, posisi sebagai “abang-abangan” atau “tokoh paling vokal” kerap menciptakan tekanan untuk terus tampil, bersuara, dan memimpin, bahkan saat hal itu menjauhkan seseorang dari kejujuran terhadap dirinya sendiri. Di sinilah bad faith kembali bekerja—saat peran dan pengakuan lebih dikejar daripada perenungan dan komitmen sejati. Gie mengajak kita kembali kepada keberanian untuk hidup otentik: berpikir jernih, bersikap jujur, dan menolak kebohongan terhadap diri sendiri yang dibungkus dalam selubung heroisme palsu.
Dalam dinamika kehidupan kampus, kita kerap menyaksikan kemunculan figur-figur yang menampilkan diri sebagai simbol perlawanan. Mereka mencitrakan diri sebagai “aktivis sejati”, mengangkat isu-isu populer dengan gaya penuh percaya diri, seolah mereka adalah pewaris sah semangat pembebasan. Namun, di balik slogan dan poster-poster berdebu, seringkali perlawanan ini kehilangan kedalaman: tidak lahir dari pemahaman, melainkan dari kebutuhan untuk tampak kritis. Di sinilah kita dapat meminjam pisau analisis dari Jean-Paul Sartre, terutama konsep mauvaise foi atau “itikad buruk”, untuk membedah absurditas dari perlawanan yang hanya menjadi panggung bagi ego dan pengalihan dari tanggung jawab eksistensial.
Pendekatan Sartre ini menemukan gema dalam catatan dan kehidupan Soe Hok Gie, aktivis dan pemikir muda Indonesia yang secara jujur mengkritik kemunafikan dalam gerakan politik. Dalam Catatan Seorang Demonstran (1983), Gie tidak segan mencatat bahwa banyak perlawanan yang dilakukan hanya demi posisi, popularitas, atau dorongan personal lain. Namun ia dengan tegas menolak romantisasi terhadap oposisi dan justru menyerukan integritas serta kesadaran kritis. Gie menulis bukan sebagai aktor yang sibuk memproklamirkan dirinya, tetapi sebagai pemuda yang terus-menerus bertanya: “Apakah yang kita perjuangkan ini sungguh adil dan bermakna?”
Dari Sartre dan Gie, kita belajar bahwa perlawanan bukan soal membangkang demi tampil gagah. Ia menuntut kejujuran terhadap diri sendiri, refleksi terus-menerus, dan kesediaan untuk hidup dengan konsekuensi dari pilihan yang diambil. Kritik tanpa pemahaman adalah bentuk penghindaran terhadap tanggung jawab eksistensial. Maka ketika ada yang dengan mudahnya mencemooh gerakan lain sebagai “tidak radikal,” kita layak bertanya: apakah itu sungguh kritik, atau hanya cermin dari keengganan untuk berpikir secara jujur?
Referensi
Edwards, M. (2021). Sartre and beauvoir on women’s psychological oppression. Sartre Studies International, 27(1), 46-75.
Gie, S. H. (2005). Catatan seorang demonstran. Penerbit LP3ES.
Rasool, B. and Ibrahim, J. (2023). From neurotic anxiety, guilt of an unlived life, and bad faith into self-unfoldment in alice walker’s possessing the secret of joy. Zanco Journal of Humanity Sciences, 27(SpA).
Sartre, J.-P. (2007). Being and nothingness: An essay in phenomenological ontology (H. E. Barnes, Trans.). Routledge.
Tichavakunda, A. (2021). Studying and challenging racism in higher education: naming bad faith to understand the “logic” of racism. Education Sciences, 11(10), 602.
Valčo, M. and Bírová, J. (2024). Freedom and responsibility in jean-paul sartre’s existentialist philosophy: a christian personalist critique. Philosophia International Journal of Philosophy, 25(1).








Berikan komentar