Wacana Awal Politik Indonesia menurut Simon Philpott

Dekolonialisasi merupakan salah satu diskursus besar dalam perpolitikan Indonesia mengingat lamanya bangsa ini mengalami penjajahan, dan barangkali dapat dikatakan bahwa wacana ini juga merupakan wacana pertama yang muncul dalam tinjauan politik Indonesia.
Hotel Des Indes era Hindia Belanda

Simon Philpott merupakan salah satu intelektual politik internasional dari Australia yang kini mengajar di New Castle University, Inggris. Salah satu penelitiannya mengenai Indonesia telah dibukukan dalam Rethinking Indonesia (Saint Martin Press, New York) yang kemudian diterjemahkan oleh LkiS dengan judul Meruntuhkan Indonesia. Dalam buku ini Philpott banyak merujuk peneliti Barat yang memiliki kekhususan studi mengenai Indonesia di antaranya George McTurnan Kahin, Herbert Feith dan Benedict Anderson.

Philpott memulai argumentasinya mengenai studi politik di Indonesia melalui faktor konteks yang mempengaruhi terbentuknya wacana politik di Indonesia, di antaranya;  dekolonisasi, perang dingin, kuasa Amerika Serikat di Asia Tenggara, dan hegemoni teks mengenai wacana sosial.

Dekolonialisasi merupakan salah satu diskursus besar dalam perpolitikan Indonesia mengingat lamanya bangsa ini mengalami penjajahan, dan barangkali dapat dikatakan bahwa wacana ini juga merupakan wacana pertama yang muncul dalam tinjauan politik Indonesia. Indonesia memperoleh kemerdekaannya dalam kurun waktu yang nyaris bersamaan dengan negara jajahan lain seperti Korea (Selatan dan Utara), Vietnam, Yordania, dan menyusul India serta Pakistan. Kolonialisme runtuh akibat Perang Dunia II, yang selanjutnya melahirkan negara-negara “Dunia Ketiga”. Titik dekolonialisasi menyebabkan besarnya perhatian studi politik Indonesia pada poskolonialisme.

Selanjutnya karakter politik Indonesia menurut Philpott dibentuk pada masa Perang Dingin di mana muncul aforisme dunia dalam dua kubu yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat mewakili semangat negara liberalisme demokratis seperti Amerika Serikat dan Jerman Barat. Sedangkan Blok Timur mewakili semangat negara Marxis-Leninis dan gerakan Komunis internasional seperti Rusia, Jerman Timur, dan RRC. Konteks perang dingin membawa Indonesia—yang pada saat itu berada dalam kepemimpinan Soekarno—untuk mengambil sikap tegas dalam perebutan kuasa antar dua blok besar tersebut. Indonesia kemudian mengambil sikap non-blok bersama negara baru seperti India dan Malaysia atau negara intra-kontinental seperti Zimbabwe dan Yugoslavia untuk mengutuk hegemoni kekuatan yang lebih besar, rasisme, kolonialisme, imperialisme, perang nuklir, dan lain sebagainya. Penyikapan ini membentuk wacana politik Indonesia pada tahap yang baru dari poskolonialisme ke non-blok.

Faktor berikutnya adalah bahwa wacana politik Indonesia memasuki proses pematangan artifisial. Hal tersebut terjadi karena penelitian, simpulan, dan pembentukan wacana politik Indonesia didominasi oleh intelektual asing yang mayoritas berasal dari Amerika Serikat. Philpott kerap merujuk James C. Scott perihal konteks pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin di mana Amerika Serikat telah menguasai posisi penting melalui kemenangan sekutu serta runtuhnya komunisme. Hal ini membuat intelektual Amerika Serikat memiliki peran dalam “mempelajari solusi permasalahan di Asia Tenggara”.

Perkembangan studi ini memiliki konsekuensi khusus yaitu tersebarnya hegemoni ilmu sosial Amerika Serikat di Indonesia. Intelektual Amerika Serikat melakukan penelitian ekonomi, politik atau modernisme, kemudian menyodorkan hasilnya sebagai tawaran diskursus baru, menginfiltrasi pemahaman intelektual Indonesia serta membuka wawasan nasional melalui kacamata pengamat, dan bukan pelaku.

Usaha Amerika Serikat lainnya dalam membentuk wacana politik di Asia Tenggara, khususnya Indonesia adalah pencetakan politisi dan intelektual Indonesia yang berhaluan pada sistem filsafat liberalisme, rasionalisme, dan individualisme. Pada tahap ini Indonesia berada pada tahap orientalisasi di mana kaum intelektualnya didikte untuk mengetahui “pengetahuan atas dirinya” dan bukan untuk merumuskan sendiri mengenai “siapa dirinya”. Pada titik ini wacana politik Indonesia berada dalam cengkeraman rezim ilmu pengetahuan hingga pada saat bangsa ini mampu menghasilkan intelektual-intelektual baru yang lebih kritis.

Philpott selanjutnya berpendapat bahwa terdapat beberapa teks yang dihasilkan oleh “Indonesianis” atau intelektual asing yang mempelajari Indonesia, yang memiliki pengaruh (menjadi faktor penting) besar terhadap wacana politik Indonesia selanjutnya. Para Indonesianis tersebut di antaranya adalah:

  1. George Kahin dalam karya Nationalism and Revolution in Indonesia,
  2. Herbert Feith dalam karya The Decline of Constitutional Democracy,
  3. Harold Crouch dalam karya  The Army and Politics in Indonesia,
  4. Richard Robinson dalam karya  Indonesia: The Rise of Capital, dan
  5. Benedict Anderson dalam beberapa karyanya seperti Kuasa Kata dan Revolusi Pemuda.

Kelima-nya merupakan kekayaan wacana politik Indonesia oleh pengamat luar yang mengalami pertemuan langsung dengan fenomena sosial di Indonesia.

Faktor terakhir yang diajukan Philpott adalah diskursus kolonial yang masih hidup dan berakar di Indonesia. Ilmu sosial di Indonesia mengalami degradasi dengan perumusan fenomena sosialnya. Aspek politik dan sosial di Indonesia menjadi objek utama, bukan menjadi pelaku dalam perumusan ide tentangnya. Hal yang serupa dilakukan oleh saintis alam dalam merumuskan dan membakukan fenomena alam dalam hukum dan kaidah yang baku. Dalam ilmu sosial, metode ini merupakan keterkungkungan ilmu pengetahuan karena ilmu sosial terus hidup dan berkembang. Namun perkembangan ilmu sosial di Indonesia mengalami kemajuan terutama saat kesadaran atas pentingnya poskolonialisme dan orientalisme dipelajari oleh intelektual lokal demi membebaskan diri dari hegemoni kolonialisme dan orientalisme ilmu pengetahuan.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content