“Dunia kita terbakar. Kita menghadapi krisis global yang tidak pernah terjadi sebelumnya.”
Begitu kalimat pertama Robinson dalam bukunya untuk memprovokasi pembacanya. Krisis global yang dimaksud dalam kalimat provokatif tersebut adalah krisis kemanusiaan, krisis yang mendekati proporsi sistemik, mengancam kemampuan miliaran orang untuk bertahan hidup, karena terjadi hampir di setiap lini kehidupan manusia yang saling terkait; ekonomi, sosial, politik, budaya, ideologis, dan ekologis. Belum lagi krisis eksistensial, nilai-nilai, dan bahkan keberadaan kita sendiri. Pada tahap tertentu krisis ini akan menimbulkan momok keruntuhan peradaban dunia dan akan melahirkan “Abad Kegelapan” baru.
William I. Robinson memposisikan diri, yang dalam pemikiran Antonio Gramsci disebut sebagai intelektual organik. Ia merasa bertanggung jawab untuk mengatasi krisis kemanusiaan tersebut dengan menulis buku Global Capitalism and the Crisis of Humanity ini. Dalam buku ini, Robinson melihat sosial ekonomi yang telah mengglobal menjadi dasar dan penyebab krisis kemanusiaan tersebut. Lantaran sistem sosial ekonomi yang mengglobal, maka krisis di satu tempat cenderung mewakili krisis secara keseluruhan. Negara-Negara nasional menghadapi krisis legitimasi yang meningkat karena mereka gagal memenuhi keluhan sosial dari kelas pekerja lokal dan kelas populer yang mengalami mobilitas ke bawah, pengangguran, ketidakamanan yang meningkat, dan kesulitan yang lebih besar.
Buku ini sangat rimbun dengan data-data yang menunjukkan bahwa kapitalisme global adalah nyata. Baginya, kapitalisme global adalah gagasan bahwa kita tidak dapat memahami zaman baru melalui paradigma negara-sentris untuk menjelaskan dinamika politik dan ekonomi dunia sebagai persaingan antar kelas-kelas nasional dalam sistem antar negara. Robinson menggunakan materialisme historis sebagai pisau analisisnya untuk membantu memahami hubungan dialektis antara kekhasan eksistensial, kondisi struktural yang mendasarinya, dan proses yang menghubungkannya dengan yang umum dan universal. Ia menggunakan istilah “struktural-konjungtural” untuk menggambarkan metodologinya yang berfokus pada titik konvergensi struktur agensi. Robinson menjadikan teori untuk menerangi realitas, bukan membuat realitas sesuai dengan teori. Teori membentuk proses berpikir peneliti, meletakkan dasar bagi kerangka analitis mereka, memandu proposisi dan hipotesis penelitian mereka.
Konstruksi Kapitalisme Global
Alih-alih mengabaikan, Robinson dengan jeli melibatkan para pengkritiknya, kecuali beberapa kritik yang ia anggap tidak serius lantaran memang tidak punya dasar empiris dan historis. Dia mengklarifikasi teori kapitalisme yang diajukan sebelumnya sambil melanjutkan diskusi intelektualnya. Salah satu pembahasan penting dalam diskusi tersebut adalah tuntutan Robinson tentang pendekatan negara-bangsa-sentris dalam memahami globalisasi. Robinson menantang gagasan bahwa ada pengaturan struktural yang konstan secara historis dalam sistem internasional, dan bahwa perubahan internasional dapat dijelaskan dengan menganalisis variasi lintas negara-bangsa secara eksklusif. Menurutnya, ketika kapital telah ditransnasionalisasi, maka ia telah menyebar ke berbagai wilayah nasional melalui sirkuit produksi yang terglobalkan. Saat Robinson mengungkap cara kerja kelas kapitalis transnasional, ia menunjukkan sejauh mana kelas ini lepas dari negara nasional tertentu dan penduduknya. Setiap bab dalam buku ini Robinson menyodorkan data-data yang sangat banyak dan faktual hanya bertujuan menanggapi pengkritiknya dan memperkuat teori kapitalisme global yang diajukannya ini.
Sekalipun Robinson menantang pendekatan negara-bangsa-sentris, bukan berarti mengabaikan konsep negara-bangsa sebagaimana yang dituduhkan oleh para ahli hubungan internasional dan ahli politik bahwa teori yang diajukan Robinson telah menyatakan matinya negara-bangsa. Menurut Robinson, pendekatan negara-sentris memperkuat institusi dengan menggantikannya dengan kekuatan sosial dan kemudian memberi mereka karakter tetap dalam penjelasan kausal. Negara-negara nasional diberikan agensi dalam menjelaskan dinamika politik dan ekonomi global.
Institusi seperti negara, bagaimanapun, bukanlah aktor dengan kehidupan mereka sendiri yang mandiri; mereka adalah produk kekuatan sosial yang mereproduksi serta memodifikasi mereka dan yang kausal dalam penjelasan sejarah. Kekuatan sosial beroperasi melalui banyak institusi dalam jaringan konflik dan kerjasama yang kompleks dan berubah-ubah. Kita perlu fokus bukan pada negara sebagai agen makro fiktif, tetapi pada konstelasi kekuatan sosial yang berubah secara historis yang beroperasi melalui berbagai institusi, termasuk aparatur Negara yang sedang dalam proses transformasi sebagai konsekuensi dari agen kolektif.
Selanjutnya Robinson mempermasalahkan cara dominasi agenda negara-sentris mengatur pengumpulan data kontemporer. Menurut Robinson, kelas kapitalis transnasional telah menjadi hegemonik, dan negara transnasional adalah mekanisme utama di mana hegemoni ini dijalankan di sekitar negara-bangsa. Ia berpendapat bahwa analisis tentang krisis kapitalisme global harus bersifat historis, karena harus mengatasi kecenderungan mengasumsikan keteraturan struktural untuk mendasari yang hanya terwujud dalam keadaan historis nyata di mana kontingensi dan agensi ikut bermain.
Hegemoni kapitalisme transnasional telah menghasilkan kelas kapitalis transnasional yang sadar diri. Perebutan hegemoni dalam sistem global seharusnya tidak dilihat dari segi perselisihan antar Negara-bangsa tetapi dari segi kelompok sosial dan kelas transnasional dan perjuangan mereka untuk mengembangkan proyek-proyek hegemonik dan kontra hegemoni. Hubungan kelas kapitalisme global sekarang begitu terinternalisasi dalam setiap Negara-bangsa sehingga citra klasik imperialisme sebagai hubungan dominasi eksternal sudah ketinggalan zaman.
Hegemoni yang luas akan tetap menjadi ilusi bagi blok kapitalis global. Negara transnasional lebih siap untuk membentuk konsensus ideologis dan politik di antara para elit yang berorientasi transnasional. Mengenai hal ini, kelas kapitalis transnasional menjalankan dominasi politik yang tertulis secara struktural tetapi bukan hegemoni ideologis atas mayoritas masyarakat global yang miskin, melainkan hegemoninya berada dalam strata dominan kelompok kelas kapitalis dan elit di seluruh dunia. Elit transnasional tidak mampu membentuk blok historis kapitalis global yang stabil.
Alternatif Masa Depan
Inti dari proses yang terkait dengan globalisasi kapitalis ini adalah hubungan modal-tenaga kerja baru berdasarkan deregulasi, informalisasi, fleksibel, paruh waktu, imigran, kontrak, dan pengaturan tenaga kerja yang tidak tetap. Pekerja semakin menjadi komoditas telanjang untuk diintegrasikan ke dalam dan dikeluarkan dari sirkuit akumulasi. Kontingen kelas pekerja di seluruh dunia mendapati diri mereka tidak stabil dan terjerumus ke dalam krisis. Organisasi Buruh Internasional melaporkan bahwa 1,53 miliar pekerja di seluruh dunia berada dalam pengaturan pekerjaan yang “rentan” pada tahun 2009, mewakili lebih dari 50 persen tenaga kerja global.
Setelah krisis tahun 1970-an, modal menjadi global sebagai strategi kelas kapitalis transnasional yang muncul dan perwakilan politiknya untuk menyusun kembali kekuatan kelasnya dengan membebaskan diri dari batasan negara-bangsa. Kendala-kendala ini yang disebut kompromi kelas telah dipaksakan pada kapital melalui perjuangan massa selama beberapa dekade di seluruh dunia oleh kelas-kelas populer dan kelas pekerja yang dibendung secara nasional.
Munculnya modal transnasional pada akhir abad kedua puluh mampu mengambil keuntungan dari mobilitas baru ditemukan dan bentuk-bentuk baru dari organisasi spasial global untuk mematahkan kekuatan tenaga kerja terorganisir terikat secara teritorial, guna mengembangkan hubungan modal-kerja baru berdasarkan fragmentasi dan fleksibilitas tenaga kerja, serta menggeser korelasi kelas dan kekuatan sosial di seluruh dunia yang mendukungnya. Atas dasar ini modal transnasional mencapai peningkatan kekuatan kelas atas kelas pekerja berbasis nasional dan pengaruh struktural yang luar biasa atas manajer negara. Selama tahun 1980-an dan 1990-an, elit berorientasi global di sebagian besar negara di seluruh dunia merebut kekuasaan negara untuk menentukan kebijakan negara yang mendukung globalisasi kapitalis, dan kebijakan neoliberal membuka peluang baru yang luas untuk akumulasi transnasional.
Sekalipun demikian, Robinson menegaskan bahwa negara-bangsa tetap menjadi aktor yang relevan dalam teori kapitalisme global. Sebagai misal, Robinson mencatat bahwa ada respons proto-fasis terhadap krisis dalam bentuk gerakan nasional seperti Tea Party di Amerika Serikat, yang ia cirikan sebagai respons terhadap hilangnya “hak istimewa kasta” yang dinikmatinya di pasar tenaga kerja nasional. Robinson khawatir tentang munculnya kembali fasisme nasional sebagai kekuatan politik, dan sebagai sarana untuk memperdalam perluasan intensif tatanan kapitalis, sebagai kemungkinan konsekuensi dari krisis ekonomi saat ini. Alternatif masa depan yang dia impikan termasuk reformasi sistem kapitalis dari atas oleh elit transnasional, dan gerakan populer untuk “mematahkan legitimasi kapitalisme global” dan mengganti logika pasar dengan logika yang berorientasi sosial.
Robinson mengklaim bahwa krisis kemanusiaan masih dapat dihindari melalui redistribusi kekayaan secara besar-besaran dari kelas kapitalis transnasional kepada kaum miskin global. Dengan melakukan ini, ia menegaskan kembali pentingnya kekuatan negara, karena redistribusi ini akan membutuhkan pembalikan kebijakan neoliberal di tingkat negara-bangsa. Namun, karena karakter transnasional dari formasi modal yang dominan, gerakan yang berhasil untuk mencegah krisis harus menjadi bagian dari proyek kontra hegemoni transnasional yang lebih ekspansif. Kondisi krisis sedemikian rupa sehingga menyebabkan penderitaan manusia yang tak terhitung, tetapi juga menghadirkan peluang untuk jenis perubahan sistemik besar yang diperlukan untuk menghindari kebangkitan fasisme nasional dan bencana ekologis.
Akhirnya kita memahami bahwa karya Robinson ini sangat berharga untuk memahami tindakan kolektif transnasional. Sebab, pemahaman semacam ini akan bergantung pada kemampuan berteori dan “menghistoriskan” hubungan dialektis antara struktur dan agensi transnasional. Pemahaman tentang kapitalisme global dan krisis terbaru diperlukan untuk membuat teori struktur peluang politik transnasional dan tanggapan agen terhadap lingkungan politik transnasional.