Membaca Ironi Sigmund Freud: Dari Oedipus sampai Ketegangan Semitik

The March of the Weavers karya Kathe Kollwitz
The March of the Weavers karya Kathe Kollwitz

Dalam satu lawatan, saya menjumpai buku menarik yang mungkin memicu reaksi kebrutalan pembaca. Saya pikir buku yang saya temui juga tidak serta-merta bisa diterima semua kalangan pembaca kita. Terutama persoalan budaya timur menilai agama yang begitu agung dengan konsep ketuhanan yang sangat jelas.

Buku Ateisme Sigmund Freud coretan tajam Hans Kung itu justru membuat saya menyelam lebih dalam. Bukan hanya karena pembawaan bahasa renyahnya yang mampu membawa saya dalam penghayatan, melainkan Kung mampu membawa saya pada rekaan kondisi ironi Freud masa kecil hingga menjadi psikolog dunia yang diakui teori-teorinya. Tidak berlebihan jika mengatakan kisah hidupnya ironi. Pasalnya, Freud—baik diakui secara langsung maupun tidak, gagasannya menghujam banyak hal persoalan materialistik kaum pemeluk agama. Hal itu diperjelas murid Freud, Ernest Jones, bahwa gurunya itu tumbuh tanpa keyakinan apa pun terhadap Tuhan atau keabadian dan tampak tidak akan pernah membutuhkannya (Hans Kung, 2019).

Pernyataan Jones membawa semacam kepahitan fakta bahwa tokoh sentral ‘Sang Psikoanalisis’ tersohor itu ternyata memiliki ketidaksesuaian kondisi dengan psikologi dewasa ini. Boleh dikata, jika kita sekarang melihat psikologi sebagai ilmu praksis yang menyelaraskan chaos psikis terhadap spiritualitas alam bawah sadar, ternyata sangat jauh dari kondisi Freud. Bahkan Freud terhujam banyak kritik, terutama dari kelompok penganut budaya timur, lebih-lebih para pemeluk agama.

Kritik itu tidak hanya sekedar lontaran. Selepasnya, bermunculan psikologi nafas baru dengan mendudukkan ilmu psikis ini pada landasan agama. Konsep-konsep ketuhanan kembali diusung sebagai respons atas pemikiran dekonstruktif ala barat itu. Seperti (Pizaro, 2008) agama yang disangsikan Freud, justru saat ini dilampiaskan pada “Psikologi Islami” yang tengah berkembang pesat. Tafsiran kepribadian yang dikuasai barat kini mulai beranjak dan sedikit demi sedikit mulai tergeser.

Namun, bukan mempersoalkan ketegangan psikologi barat dan timur—yang ditengarai dengan psikologi Islam dewasa ini, justru dalam proses perjalanan hidup Freud mengusik pembaca. Tulisan Kung itu menyimpan satu fakta mendalam semacam pemakluman-pemakluman terhadap ironi hidup Freud, menepis anggapan pembaca yang mungkin sudah sangat tersulut dengan kebrutalan pemikirannya.

Dalam narasi Kung, Freud justru tertulis jelas sebagai Yahudi yang taat. Kenyataan yang terjadi sangat bertolak belakang. Sang murid melihat perbedaan jauh dari sosok Freud muda hingga ia secara terang-terangan memproklamirkan gagasan Oedipus Complex saat usia matangnya.  Kung juga memperjelas jika persoalan psikoanalisis Freud yang sangat mekanik disebabkan oleh perjalanan keluarga yang kompleks. Hal itu ditengarai dimulai dari kematian istri pertama ayahnya dan juga pernikahan ayahnya dengan wanita lain yang belum genap dua puluh tahun. Bahkan empat puluh tahun kemudian, setelah kepergian ayahnya, ia mulai mencapai analisis diri pada titik puncak neurosis: kecemburuan buta dan kebencian pada ayahnya. Ia menggambarkan dalam personifikasi kekuasaan, ancaman, tekanan dan nafsu pada ibu mudanya. Kejadian semacam itulah yang ia sampaikan dengan Oedipus Complex (Hans Kung, 2019). 

Freud meminjam istilah Oedipus Complex sebetulnya memberikan sinyal jika pemikirannya soal hasrat dan kekuasaan manusia sama seperti ironi mitologi Oedipus yang masyhur. Sebuah kisah mitologi yang saya sendiri merasakan kompleksitas kekejaman alur di dalamnya. Bagaimana bisa seorang anak kerajaan membunuh ayahnya dan menikahi ibunya sendiri. Bayi itu adalah Oedipus, bayi kerajaan yang dibuang dan diasuh oleh pasangan kerajaan lain (Freud, 2017). Diketahui ayah Oedipus, seorang raja Thebes ketakutan setelah melihat ramalan jika akan lahir seorang keturunan yang akan membunuhnya dan menikahi istrinya.

Oedipus ditemukan seorang gembala dan diserahkan pada kerajaan Korintus, yakni Raja Polybus dan Ratu Merope. Oedipus mendewasa dengan menjalani kehidupan sebagai seorang anak yang dihujam tuduhan “anak haram” dari lingkungannya. Oedipus hidup dalam ironi pencarian jati diri, ia seorang pemabuk yang sangat dibenci. Lebih-lebih ia adalah orang yang terusir, bepergian jauh mencari kebenaran sosok orang tua aslinya. Hingga pada akhir cerita ia harus menelan pahit fakta jika ia sendiri yang menikahi ibunya dan berhasil melawan raja-raja di sepanjang perjalanannya.

Kembali menyoal Freud, ironi-ironi yang lain juga muncul membentuk pribadi Freud sejak kecil. Ia memandang ayahnya dengan geram dan benci tatkala mendapati Sang Ayah membentak anak Yahudi yang menjatuhkan topi barunya ke lumpur. Pun apa yang terjadi saat ia mengenyam pendidikan di sekolah yang didominasi oleh orang-orang Kristen anti-semitik, cacian teman-temannya padanya membuat Freud menyimpan luka mendalam, sampai-sampai pada usia senjanya pun ia masih berujar jika “Di atas semuanya, saya menjumpai diri saya merasa inferior dan asing karena saya Yahudi. Saya sepenuhnya menolak untuk semua ini.” (Hans Kung, 2019).

Dengan demikian, sebetulnya bisa dikatakan sangat sah jika melihat keberingasan pemikiran Freud yang cenderung terjun bebas karena ia dibentuk dari kompleksitas dan ketidaklaziman lingkungan yang mendewasakannya. Dari situlah pemakluman-pemakluman pembaca mungkin bisa diterima. Bahkan, ironi Freud juga semakin di ambang pertaruhan reputasinya manakala Carl Gustav Jung hadir menempel psikoanalisisnya. Walau terbilang Jung hanyalah junior di bawahnya—sebagian besar menyebut muridnya, Freud justru tidak ingin kehilangan otoritasnya. Ia membantah Jung dengan mengatakan bahwa Jung tidaklah elegan persoalan analisis psikoanalisisnya saat mereka berdua dipertemukan di Amerika Serikat untuk memberikan beberapa pidato perkuliahan (Setiawan, 2016). Dari pertemuan keduanya, kelaziman-kelaziman atas ironi Freud semakin dimunculkan. Jung lahir dari tengah keluarga pendidikan, bapaknya seorang pendeta dan juga kakeknya seorang anggota dewan katolik di Mainz Jerman (Setiawan, 2016). Latar belakang religiusitas itulah yang menjadikan Jung mendapatkan banyak pembelaan atas konsep-konsep psikoanalisisnya. Bahkan Jung semakin mendapatkan banyak peminat manakala karya-karya psikoanalisisnya menyentuh moralitas manusia-manusia modern, seperti salah satunya karya yang berjudul Modern Man In Search of a Soul tahun 1933.

Konsep-konsep pemikiran Freud memang tidak bisa lepas dari pengalaman masa lalu. Dorongan-dorongan manusia untuk mencari kesenangan dan menurunkan ketegangan yang ia rumuskan juga menjadi satu jawaban atas gambaran lingkungan yang ia hadapi. Selain itu, psikologi yang melekat dengannya sangatlah identik dengan “Psikologi Dalam” dibanding dengan aliran-aliran lainnya. Hal itu juga menjadi jawaban atas kecemasan-kecemasan yang ia rasakan sendiri selama hidupnya. Segenap tuduhan tentang keganasan Freud pada agama juga harus melihat sampai sini. Pasalnya, seperti yang Kung katakan di bagian awal bukunya, jika eksperimen-eksperimen Freud berkutat pada orang-orang berpenyakit kejiwaan yang tidak memiliki otorisasi pada agama. Sehingga tidaklah mengherankan jika ia harus menerima pertentangan bertubi-tubi karena menjadikan eksperimen orang-orang tanpa otorisasi itu sebagai hasil temuan. Dan pada akhirnya, pemakluman-pemakluman soal pemikiran Freud dimunculkan dalam dua sebab: ketegangan dengan pemeluk agama para anti-semitik dan juga ketegangan keluarganya.

Muhammad Farhan

Penulis dan alumnus Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarya

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.