Soren Kierkegaard

Apabila kita menengok sejarah awal sebelum manusia bergulat dengan pemikiran, maka seolah-olah ada ruang atau zaman yang agak gelap di sana. Sebuah zaman yang penuh dengan kolektivisme dan keterikatan dengan suatu kepercayaan mengenai kehidupan, secara absolut. Kesendirian seperti sebuah hal yang jauh.

Pada zaman itu hidup mitos yang dihidupi oleh manusia dengan begitu total. Bahwa mitos-mitos yang jika dirangkum dalam satu wadah yang besar, mitos dari seluruh belahan dunia, seperti merupakan suatu percikan dari hal yang tunggal. Terbentuknya jagad, hadirnya kekuatan sebelum manusia, terciptanya manusia pertama, hingga seterusnya, acapkali menjadi suatu yang wajar bagi keseharian. Yang kelak, perlahan namun pasti, ceritera tersebut akan menjadi suatu sandaran terhadap manusia yang terayun tak pasti dalam dunia-kehidupan ini.

Manusia kemudian mengamini ceritera mitos sedemikian khusyuk, akibat perasaan ketakpastiannya di dunia. Percaya bahwa segalanya terjadi karena kehendak sesuatu yang ada di luar sana. Sementara itu manusia adalah makhluk yang mesti menjalani perannya sesuai kodrat. Manusia juga menaruh paham bahwa manusia harus berlaku seperti yang diinginkan oleh-nya (sesuatu yang di luar, misalnya Dewa, anima, hingga Tuhan). Memahami bahwa alam adalah ibu yang mesti ia jaga karena telah mengasuhnya. Singkatnya, manusia percaya bahwa mitos merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar cerita. Mitos adalah kehidupan itu sendiri.

Semua ini sangat berpengaruh pada dunia-kehidupan manusia. Manusia seperti tak pernah mengalami kesendirian meskipun mereka sebenarnya sedang sendiri. Sesepi apa pun itu, kesepian sepertinya merupakan suatu yang asing. Hal-hal demikian nampak melalui kacamata hari ini.

Hari ini

Kita melihat mereka tak terjamah dengan kehidupan yang otentik. Manusia yang entah karena suatu paksaan dari luar atau karena kesadarannya sendiri, berada dalam kerumunan, atau Crowd—bagi Kierkegaard. Karena ketika manusia terlepas dari kerumunan itu, ia akan dihinggapi rangkaian keresahan yang tak berujung akibat banalnya kebebasan. Sedangkan manusia yang terbiasa dengan macam bentuk keterikatan, yang memiliki tujuan bersama, akan menganggap kebebasan sebagai sebuah kutukan baru. Sebuah keadaan yang seringkali tak selarang antara dunia-refleksi dengan dunia-pengalaman.

Namun sejarah selalu mencatat, ada manusia yang sengaja keluar dari kerumunan dengan beragam alasan. Baik karena bentuk perlawanan pada komunitas hingga pencarian kebebasan yang absolut. Manusia-manusia seperti Nietzsche yang menolak hegemoni kepercayaan atau pun Sartre yang menolak Tuhan dengan alasan kebebasan akan selalu terlahir.

Thales ialah manusia pertama yang mencoba untuk melakukan demitologisasi hakikat alam semesta. Dan darinya, manusia modern menganggap sejarah telah bergerak ke arah cahaya.

Semenjak Thales, filsafat dan ilmu pengetahuan menemui rahimnya dan beranak hingga hari ini. Tak ada yang tak dicoba untuk dijawab oleh manusia dengan akal dan ilmu pengetahuan. Mitos, semenjak itu tak memiliki lagi kuasa. Semenjak itu pula tujuan manusia di dunia ini lebih terarah ; menguasai dunia.

Namun uniknya, penguasaan dunia sebetulnya bermula dari suatu ketidaktahuan. Atau satu pertanyaan. Dalam Sapiens, Harari menggunakan istilah dari bahasa latin, ignoramus, yang artinya “kami tidak tahu”. Bahwa segala yang ingin dikuasai selalu berangkat dari asumsi yang sama sekali kosong. Segala hal patut untuk dipertanyakan keabsahannya, dan itulah satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran yang objektif.

Berangkat dari sini pula, manusia menyadari bahwa segala sesuatu akan sampai pada akhir masanya—pengetahuan itu sendiri akan mati dan berganti. Karena manusia sadar bahwa dunia-pengalaman selalu lebih luas dari apa yang direfleksi dan diindrai, sehingga sesuatu yang nampak benar bagi hari sekarang bisa jadi keliru esok, bahkan mungkin nanti? Maka tidak berlebihan jika dunia ilmu pengetahuan penuh dengan kuburan angan-angan. Suatu pusara tentang beragam teori yang indah. Dan tepat setelah manusia bersedia mengamini ketidaktahuannya, pengamatan dan matematika mulai bekerja. Segalanya mulai masuk dalam ukuran tertentu lewat hasil pengamatan empiris. Hingga akhirnya, pengamatan yang matang tersebut berbuah menjadi suatu penguasaan kekuatan yang baru. Semakin berjaya lah manusia.

Dari penemuan yang sudah didapat melalui proses yang ketat, kebenaran objektif menjadi sama sekali baru dari sebelumnya. Meski dalam bentuknya yang objektif, ada pergeseran kebenaran pada arah empiris dari yang semula bercorak mitologis. Hari ini, kebenaran adalah sesuatu yang menuntut untuk dibuktikan, dan pembuktian itulah kebenaran-objektif.

Pergulatan Eksistensial

Pada era inilah, manusia berlomba-lomba untuk melucuti ketidaktahuannya. Aktifitas fisik semula yang membutuhkan waktu begitu panjang, terpangkas menjadi sangat singkat. Jarak pun telah terhapuskan. Kemudian waktu berjalan menjadi lenggang. Revolusi ini, yang disebut sebagai revolusi sains dan lalu bergerak pada revolusi industri, telah menjanjikan banyak waktu luang bagi manusia.

Lantas di sini kita kembali menemui sebuah pergulatan eksistensial manusia yang dikutuk selalu berada di sekitar, atau bahkan di dalam kerumunan, Crowd. Sebuah keinginan manusia untuk menjadi otentik di tengah kebenaran yang menjadi klaim objektif. Pertanyaannya ialah, apa guna kebenaran objektif jika kebenaran itu tak pernah bisa menjadi bagian penghayatan manusia secara subjektif? Kemudian pertanyaan itu samar-samar kembali bergaung di tengah zaman yang serba terburu-buru.

Tampaknya manusia juga akan selalu lelah akibat dominasi kelompok, yang Hegel sebut individu sebagai percikan sejarah. Sepanjang sejarah, bukankah selalu ada mereka yang sengaja keluar untuk mendobrak suatu kuasa supra-individual—masyarakat, partai, negara. Seperti Mao Zedong yang bahkan melawan partainya sendiri. Setidaknya, di sini kita bisa sedikit belajar dari Kierkegaard yang melontarkan suatu reaksi terhadap kegiatan kolektivisme yang menurutnya fatal. Bahwa manusia harus bisa bergerak otentik secara individu, itu yang tak kalah pentingnya bagi penghayatan manusia.

Lalu ke mana lagi sejarah akan bergerak setelah kehidupan maha-modern ini tercapai. Setelah mitos-mitos berhasil tersingkirkan dan berganti mitos modern, adakah penguasaan dunia menjadi berarti bagi penghayatannya sebagai manusia yang individu, yang otentik. Akibat kelelahan ini, manusia berada dalam riam yang bergolak, dalam stadium Umwertung aller Werte—transvaluasi semua nilai—, tulis Van der Weij dalam pendahuluan bukunya, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Seperti banyak yang kemudian pula tercermin dalam karya-karya sastra modern yang banyak menyebutkan kejengahan, keterasingan, kebosanan, singkatnya keabsurdan. Dan manusia kembali lagi mempertanyakan tentang tujuannya.

Benarkah dalam kebebasan yang serba mutlak ini—yang bagi Sartre tak ada campur tangan Tuhan karena jika Tuhan ada, maka manusia tak dapat menidak sebagai ciri dasar pour-soi—manusia masih memiliki tujuannya? Dan tentunya, setelah tujuan itu berhasil dicapai akan hadir sekaligus makna yang dicari oleh manusia. Namun makna yang seperti apa, yang dicari atas tujuan hidupnya?

Status Quesionis

Mungkin di sini kita bisa sedikit menengok gagasan Aquinas. Ia mempertanyakan mengenai, apa sesuatu yang menjadi landasan awal, yang merayu, yang menggerakkan, dan memikat namun menjadi akhir dari pencariannya (prima in intentione)? Dan ia pun menjawabnya, tujuan. Sebab baginya, tujuan adalah suatu awalan yang menjadi akhir tercapainya, yang dicari dan yang kelak ingin dijumpai. Di sana, Aquinas meletakkan kebahagiaan sebagai dinamo yang menggerakkan kehidupan. Dengan kata lain, kebahagiaan adalah hasrat awal yang menjadi pencapaian terakhir manusia.

Jika coba kita tengok lagi dari semula, sepertinya manusia yang berangkat dengan mitos sebagai dasar sandaran hidupnya, justru telah bertemu dengan ide awal tentang tujuan manusia ; kebahagiaan. Namun entah bagaimana, kebahagiaan itu justru bergerak pada arah yang bersifat material. Meskipun serentak dengannya, kebahagiaan yang bersifat ideal juga menjadi pencapaiannya. Sedang dalam manusia modern, tujuan itu, kebahagiaan, malah kembali dipertanyakan setelah manusia berhasil memerdekakann dirinya dari kungkungan mitos yang semula dianggap sebagai pengikat kebebasan. Tampaknya, meskipun kebebasan telah digenggam semenjak abad pencerahan, manusia kembali dalam pencarian kebahagiaan yang semula ia coba melepaskan diri darinya. Manusia tak pernah puas dengan kebahagiaan yang bersifat relatif ternyata. Sehingga pencarian itu kemudian terus bergerak pada sesuatu yang lebih tinggi, yang bersifat kekal dan tak lekang. Kebahagiaan ilahi, atau yang Aquinas sebut sebagai keinginan manusia akan Allah.

Jika ia sempat bertemu dengan gagasan Kierkegaard mengenai stadium estetis, etis, dan religius, barangkali Aquinas akan sepakat.

Mula-mula setelah manusia mencari kebahagiaan yang bersifat estetis, pemenuhan terhadap segala hal yang tampaknya menarik dan menyenangkan, yang disebut sebagai bonum (sesuatu yang baik, suatu nilai), akan menemui kejengahan. Bahwa manusia masih belum puas terhadap pemenuhan yang hanya bersifat instingtif. Lantas bergerak pada sesuatu yang lebih tinggi, lebih absolut. Dari sinilah, ide mengenai “penyerahan diri kepada Tuhan” merupakan jawaban atas keresahan manusia dalam mencari tujuan, kebahagiaan, atau yang disebut stadium religius bagi Kierkegaard.

Mereka—Aquinas dan Kierkegaard—sama-sama menyepakati bahwa tujuan manusia dalam menjawab problem eksistensial adalah kembali pada yang ilahi, Tuhan, Allah. Barangkali “kembali” yang mereka maksud secara definitif ialah sewaktu telah menyatu (kembali) sesudah kematian dalam kehidupan abadi. Dan makna ini, agaknya menjadi suatu motif yang sama meski berbeda artikulasi, yang dibawakan Sartre dengan corak ateis, bahwa manusia baru akan bertemu dengan esensinya ketika ia telah mati, dengan kata lain “kembali”. Kembali tiada.

Dan kita pun mendengar suatu hasrat akan kekembalian ini pada Charil Anwar, “Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang. Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu, “

Kelak secara individual, setelah mengerti bahwa kebahagiaan tertinggi adalah penghayatan mengenai penyatuannya dengan yang ilahi, adakah manusia masih akan berontak untuk mencari lagi sesuatu yang lain?

Dari sini kita mengerti, bahwa manusia memang tak pernah berhenti. Dan mungkin jika manusia dengan mudah menemukan tujuan, kebahagiaan itu, Hemingway akan urung memuntahkan peluru pada pikirannya yang telah menginspirasi dunia.

Tenaga pendidik di salah satu sekolah menengah di Kota Malang. Mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas Negeri Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.