fbpx

Tutorial Memaklumi Kemajemukan Orientasi Seksual ala Sartre

Hasrat seksual bukan diciptakan semata-mata untuk diri sendiri, melainkan dimiliki manusia bagi orang lain.
The Wishbone karya Stanley Ekman

Bicara praktis, kemajemukan orientasi seksual masih sukar diterima oleh masyarakat kebanyakan. Kelompok yang mengklaim dirinya memiliki preferensi seksual selain kepada lawan jenisnya tidak jarang dipersekusi, atau mendapat cemoohan yang macam-macam. Kekuatan yang menentang orientasi-orientasi seksual non-konvensional juga beragam. Walaupun memang didominasi oleh kekuatan agama, ada beberapa arus lain, seperti saintisme, bahkan beberapa mazhab eksistensialisme, yang turut mengimani bahwa keberagaman orientasi seksual tidak lebih dari sekadar penyimpangan. 

Seiring waktu, adanya pembahasan khusus mengenai fenomena penolakan terhadap kemajuan orientasi seksual menjadi semakin terasa urgensinya. Beberapa penolakan, toh, tidak lebih dari sekadar bahan tunggangan politis yang sia-sia belaka. Sementara, ihwal yang paling nyata sudah jelas: eksistensi dari kemajemukan orientasi seksual tidak dapat ditolak, sehingga belajar untuk memaklumi perbedaan tersebut, sebagai suatu bagian dari masyarakat yang berfungsi optimal, menjadi opsi yang lebih melegakan ketimbang terus-menerus melakukan pengabaian dan penolakan hak. Tak ayal, absennya kemampuan bagi masyarakat kita untuk memaklumi fenomena yang—mau bagaimana lagi—memang eksis, sudah terbukti memperumit hidup. Eksaminasi paling mudah dapat kita lihat pada beberapa aksi terbaru di tanah air, misalnya: agenda penolakan konser dari grup band asal Inggris oleh suatu kelompok masyarakat.

Penolakan atas kemajemukan orientasi seksual sendiri umum terjadi, sebab dianggap sebagai penyimpangan dari natura. Dalam saintisme, ikhwal penyimpangan erat dengan tabrakan antara orientasi seperti, sebut saja, homoseksualitas dengan tujuan reproduksi untuk melestarikan spesies. Tidak jauh berbeda, penolakan eksistensialisme—dalam hal ini, penulis mengutip Martin Heidegger—juga masih menyangkut natura. Tanpa tanggung-tanggung eksistensialismenya bahkan mengambil tindakan lebih jauh dengan turut menempatkan seksualitas berada pada wilayah yang sepenuhnya bersifat kebetulan, selayaknya organ seksual adalah deterministik: seseorang tidak dapat memilih apakah ingin terlahir dengan memiliki penis atau vagina. 

Heidegger memandang seksualitas sebagai dasein, yakni sebatas sesuatu yang ada saja, bukan das sollen atau dapat diinginkan. Sebagai imbasnya, oleh karena organ-organ seksual tersebut merupakan bentuk yang kebetulan dan khusus dari tubuh, maka hasrat juga harus disalurkan sebagai fungsi yang kebetulan dan khusus. Seseorang yang menghasratkan (berkaitan dengan orientasi seksual) sesama jenisnya (homoseksualitas) atau ingin melangkahi fenomena deterministik tersebut (transgender), jelas mengindikasikan penyimpangan. Lantas, bagaimana kita dapat membaca dan, serta-merta, memaklumi kemajemukan orientasi seksual tersebut? Tentunya, dengan memandang seksualitas sebagai hal yang bukan natur, fisiologis, dan deterministik.

Menilik Jean-Paul Sartre, sebagai sesama eksistensialis, pemikirannya justru bertentangan dengan anggapan umum bahwa kecenderungan seks (seksualitas) adalah suatu yang noneksistensialis. Sebab, hasrat seksual bukan diciptakan semata-mata untuk diri sendiri, melainkan dimiliki manusia bagi orang lain. Buktinya, cukup jelas bahwa ketika seseorang berhasrat, ia pasti berhasrat untuk sesuatu. Dengan menegasikan bahwa seksualitas tidak terbatas pada dasein, maka Sartre juga memiliki tanggung jawab untuk membuktikan bahwa keberadaannya tidak fisiologis. Permasalahan tersebut ia jawab dalam salah satu tulisannya yang paling terkenal, subjek Desire dalam Being and Nothingness. Bagi Sartre, ke-nonfisiologisan dari seksualitas tampak dari adanya hasrat yang mampu melampaui keberadaan organ seksual. Anak-anak sudah dapat merasakan ketertarikan seksual, jauh sebelum memiliki kematangan fisiologis. Sementara, orang tua masih dapat bernafsu, walaupun sudah tidak fertil. Singkatnya, seksualitas sudah ada, bahkan sebelum atau setelah fungsinya tidak lagi optimal.
Sekarang, dengan memahami bahwa seksualitas merupakan hal yang eksistensial, diinginkan, atau dapatlah kita sebut ontologis. Pendefinisiannya tidak dapat lagi dibatasi melalui konteks fisiologis. Keberadaan orang lain—dalam artian penentuan jenis kelamin—bukan hanya berdasarkan aspek-aspek seperti panjang atau pendeknya rambut, kasar atau tidaknya tangan, bahkan ada-tidaknya organ vagina atau penis. Sebab, yang terpenting dalam aspek ontologis (bukan lagi fisiologis) adalah ada atau tidaknya hasrat. Selama individu dapat menaruh hasrat bagi individu lainnya, terlepas dari bagaimana kondisi biologis dapat mengkodekan jenis kelamin dari keduanya, maka sah-sah saja terdapat suatu dorongan seksual.

Jonathan Sihotang
Jonathan Sihotang

Penulis lepas dan peneliti belia dengan lingkup studi sastra, sejarah, filsafat, dan bidang-bidang humaniora lain. Pada 2023, mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dalam riset bidang antropologi.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content