Mengapa Mencinta Adalah Pilihan Paling Masuk Akal

Thomas Aquinas

“Tangan dan wajah penuh luka, milikku dan milikmu, mengais serpih-serpih asa yang berserak. Kita akan hidup seribu tahun lagi.” Rekah dalam Seribu Tahun Lagi.

Dalam masyarakat kontemporer yang penuh komodifikasi, cinta berubah menjadi lebih transaksional. Ia bergerak perlahan menuju bentuk-bentuk yang dikecam oleh Fromm dalam Escape from Freedom (1941): tidak dewasa, narsisistik, dan didasari oleh kebutuhan semata. Lantas, di antara carut marut tersebut, apakah ada alasan yang tersisa untuk tetap mencinta? 

Masalah Signifikansi Tahap Dua: Cinta dan Mitos Kreasionisme

Dengan membayangkan dunia sebagai alam tanda (signs) dan makna, semiotika poststruktural Barthes mencetuskan model analisis signifikansi dua tahap (two order of signification). Signifikansi pertama berada pada keterbatasannya untuk melihat hubungan antara petanda dan penanda dalam bentuk nyata, sementara signifikansi kedua, atau mitos, menerjemahkan realitas tanda yang sudah terikat dengan suatu pengetahuan kolektif. Segala bentuk tanda yang disertai oleh pesan kolektif akan dipaksa untuk masuk pada suatu kerangka besar makna mitos.

Oleh karena itu, upaya memahami cinta sebagai sebuah tanda dalam penuh sesak realitas manusia—sejauh makna cinta adalah abstrak dalam bentuk nyata—juga memerhatikan fakta bahwa pemahaman akan atribut-atribut cinta, seperti perasaan menyendu dan sakit hati, ingin memiliki, atau berkorban demi orang lain, serta segala aksinya terbatas pada ide kolektif yang telah mengakar pada masing-masing budaya maupun subbudaya. Bukan hal yang ganjil untuk melihat bagaimana pandangan soal perasaan romantis adalah identik dalam kelompok masyarakat yang sama. Implikasinya jelas: pada akhirnya kita dituntut mengamini bahwa cinta adalah mitos belaka. Sedangkan, untuk memahami bagaimana mitos-cinta adalah akibat paling masuk akal dari realitas manusia, suatu pembanding sangatlah diperlukan; mitos yang sama mutlaknya. Misalnya, yang paling dekat, adalah mitos soal kreasionisme.

Pada banyak peradaban—sebagaimana dirinya saya definisikan sebagai mitos—keyakinan kreasionisme menjadi jawaban bagi segala pertanyaan mendasar manusia. Ia memberi kita kelegaan dengan keyakinan bahwa segala sesuatu telah diciptakan secara sengaja dan berlangsung dalam desain tertentu, sehingga tidak ada yang salah atau nirguna sepanjang masa. Tidak terbatas pada keyakinan teistik, kreasionisme juga ikut menyatukan manusia yang bernaung dalam panteisme, bahwa meskipun tidak ada kuasa transenden yang menaungi dan mengatur alam, segala sesuatunya tetap berasal dari prima causa yang bukan kebetulan. Akan tetapi, keyakinan kreasionis masih dibayangi oleh suatu masalah fundamental: mengapa suatu hakikat transenden secara sengaja dan mutlak memiliki kecenderungan untuk mencipta? Haruskah Tuhan mencipta?

Filsafat skolastik Thomas Aquinas menjawab pertanyaan tersebut dengan meninjau kembali sifat transendental Tuhan. Argumennya menyatakan bahwa Tuhan sebagai kebaikan tertinggi juga mensyaratkan konsekuensi bahwa Ia akan terus berdifusi menuju ke-berada-an. Kehendak mutlak bagi Tuhan adalah untuk merengkuh segalanya dalam suatu kondisi yang eksis. Sedangkan, bagaimana transendensi tersebut dapat dipandang dalam kacamata naturalisme-metodologis: menerjemahkan perjumpaan dan fenomena ilahi yang, mengutip Rudolf Otto, disebut sebagai tremendum et fascinosum sebagai peristiwa nirilahi secara menyeluruh adalah cara kita untuk memahami korelasi antara mitos kreasionisme dan cinta terhadap yang liyan.

Dengan meneruskan naturalisme-metodologis Huxley, kita mungkin mendapat jawaban: (1)  bahwa perjumpaan dengan yang ilahi menjadi istimewa sebatas perjumpaan tersebut menghubungkan kita dengan yang liyan. Sebagaimana, perjumpaan seni—yang berasal dari budi insan lain—budaya-budaya baru, atau fenomena alam juga akan mendatangkan sensasi kagum dan gentar yang sama. Kemudian, (2) manusia, sebagaimana Tuhan adalah transenden bagi yang liyan, juga adalah transenden bagi sesamanya, sehingga dirinya akan saling merengkuh tanpa terkecuali.

Dalam bahasa natural, kita dapat mengandaikan realitas tersebut melalui pernyataan bahwa untuk setiap manusia yang secara resiprokal bersifat transenden bagi sesamanya dan mengalami perasaan numinus (saya serap dari bahasa inggris numinous) akan secara pasti merengkuh dan mencintai sesamanya (yang-liyan); tanpa terbatas pada syarat lain. Dalam kondisi  pasti tersebut, akan menjadi jelas bahwa mencinta adalah pilihan paling masuk akal.

Usaha Pembuktian Logika Orde Pertama (First-Order Logic)

Pada bahasa natural, yang terlampau umum tersebut, kita menjumpai suatu masalah dalam berbagai keadaan umum (problem of multiple generality), sehingga baik subyek maupun argumen tidak berada dalam pernyataan yang mapan (well form). Dengan demikian, diperlukan suatu coba-pembuktian lewat logika orde pertama agar mampu mengeksaminasi benar, apakah argumen natural tersebut mampu dibuktikan dengan quantifier matematis yang kita miliki—sehingga dapat dinyatakan benar.

Pertama-tama, pembuktian saya mulai lewat cara yang paling sederhana, dengan mendeklarasikan bahwa P berarti manusia adalah transenden secara resiprokal bagi sesamanya dan A berarti manusia akan mencintai, sehingga diperoleh 

(\forall x)(P(x) \to A(x))

Namun, notasi tersebut jelas salah. Daripada mendefinisikan kondisi yang dibutuhkan dalam pembuktian, notasi dalam percobaan pertama justru memberikan identitas mutlak bagi x dalam segala kondisi.

Percobaan kedua dilakukan dengan menambahkan syarat baru. Selain transenden secara resiprokal, X akan mencintai apabila mengalami perasaan numinus atau Q, sehingga

(\forall x)(P(x) \wedge Q(x) \to A(x))

Masalahnya, notasi tersebut masih terlalu sederhana. Dengan asal, sistem logika yang terbentuk justru mendefinisikan bahwa dalam segala kondisi, x dengan predikat P dan Q pasti juga memiliki predikat A.

Dalam percobaan selanjutnya, digunakan aturan inferensi. Tujuannya adalah pembuktian klasik bahwa “Setiap yang transenden secara resiprokal terhadap sesamanya masti mencintai. manusia adalah transenden secara resiprokal terhadap sesamanya, karenanya manusia pasti mencintai,” yang diikuti oleh dua notasi tambahan, di samping notasi utama, sebagai keterangan bahwa transenden secara resiprokal adalah jelas dalam segala kondisi, sementara mengalami perasaan numenus—yang adalah konsekuensi dari transenden secara resiprokal terhadap sesama—hanyalah ada.

Predikat yang perlu dideklarasikan adalah

transendernresiprokal(x) = x adalah transenden secara resiprokal bagi sesamanya;

mencintai(x) = x (adalah) mencintai.

Sehingga, pernyataan akan berbentuk

P1: (x) (transendenresiprokal(x)mencintai(x))

P2: transenden resiprokal(manusia);

P1P2: (x) ((transenden resiprokal(x)mencintai(x))transenden resiprokal(manusia)

Dalam notasi tersebut, implikasi dari (transenden resiprokal(x) mencintai (x)) yang benar untuk setiap x, adalah (transenden resiprokal(manusia) mencintai (manusia) juga adalah benar. Oleh karena itu, percobaan pembuktian ketiga menjadi yang paling benar dan dapat diterima.

Melengkapi pembuktian ketiga, diberikan notasi adisi—seperti telah diwacanakan—bahwa “dalam segala x, manusia pasti transenden resiprokal terhadap sesamanya” atau “semua manusia adalah transenden resiprokal terhadap sesamanya”, yang dituliskan sebagai (\exists x)(manusia(x) \wedge perasaan numinus(x)).

Serta, “dalam beberapa kondisi, manusia mengalami perasaan numinus” atau “beberapa manusia mengalami perasaan numinus”, yang dituliskan sebagai (\exists x) (manusia(x) \wedge perasaannuminus(x)).

Sebagai hasil, pembuktian akan mendapatkan beberapa notasi, yakni

A = P1P2 atau A = (x) ((transenden resiprokal (x)mencintai (x))transenden resiprokal(manusia)

yang terbukti benar dalam (transendenresiprokal(manusia)mencintai(manusia).

Kemudian, B = (\forall x) (manusia(x) \to transenden resiprokal (x)) dan C = (\exists x)(manusia (x) \wedge perasaan numinus (x)).

Dengan relasi ketiganya berupa A mengimplikasikan B dan C, yang ditulis sebagai A \to (B \wedge C).

Dengan demikian, terbukti bahwa mencintai—maka mencintaimu—adalah pilihan yang paling masuk akal.

Referensi

Aquinas, T. (2017). Summa Theologica. CreateSpace Independent Publishing Platform.

Barthes, R. (2009). Mythologies (A. Lavers & S. Reynolds, Trans.). Vintage.

Fromm, E. (2013). Escape from Freedom. Open Road Media.

Gilson, E. (2013). The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas. Random House Publishing Group.

Huxley, T. H. (2020). Agnosticism. Origami Books.

Otto, R. (2021). The Idea of the Holy. Wipf & Stock Publishers.

Jonathan Sihotang
Jonathan Sihotang

Penulis lepas dan peneliti belia dengan lingkup studi sastra, sejarah, filsafat, dan bidang-bidang humaniora lain. Pada 2023, mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dalam riset bidang antropologi.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.