Dalam dunia yang semakin menekankan keseimbangan peran, hak, dan keuntungan dalam setiap hubungan, kita perlahan kehilangan keberanian untuk benar-benar mencintai. Relasi asmara tidak lagi bertumpu pada keterlibatan batin yang mendalam—melainkan sebuah strategi. Dalam konteks ini, cinta dijadikan sebagai kalkulasi transaksional.
Dalam budaya kencan modern, kita dianjurkan untuk “menahan diri agar tidak terlalu cepat menunjukkan ketertarikan” dan “tidak tampak selalu tersedia”—yang pada dasarnya menjadikan cinta sebagai proyek kalkulatif, di mana memberi cinta diperlakukan sebagai strategi tawar-menawar, bukan sebagai tindakan yang terbuka (Njoto, 2025).
Cinta sebagai proyek kalkulatif ini tidak terlepas dari orientasi manusia pada individualisme sebagai akibat dari modernisme. Perkembangan individualisme ini menempatkan orientasi cinta pada diri. Individu cenderung sulit untuk memahami orang yang dicintainya dan hanya ingin dimengerti (Gea dkk., 2024). Dalam konteks hubungan asmara, obsesi diri untuk dicintai tidak sebanding dengan usahanya dalam mencintai dan memahami orang yang dicintainya.
Selain itu, kehati-hatian individu dalam menjalin relasi asmara juga menahan hasrat untuk tidak terlibat terlalu dalam. Kekhawatiran orang pada kenyataan bahwa dirinya akan ditinggalkan, tidak diinginkan, atau tidak sesuai dengan ekspektasi orang yang dicintainya berasal dari individualisme juga—sesuatu yang berakar pada upaya untuk mengurangi kemungkinan munculnya kekecewaan dan penderitaan.
Tidak ada yang salah dengan pernyataan “cinta terhadap diri”. Mencintai diri sendiri bahkan diperlukan sebelum kita benar-benar memutuskan untuk berani mencintai sesuatu. Dalam pengertian ini, kapasitas untuk mencintai sesuatu yang berada pada luar diri (eksternal) dimulai dari cinta terhadap diri (Fromm, 2018). Cinta bukan sekadar reaksi terhadap objek, melainkan energi batin yang meluas dari diri ke luar.
Namun modernisme mengubah logika cinta menjadi sesuatu yang sifatnya “dari luar ke dalam”—cinta sebagai sesuatu yang harus didapatkan terlebih dahulu sebelum seseorang merasa perlu untuk mencintai. Logika ini bukanlah tindakan eksistensial memberi, melainkan hasil dari strategi, pencapaian, atau nilai tukar personal.
Dalam relasi yang serba terkalkulasi ini, cinta tidak lagi mengalir sebagai dorongan alami untuk terhubung, melainkan harus selalu dijaga jaraknya—ditakar, disembunyikan, atau bahkan ditunda. Kita bukan bertanya:
“Bagaimana aku bisa mencintai?”, melainkan,
“Bagaimana aku bisa menjadi seseorang yang dicintai?”
Hal ini mencerminkan ketakutan pada penolakan dan keraguan untuk terikat secara emosional. Kita takut untuk terlalu mencintai seseorang sehingga lebih memilih untuk mengurangi perasaan semacam itu.
Mencintai Tanpa Melekat Ala Stoik
Kemelekatan adalah suatu hal yang ditolak oleh kaum Stoik. Dalam filsafat Stoikisme, kemelekatan emosional dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan batin dan kebajikan moral. Sebagaimana argumentasi utama dari Stoikisme mengenai dikotomi kendali, Epictetus menekankan bahwa kita harus mencintai tanpa harus merasa terikat. Jika kita melekat pada sesuatu yang fana, maka bersiaplah untuk menanggung kekecewaan dan penderitaan (Long, 1887). Ketakutan untuk menanggung kekecewaan dan penderitaan juga menjadi alasan bahwa komitmen atau kemelekatan dirasa menjadi hal yang mengikat, membebani kebebasan, dan mengganggu individualisme (Setiawan, 2014).
Dalam hal ini, mencintai ala Stoik bersifat rasional. Penekanannya pada apatheia (keadaan batin yang tenang dan bebas dari gejolak emosional yang tidak perlu) menunjukkan tendensi rasionalisme individual. Individualisme menjadi dasar argumentasi filosofis dari kaum Stoik sebagai upaya untuk mempertahankan ketenangan batin dengan memagari diri dari risiko luka emosional.
Konsep cinta seperti ini bukanlah bentuk penolakan terhadap hubungan intim manusia, tetapi menekankan bahwa kita harus mencintai dengan kebijaksanaan dan ketenangan, bukan dengan ketergantungan emosional. Mencintai harus dengan pertimbangan bahwa kita “tidak memilikinya karena dia bisa pergi kapan saja”.
Kemelekatan dianggap sebagai akar dari penderitaan emosional. Beberapa alternatif yang ditawarkan oleh Stoikisme adalah mencintai tanpa rasa memiliki secara berlebihan, ikut terlibat tanpa menggantungkan kebahagiaan pada yang dicintai, dan siap melepaskan kapan saja tanpa perasaan kecewa. Dalam kerangka berpikir kaum Stoik, cinta yang sehat adalah cinta yang bebas dari hasrat akan kontrol dan bebas dari kecemasan akan kehilangan.
“Cintailah apa yang kamu miliki, tetapi dengan kesadaran bahwa kamu bisa kehilangannya kapan saja,” (Aurelius, 2020)
Kalimat dari Marcus Aurelius tersebut menekankan bahwa kita perlu untuk menyikapi cinta dengan pengendalian diri dan rasionalitas agar tidak jatuh ke dalam penderitaan akibat kemelekatan atau keterikatan—karena apa yang orang lain lakukan bukanlah kendali kita. Pengendalian diri ini berfokus pada upaya untuk kedamaian batin—penyelamatan individualisme.
Mungkin argumen ini terdengar meyakinkan untuk disepakati, namun rasionalitas individual semacam itu justru mencerminkan ketakutan sehingga kita cenderung mencintai dengan penuh perhitungan dan kehati-hatian. Pertanyaan yang datang selanjutnya adalah: “apakah kita benar-benar mencintai, atau sekadar bertahan dari rasa kesepian tanpa keberanian untuk membuka diri sepenuhnya?”
Mencintai sebagai Wujud Keberanian Eksistensial
Argumentasi filosofis mengenai konsep cinta dari kaum Stoik yang cenderung defensif dan individualistik dapat dikritik melalui pendekatan humanisme dari Erich Fromm. Menurut Fromm, cinta bukanlah sekadar perasaan spontan atau respons emosional sesaat, tetapi sebuah tindakan sadar, aktif, dan penuh tanggung jawab. Fromm menempatkan cinta dalam hubungan subjek-subjek, artinya, mencintai bukanlah sesuatu yang terjadi pada kita, melainkan sesuatu yang kita lakukan secara sadar.
“Aku ingin orang yang kucintai bertumbuh dan berkembang demi dirinya sendiri, dan dalam caranya sendiri, dan bukan agar bisa melayaniku,” (Fromm, 2018)
Dalam pembagian konseptual antara modus mempunyai dan mengada (To Have or To Be), kita bisa menganalisis bagaimana prinsip cinta yang dijadikan sebagai proyek kalkulatif itu bermasalah. Cinta kalkulatif dalam strategi tawar-menawar sebagai upaya untuk menghindari diri dari kekecewaan menunjukkan modus mempunyai secara karakterologis. Dalam modus ini, kebahagiaan seseorang terletak pada superioritasnya atas orang lain, pada kekuasaan, dan pada kemampuannya dalam menaklukkan. Sedangkan karakteristik fundamental dari modus mengada adalah “tindakan yang aktif”, seperti halnya mencintai (Fromm, 2019).
Dalam hal ini, cinta bukanlah sesuatu yang dimiliki, tapi dihasilkan. Kerangka filosofis ini hampir sama dengan penolakan kemelekatan ala Stoikisme, namun perbedaan utamanya ada pada keberanian untuk mencintai sepenuhnya. Stoikisme cenderung melakukan pengendalian diri untuk menghindari kekecewaan, sedangkan humanisme Fromm menekankan untuk berani mencintai secara aktif. Cinta sejati, dalam pandangan Fromm, tidak bisa dijalankan dengan jaminan timbal-balik. Hal inilah yang membedakan cinta dari transaksi. Mencintai berarti berani rapuh dan terbuka. Di sini Erich Fromm berusaha untuk menekankan bahwa cinta merupakan tindakan keberanian eksistensial tertinggi—karena ia menuntut kita untuk melampaui ego, rasa takut, dan kebutuhan untuk menguasai.
Berani Mencintai, Berani Menjadi Manusia
Di dalam dunia yang menolak terluka, cinta seharusnya menjadi tindakan yang revolusioner. Cinta tidak seharusnya terjebak dalam individualisme: bukan cinta yang pasif, namun cinta yang aktif. Agaknya Stoikisme menjadi “obat penenang” bagi dimensi emosional kita dalam cinta, namun itu justru menunjukkan ketakutan ontologis terhadap kehilangan dan penderitaan. Dari perspektif humanisme Fromm, pandangan Stoikisme ini berpotensi menghilangkan esensi cinta sebagai hubungan batin yang mendalam. Meskipun Stoikisme menganjurkan cinta yang penuh kebajikan dan rasionalitas, mereka cenderung menolak keterlibatan emosional yang justru bisa menghambat ruang pertumbuhan dan transformasi yang aktif dari aktivitas mencintai.
Bagi Fromm, cinta adalah tindakan aktif dan universal yang mengandaikan adanya keberanian eksistensial untuk keluar dari individualisme dan kebutuhan akan validasi. Keberanian untuk mencintai adalah keberanian untuk menghidupinya secara utuh dengan berbagai risiko kehilangan. Dalam era modernisme yang dipenuhi alienasi, ketakutan ontologis, dan keterputusan batin, pandangan Fromm menawarkan alternatif eksistensial yang radikal, yakni keberanian untuk hadir, memberi, dan terluka—karena di situlah cinta menemukan maknanya yang paling manusiawi. Dengan demikian, cinta bukanlah kelemahan atau keterikatan berlebih sebagaimana yang dikhawatirkan dalam Stoikisme, namun justru menjadi bentuk manifestasi tertinggi dari kebebasan dan kemanusiaan itu sendiri.
Referensi
Aurelius, M. (2020). Meditasi (N. Khoiriah, Penerj.). Basa Basi.
Fromm, E. (2018). Seni Mencintai (The Art of Loving) (A. K. Sari, Penerj.). Basa
Basi.
Fromm, E. (2019). Mempunyai atau Mengada? (A. K. Sari, Penerj.). IRCiSoD.
Gea, W. P., Zai, A., Zai, J., Lalumba, H., & Daniel, A. (2024). Memaknai Cinta Dalam
Bingkai Erich Fromm Sebagai Refleksi Pada Fenomena Gray Divorce.
RISOMA: Jurnal Riset Sosial Humaniora Dan Pendidikan, 2(2), 09–20.
Long, G. (1887). The Discourses of Epictetus; With the Encheiridion and Fragments.
George Bell and Sons.
Setiawan, H. (2014). Manusia Utuh: Sebuah Kajian atas Pemikiran Abraham
Maslow. Kanisius.
Njoto, S. (2025, April 24). Why we’re tired of modern dating: Romance is economy,
love is commodified, and dating is work. Whiteboard Journal.

Rizki Muhammad Iqbal
Mahasiswa Sosiologi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta









Berikan komentar