fbpx

Manifesto Keadaban Politik di Tengah Absurditas Demokrasi

Keadaban politik harus dibangun secara simultan oleh seluruh masyarakat, dengan kesadaran akan pentingnya adab dan budi pekerti dalam melakukan segala aktivitas sosial.
New York Voting Place karya E. Benjamin Andrews

Fenomena defisit etika politik pada pejabat publik dewasa ini menjadi ironi bersama, lantaran figur yang diamanahkan rakyat untuk membangun kesejahteraan bagi seluruh masyarakat senantiasa bertindak tidak sesuai dengan norma dan etika politik sehingga dinilai telah jauh dari keadaban politik. Dewasa ini banyak pejabat publik yang seolah mengalami amnesia secara mendadak, tatkala tagihan mengenai janji politiknya kembali dipertanyakan rakyat sebagai tuntutan atas kebijakan politik yang bertolak dari rayuan politis bernada ‘perubahan’, ‘pembangunan’, ‘kesejahteraan’, ‘kemakmuran’, hingga ‘keadilan’ yang terkandung dalam janji politik saat moment kampanye yang dilaksanakan oleh sebagian pejabat publik dan elit politik di Indonesia.

Potret miris etika politik juga terlukiskan dalam pahitnya fakta yang diungkapkan oleh Sri Margana dalam (Carey, 2016) bahwa kebiasaan korupsi yang terkonstruksi pada praktik sosial di Indonesia telah menjadi legalitas yang sah sehingga korupsi dirasa sulit untuk diberantas dalam budaya masyarakat Indonesia. Sebuah paradoks yang nampak benderang pada fenomena korupsi ialah bahwa semakin banyaknya pengungkapan kasus korupsi oleh pejabat publik yang dilakukan KPK, maka seolah masyarakat telah mempertontonkan kemeriahan prestasi pada suatu institusi. Nyatanya, situasi paradoks tersebut justru mengafirmasi bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi budaya atau habitus buruk bangsa yang dirasa semakin membanal di hampir seluruh institusi. 

Pudarnya etika politik juga mendorong demokrasi untuk menemui senja kalanya dalam pusaran otoritarianisme. Seringkali pejabat publik pada seluruh sektor melakukan pengkhianatan demokrasi dengan memasung hak dan kebebasan individu untuk berpendapat. Adanya pasal yang terindikasi menguatkan imunitas Presiden, Wakil Presiden, dan Lembaga Negara sebagaimana yang tercantum pada pasal 218, 219, 240, 241 dalam KUHP yang disahkan pada 6 desember 2022 dianggap sebagai persoalan genting demokrasi. Lebih lanjut, pelarangan penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme pada pasal 188 juga dinilai melunturkan demokrasi, sebab paham tersebut lumrah didiskusikan di universitas dan ragam lingkar studi. Dan masih banyak pasal-pasal pada KUHP yang menyisakan kontroversi di masyarakat, sehingga dinilai semakin mengaburkan nilai dan makna demokrasi.

Menelusuri Keabsurdan Demokrasi

Albert Camus seorang filsuf eksistensialisme beranggapan bahwa absurditas kehidupan manusia terjadi ketika hadirnya perasaan ketidakbermaknaan dan hilangnya tujuan hidup sehingga manusia senantiasa mengalami kehampaan dan ketidakjelasan dalam hidup (Hiplunudin, 2019, p. 32). Ilustrasi keabsurdan hidup manusia sebagaimana yang diuraikan oleh Camus tampaknya juga terjadi pada sistem demokrasi di Indonesia yang saat ini semakin menemui kehampaan makna dan nilai dalam pelaksanaannya. Aktor politik yang berperan untuk membangun stabilitas demokrasi saat ini telah kehilangan kompas moralnya sehingga demokrasi semakin kehilangan arah dan maknanya. 

Absurditas demokrasi menunjukkan bahwa terdapat ruang hampa yang menjadi jurang ketidakjelasan antara penguasa sebagai pihak yang mendapatkan amanah dan rakyat sebagai pihak yang memberikan amanah. Ketidakjelasan tersebut dapat dilihat dari macetnya sistem demokrasi perwakilan (democracy representative). Yasraf Amir Piling mengungkapkan jika ketidakjelasan tersebut tercipta karena kekosongan substansial dalam lembaga, diantaranya ialah terdapat lembaga perwakilan, namun tidak didapati keterwakilan; ada lembaga pengadilan, namun tidak ada keadilan; ada lembaga keamanan, namun tidak ditemukan rasa aman; ada lembaga penjamin, namun tidak ada jaminan. Dengan kata lain, ada wakil rakyat, namun tidak ada keterwakilan rakyat, ada rakyat, namun tidak ada suara rakyat, dan ada ruang publik, namun tidak ada suara publik (Piliang, 2020, p. 313).

Kekosongan substansial dalam lembaga yang menyebabkan jurang ketidakjelasan antara penguasa dan rakyat tentu menyebabkan semakin meningkatnya krisis kepercayaan terhadap lembaga Pemerintahan. Keterwakilan yang menjadi ruh demokrasi perwakilan justru tenggelam dalam pusaran kepentingan elite politik. Pembajakan demokrasi oleh segelintir kelompok tentu menyebabkan demokrasi hanya menjadi pajangan semata. Kondisi tersebutlah yang menurut George Sorensen sebagai Frozen Democracy atau bekunya demokrasi. Lebih lanjut, Sorensen dalam (Nashir, 2021) mengungkapkan penyebab dari bekunya demokrasi adalah karena demokrasi hanya dinikmati segelintir kaum elite atau kelompok tertentu, sementara mayoritas rakyat hanya sekadar menjadi pemberi suara politik belaka tanpa memiliki akses terhadap keputusan penting dan strategis yang memangku hajat hidupnya. 

Bagaimana situasi absurditas senantiasa awet dalam tubuh demokrasi Indonesia, maka kecemasan yang dituangkan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam karyanya “How Democracies Die” mengenai ‘kematian demokrasi’ akan semakin dekat dan lambat laun demokrasi di Indonesia akan menemukan ajalnya. Levitsky dan Zilbatt mengutarakan bahwa dewasa ini matinya demokrasi bukan dari rezim otoritarian atau proses kudeta militer, namun demokrasi mati di tangan rezim pemerintahan yang terpilih secara demokratis, namun membajak demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan dan praktik kekuasaan politik otoritarian (Levitsky & Ziblatt, 2019). Dengan demikian, untuk menyelamatkan nyawa demokrasi dari cengkraman elite politik yang tidak bertanggung jawab, maka dibutuhkan partisipasi oleh seluruh elemen masyarakat sebagai ruh untuk menjalankan roda demokrasi. 

Pudarnya Keadaban Politik

Politik berkeadaban tentu menjadi cita-cita bangsa di seluruh negara. Walaupun dalam pandangan Machiavelli bahwa untuk mencapai sebuah tujuan kekuasaan, maka segala cara harus digunakan tanpa menggunakan moralitas sekalipun, namun untuk mencapai kondisi idealnya politik, tentu moralitas harus menjadi nilai yang terkandung dalam segala aktivitas politik guna tercapainya common good.  Dengan demikian, maka keadaban politik harus dibangun terlebih dahulu pada seluruh elite politik dan masyarakat agar perilaku politik tidak berseberangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Menurut Azyumardi Azra, bahwa keadaban publik menjadi modal dasar budaya untuk mencegah terjadinya kemerosotan demokrasi. Dan bagian penting dari keadaban publik ialah keadaban politik. Sosok intelektual muslim tersebut mendefinisikan keadaban politik sebagai cara berperilaku dan bertindak sesuai norma politik sebagaimana yang digariskan pada sistem politik, regulasi politik, konvensi politik, dan political correctness. Lebih lanjut, keadaban politik juga berarti kepantasan, kepatuhan, dan kelaziman sosial, budaya, dan agama terkait perilaku dan tindakan politik individu, atau kelompok, serta partai politik (Azra, 2021). 

Utamanya, keadaban politik dibangun atas landasan budaya humanis yang dapat membangun hubungan kesetaraan, saling menyantuni, saling menghargai, dan saling menghormati antar individu maupun kelompok sehingga dapat menyumbat konflik yang berlatarkan perbedaan. Pudarnya keadaban politik pada segelintir elite politik menurut Haedar Nashir (Nashir, 2022, p. 160) disebabkan karena ‘nafsu at-takatsur’ (nafsu kemegahan duniawi)  yang melebihi takaran, sebagaimana yang tercermin pada figur antagonis seperti Qarun, Haman, dan Fir’aun yang begitu viral dalam Al-Qur’an karena sifat tamak dan serakahnya. Lantas Haedar Nashir mengajak elite politik dan seluruh masyarakat agar hendaknya memperkaya dimensi rohaninya, guna terhindar dari hasutan nafsu at-takatsur.

Keadaban politik yang semakin memudar menjadi buntut ketidakdewasaan masyarakat dalam berpolitik sehingga memicu suhu politik yang semakin memanas, terlebih menjelang kontestasi Pemilu. Fenomena politisi yang cenderung memberikan kesan negatif terhadap publik, turut menyeret publik untuk terlibat dalam pentas politik yang sarat akan resistensi sehingga berpotensi menciptakan polarisasi di masyarakat. Terlebih dalam dunia digital, dimana penggunanya dengan mudah memproduksi informasi bermuatan politik sehingga politik adu domba semakin membayangi masyarakat yang turut mengkonsumsi informasi.  

Budi Hardiman berkesimpulan bahwa homo digitalis (makhluk digital) telah bergeser menjadi homo brutalis (makhluk yang brutal) yang terbentuk atas kehendak mesin-mesin digital sehingga memporak-porandakan hasrat, emosi, dan pikirannya terhadap fenomena tertentu (Hardiman, 2021, pp. 45–46). Dengan demikian, pergulatan politik pada abad informasi saat ini semakin mengancam dimensi moralitas masyarakat. Budi pekerti dalam politik telah memudar sehingga etika politik sebagai rambu-rambu politik terus dilanggar demi menggapai serta melanggengkan kekuasaan. 

Mewujudkan Politik Berkeadaban

Dalam tradisi pendidikan Islam, adab dan akhlak menjadi pondasi utama dalam melakukan aktivitas menuntut ilmu, sehingga akumulasi pengetahuan yang didapatkan seseorang dapat ditopang oleh dimensi rohani agar tidak menggunakan akal untuk perilaku menyimpang, yang salah satu manifestasinya adalah tindak korupsi. Istilah ‘Rasionalitas Instrumental’ oleh Jurgen Habermas sangat tepat untuk menggambarkan kelicikan masyarakat industri yang selalu mengaitkan kepentingan dalam sebuah diskursus sehingga menjadi ilusi yang menipu masyarakat melalui kelincahan rasio dan retorika yang sering dipraktekkan oleh banyak politisi di Indonesia. 

Untuk mewujudkan keadaban politik tentu pendidikan menjadi kunci utama. Sehingga Azyumardi Azra mendorong seluruh lembaga pendidikan untuk senantiasa melakukan sosialisasi yang tidak hanya sekadar memberikan ilmu pengetahuan semata, namun juga memberikan praktik keadaban politik dalam tiap proses pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Bahkan keluarga menjadi lokus utama dalam membentuk keadaban politik (Azra, 2021). Sejalan dengan itu, sosiolog ternama yakni Anthony Giddens dalam teori Strukturasi dan Agensi menyatakan bahwa tindakan sosial individu sangat berpengaruh untuk menguatkan atau melemahkan tatanan sosial di dalam kehidupan masyarakat (Kurniawan, 2020, p. 115). Dengan demikian, maka kesadaran kolektif menjadi prasyarat untuk membangun keadaban politik di Indonesia.

Tanpa disadari, bahwa teori kontroversial Charles Darwin mengenai evolusi dari binatang menjadi manusia, dalam konteks politik dapat diserupakan. Dalam konteks politik, bukan binatang yang berevolusi menjadi manusia, namun manusialah yang sifatnya semakin berevolusi menjadi binatang. Yasraf Amir Piliang menguraikan bahwa dengan sifat animalitas dalam diri manusia, dapat mendorong para pelaku politik untuk terus tidak mendayagunakan akal dan pikirannya secara bijaksana sehingga dapat menjadikan diktum Hobbes “manusia serigala bagi sesama” menjadi nyata (Piliang, 2020, p. 250). Untuk itu, keadaban politik harus dibangun secara simultan oleh seluruh masyarakat, dengan kesadaran akan pentingnya adab dan budi pekerti dalam melakukan segala aktivitas sosial. Besar harapan kebiadaban politik yang menyelimuti perilaku politisi dengan segera dapat bertransformasi menjadi keadaban politik yang mampu mengembalikan demokrasi nasional pada titik equilibriumnya

Referensi

Azra, A. (2021). Membangun Keadaban Politik. Kompas.Id. https://www.kompas.id/baca/opini/2021/03/18/membangun-keadaban-politik

Carey, P. (2016). Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia. Komunitas Bambu.

Hardiman, F. B. (2021). Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. PT Kanisius.

Hiplunudin, A. (2019). Filsafat Eksistensialisme (Cetakan Ke). Suluh Media.

Kurniawan, K. N. (2020). Kisah Sosiologi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2019). Bagaimana Demokrasi Mati. Gramedia Pustaka Utama.

Nashir, H. (2021). Agama, Demokrasi, dan politik Kekerasan. Republika.

Nashir, H. (2022). Indonesia: Ideologi dan Martabat Bangsa. Republika.Piliang, Y. A. (2020). Setelah Dunia Dilipat. Cantrik Pustaka.

Ahmad Baiduri
Ahmad Baiduri

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content