Pendidikan dianggap sebagai cahaya penuntun manusia dalam menjalani kehidupan yang dilaluinya. Proses perkembangan kehidupan manusia dari masa ke masa tentu membawa banyak perubahan, baik secara positif maupun negatif. Hal ini juga turut berimbas pada kondisi pendidikan yang menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah globalisasi sebagai imbas perkembangan zaman.
Globalisasi sebagai kondisi yang sedang dan akan terus berlangsung mempengaruhi berbagai sendi kehidupan, baik secara individu, berbangsa dan bernegara. Kenyataannya, globalisasi ini dipengaruhi oleh adanya kepentingan pasar yang juga berimbas pada pendidikan, sehingga membuat pendidikan tidak lagi dilihat sebagai upaya mencerdaskan sebuah bangsa ataupun upaya memerdekakan manusia, namun pendidikan kini bergeser sebagai komoditas (Saksono, 2010).
Sebagai komoditas, pendidikan kian hari hanya dianggap sebagai alat atau barang yang diperjualbelikan, bukan lagi sebagai hak yang seharusnya didapatkan oleh seluruh individu. Para individu yang mengenyam pendidikan hanya diarahkan menjadi “mesin” penggerak industri. Kompetensi pendidikan sendiri diarahkan kepada kepentingan pasar, yang mana membuat seorang terdidik hanya menguasai sebuah ilmu “produksi” namun tidak dengan pemahaman keadilan sosial, semangat kebangsaan, ataupun sifat kemanusiaan dan moral luhur sebagai warga negara (Saksono, 2010).
Melihat problematika yang dialami, sebuah konsep pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara bisa ditawarkan sebagai salah satu solusi menghadapi situasi yang terjadi. Sebagai seorang aktivis pendidikan asal Yogyakarta yang juga merupakan aktivis kemerdekaan Indonesia, Ki Hadjar merupakan sosok yang lekat dikenal sebagai pelopor pendidikan bagi kaum pribumi-Indonesia dengan salah satu gerakannya dalam membuat Perguruan Taman Siswa.
Sebagai salah satu tokoh pendidikan, Ki Hadjar menawarkan beberapa gagasan yang masih relevan untuk di aplikasikan guna menjawab tantangan zaman melalui pendidikan. Melalui konsepsi pendidikan Ki Hadjar, penulis berupaya meninjau lebih lanjut penerapan filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan kesinambungan dengan filsafat pendidikan progresivisme guna menjawab tantangan zaman.
Konsep Pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Sebagai salah seorang aktivis kemerdekaan sekaligus pendidikan, Ki Hadjar turut menyumbang banyak gagasan dan pemikiran luar biasa. Bagi beliau, pendidikan bertujuan menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat (Dewantara, 1986).
Dalam pandangan Ki Hadjar, pendidikan bukan hanya ditujukan untuk para individu pembelajar, namun lebih dari itu pendidikan adalah kodrat dirinya sebagai bagian integral bagi komunitasnya. Aspek sosial merupakan aspek penting yang berperan sebagai pembentuk sekaligus tujuan dari pendidikan tersebut. Bagi Ki Hadjar, pendidikan dan pengajaran merupakan dua bentuk berbeda. Pendidikan atau opvoeding merupakan tuntunan dalam hidup tumbuh anak-anak, sementara pengajaran atau onderwijs merupakan proses pendidikan dalam memberi ilmu atau faedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin (Dewantara, 1986).
Seorang anak adalah individu bebas yang mandiri. Adapun seorang individu pembelajar ialah individu mandiri yang memiliki kuasa atas akal, kehendak, dan pikiran sendiri. Oleh karenanya, bagi beliau pendidikan nantinya akan menjadi tuntunan atau pedoman yang mengarahkan anak didik dalam menentukan arah hidup. Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan ibarat persemaian benih kebudayaan dalam masyarakat (Dewantara, 1986).
Ki Hadjar dalam gagasannya tentang pendidikan, menyebutkan tentang Tri Pusat Pendidikan, yaitu pendidikan keluarga, pendidikan alam perguruan, dan pendidikan dalam pemuda dan masyarakat. Tiga pendidikan ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Adapun kebudayaan dimasukkan pada diri anak dimulai sejak dini, yaitu pada fase balita melalui konsep belajar Tri No, atau nonton, niteni, dan nirokke. Nonton (cognitive) dilakukan secara pasif melalui seluruh panca indera. Niteni (affective) dilakukan lewat proses mempelajari, mencerna dan mencermati dari apa yang ditangkap oleh indera, sedangkan nirokke dilakukan secara peniruan hal positif yang diterima pada perkembangan si anak (psychomotoric) (Dwiarso, 2010).
Proses pendidikan dari konsep Ki Hadjar Dewantara akan melalui berbagai tahap dari balita, menuju dasar, sampai dewasa dengan fase Ngerti (cognitive), dan Ngroso lan Nglakoni (affective-psychomotoric). Hal ini dimaksudkan agar individu tidak terdidik hanya sebatas intelektual saja, namun ada proses lanjutan lewat pemahaman perasaan dan pelaksanaan pengetahuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Hasil dari pendidikan tersebut akan menuju pada individu manusia yang tangguh dalam kehidupan sosial masyarakat dan bermoral Taman Siswa, yaitu seorang manusia yang mampu melaksanakan Tri Pantangan (pantangan tidak menyalahgunakan kekuasaan, pantangan tidak manipulasi keuangan atau korupsi, dan pantangan tidak melanggar kesusilaan (Soeratman, 1987).
Adapun dalam upaya mendidik peserta didik, Ki Hadjar mengarahkan bahwa pendidikan perlu bersandar pada sistem among yang berpegangan pada Kodrat Alam dan Kodrat Zaman. Konsep Kodrat Alam menyatakan bahwa potensi, kekuatan, atau keadaan diri melekat pada masing-masing individu. Sedangkan Kodrat Zaman merupakan potensi, kekuatan, atau keadaan diri yang berubah secara dinamis, beradaptasi pada kondisi sosial, ataupun perkembangan zaman. Dalam pengertian ini dapat dilihat bahwa perkembangan individu seorang manusia yang melalui dua sendi Kodrat Alam dan Kodrat Zaman akan mengalami dua hal konsekuensi. Pertama, kodrat alam sebagai syarat kemajuan individu secara cepat dan baik. Kedua, kemerdekaan yang mengandung pengertian sebagai karunia Tuhan bagi manusia untuk mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikkingsrecht) dengan tetap pada syarat tertib damainya hidup masyarakat (orde en vrede) akan menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin individu untuk dapat berpikir serta bertindak secara merdeka, berbudi luhur, dan bermanfaat.
Dalam sistem Among tersebut, Ki Hadjar Dewantara mengharapkan peserta didik memiliki jiwa merdeka, merdeka secara lahir, batin, dan tenaganya. Hal ini dimaksudkan agar jiwa peserta didik mampu mendorong kemerdekaan yang lebih besar pada bangsa agar tidak mudah didikte oleh pihak lain. Oleh karenanya, menurut Priyo Dwiarso dalam bukunya Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara, menyebutkan sistem Among melarang adanya hukuman dan pemaksaan kepada peserta didik karena dikhawatirkan dapat mematikan kemerdekaan dan kreativitas pada dirinya (Dwiarso, 2010).
Oleh karenanya, corak pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara lekat dengan pedoman kehidupan bermanfaat dan berbudi pekerti dengan menjadikan peserta didik mendapatkan manfaat pendidikan dan melalui kehidupan secara pemaknaan. Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan yang sebagai usaha kebudayaan dimaksudkan untuk memberikan bimbingan dalam hidup jiwa raga individu agar mendapat kemajuan hidup secara lahir dan batin (Soeratman, 1987).
Progresivisme dalam Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Upaya Memurnikan Pendidikan
Progresivisme sebenarnya bukan merupakan suatu bangunan atau aliran filsafat tersendiri, melainkan sebuah gerakan progresif yang didirikan tahun 1918. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata progresif diartikan sebagai ke arah kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan sekarang; dan bertingkat-tingkat naik. Dengan demikian, secara singkat progresif dapat dimaknai sebagai suatu gerakan perubahan menuju perbaikan. Adapun istilah progresivisme dikaitkan dengan kata progres, yaitu kemajuan. Sesuai dengan namanya, filsafat progresivisme menekankan pada kemajuan atau proses seorang individu pembelajar di mana kemajuan tersebut diaplikasikan peserta didik dalam belajar untuk menghadapi situasi sosial di masa depan (Ikhsanudin, 2009).
Adapun progresivisme pendidikan ialah suatu sarana atau alat yang dipersiapkan untuk mengembangkan kemampuan dari peserta didik agar mampu bertahan terhadap tantangan yang dihadapi dengan tujuan kemajuan (Muhmidayeli, 2011). Pendidikan Progresivisme memiliki penekanan pada beberapa hal, yaitu berkehendak memberikan kebebasan pada peserta didik yang mendorong perkembangan dan pertumbuhan lewat kegiatan yang berkutat pada penanaman inisiatif, kreatifitas, dan ekspresi dari peserta didik. Penekanan kedua adalah pendidikan progresivisme mendorong pengajaran yang mengacu pada minat peserta didik melalui rangsangan kontak dengan dunia nyata. Ketiga, pengajar yang progresif mampu berperan sebagai pembimbing anak yang mampu mengarahkan penelitian, dan bukan untuk sekedar melatih atau memberi tugas. Penekanan keempat, prestasi peserta didik diukur dari segi mental, fisik, dan moral dalam perkembangan sosialnya. Selanjutnya pada penekanan kelima dan keenam, pendidikan progresivisme membutuhkan kerjasama antara guru, keluarga, dan rumah peserta didik yang mampu mendorong pendidikan sebagai peran laboratorium yang berisi gagasan mengenai pendidikan yang inovatif (Gutek, 1974).
Progresivisme tidak menyetujui adanya pendidikan bercorak otoriter, dengan penekanan pada kemerdekaan peserta didik. Hal ini senada dengan konsep pendidikan Ki Hadjar dalam kodrat alam yang sama-sama menentang pendidikan otoriter karena menyulitkan pendidikan mencapai tujuannya. Adapun dalam konsep kemerdekaan jiwa merdeka peserta didik dari Ki Hadjar juga memiliki corak yang sama dengan pendidikan progresivisme yang menekankan kebebasan berpikir bagi anak didik untuk mengalami kemajuan secara progresif (Suparlan, 2005).
Dari beberapa hal tersebut, penulis melihat bahwa corak filsafat pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara yang bertumpu pada pengembangan diri siswa secara budi dan luhur merupakan pola pendidikan yang dapat dikatakan sebagai pendidikan progresif dengan ciri identik pada tujuan pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang cukup berbeda dengan pendidikan progresivisme barat. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan merupakan bagian utama dari kebudayaan selaras dengan filsafat progresivisme yang juga turut mengatakan demikian. Meskipun ada sedikit perbedaan, yakni dalam pendidikan progresivisme, ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan ialah ilmu umum seperti ilmu psikologi, ilmu alam, ilmu hayat dan lainnya. Sedangkan dalam konsep Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa selain ilmu alam, kesenian juga perlu dianggap penting sebagai bagian penting di kurikulum pendidikan.
Oleh karenanya, penulis beranggapan bahwa jika Indonesia mampu menerapkan konsep pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara, bukan menjadi mustahil jika Indonesia mampu memajukan dunia pendidikan dengan tidak menjadikan pendidikan sebatas komoditas belaka, namun lebih dari itu mampu memberikan manfaat kebebasan belajar peserta didik dengan tetap berpegang pada nilai luhur dan kondisi sosial masyarakat Indonesia.
Referensi
Dewantara, K. (1986). Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika.
Dwiarso, P. (2010). Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Majelis.
Gutek, G. L. (1974). Philosofical Alternatives in Education. Chicago: Loyal University of Chicago.
Ikhsanudin. (2009). FILSAFAT PENDIDIKAN PROGRESIVISME. Jurnal Cakrawala Kependidikan Vol. 7. No. 1, 2.
Muhmidayeli. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Saksono, G. I. (2010). Pendidikan Yang Memerdekakan Siswa. Yogyakarta: Diandra Primamitra Media.
Soeratman, K. (1987). Tugas Kita Sebagai Pamong Taman Siswa. Yogyakarta: Majelis Luhur.
Suparlan, H. (2005). FILSAFAT PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA DAN SUMBANGANNYA BAGI PENDIDIKAN INDONESIA. Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 1.
Sutiyono. (2010). Pendidikan Seni Sebagai Basis Pendidikan Karakter. Cakrawala Pendidikan Jurnal Ilmiah, 42.