Menghancurkan Kaum Muda: Sebuah Perbincangan bersama Alain Badiou

Alain Badiou bersama Pemuda

Pada usia 79 tahun, filosof Alain Badiou menyurvei kaum muda: para pemuda liberal yang telah kehilangan kompas, kaum muda yang ditekan oleh Daesh,sementara, masa muda Badiou sendiri telah ditandai dengan hadirnya Marxisme, yang kemudian ia pegang hingga hari ini. Terjemahan bahasa Inggris oleh David Broder atas wawancara Juliette Cerf untuk Telerama pada 2 September 2016.

Esai Alain Badiou yang diterbitkan saat peringatan atas tragedi pembantaian 13 November di Paris , “Notre mal vient de plus loin[1], menekankan secara tepat, “Penyakit kita hari ini hadir berdasarkan kesalahan sejarah atas komunisme.” Dengan keyakinan atas apapun terhadap idealisme Maois pada masa mudanya, yang disambut dan juga dikutuk oleh beberapa orang, justru membuat karya filosof, yang berkomitmen atas kondisi politik ini, diterjemahkan di seluruh dunia. Karya-karyanya menjangkau ide atas metafisika yang berlandaskan atas penjelasan matematika seperti Being and Event dan Logics of Worlds – pada tahun 2016 terbit pada edisi ketiga, L’Immanence des vérités[2]hingga beberapa seri karya politik yang menggugah seperti Circonstances, atau beberapa naskah drama, seminar mengenai para pemikir besar dalam tradisi filsafat, buku-buku yang dipublikasi secara lebih meluas seperti In Praise of Love, serta penerjemahannya atas Republik-nya Plato. Keseluruhan hasil ini kemudian terefleksikan pada tiga dari esainya yang dipublikasikan pada musim panas pada tahun 2016, tersebut: La Vraie Vie. Appel à la corruption de la jeunesse (Penerbit Fayard), Un parcours grec Circonstances 8 (Penerbit Lignes) dan  Que pense le poème? (Edisi terbaru). Dalam ketiganya, kita dapat menemukan kritik keras terhadap kapitalisme, kesungguhan yang radikal sebagaimana Badiou meyakininya secara radikal.

Mengapa Anda ingin menjadikan kaum muda sebagai pembaca utama buku anda yang berjudul, La Vraie Vie[3]?

Beberapa faktor yang berbeda muncul bersamaan. Pertama, melalui faktor personal, hal ini menempatkan saya berhadapan secara langsung pada disorientasi agung atas pengalaman pemuda saat ini. Sejak tahun 1980 dapat dilihat secara bertahap horizon harapan yang kian menyusut. Saya melihat kesulitan anak-anak saya dan kawan-kawan mereka dalam menggapai dunia sebagaimana adanya, dan bagaimana mencari posisi mereka di dalam dunia. Saya telah melihat banyak pemudamelintasi tendensi menuju depresiasi diri. Selanjutnya, saya telah dikelilingi oleh para mahasiswa, dan telah lama pula aktif dalam kegiatan politik mengenai penduduk migran dan di pabrik-pabrik dimana saya  secara rutin bersentuhan langsung dengan para pemuda nomaden di kelas pekerja, yang mana hidup dengan kekayaan pengalaman yang tergambar melalui berbagai pengalaman yang berbeda dan luar biasa. Dan kemudian juga, fakta dari salah satu sumber saya, dialog-dialog Plato, yang membangun diskusi antara Socrates dengan para pemuda. Pada tradisi yang saya coba tata dalam kehidupan saya, kaum muda secara simultan mempertanyakan apa arti filsafat dan tujuannya. Para filosof mencoba untuk menyampaikan sesuatu yang mungkin nanti akan tetap bernilai di kemudian hari, dan pada nalarnnya, para peminatnya selalu merupakan kaum muda. Berfilsafat adalah untuk mencari pertanyaan akan kebenaran dalam satu kurun waktu tersendiri. Namun pemuda selalu memasuki dunia yang juga sedang menjadi; yang juga sedang dalam pencarian atas beban dan perangkatnya. Itulah prosesnya. Permasalah pemuda sama persis dengan permasalahan para filosof, walaupun mereka tidak mengetahuinya!

Sebagaimana Plato, Anda menyebut “penghancuran” pemuda. Namun bagaimana mendorong kaum muda untuk melakukan pengarahan terhadap dirinya sendiri, untuk mencari kebenaran, menjadi sebuah proses penghancuran?

Apa yang menjadi tudingan para hakim Socrates saat mengatakan bahwa ia telah merusak kaum muda, hingga menyebabkan mereka menetapkan hukuman mati? Mereka menuding Socrates mampu membuat pemuda meragukan beberapa aspek dari tradisi mereka, secara terbuka meragukan dewa-dewa pelindung kota, serta menjauhkan pemuda dari kewajiban dalam keluarga serta kewajiban sipil. Jika filsafat “menghancurkan”, itu karena fungsinya yang bersifat kritis alih-alih konservatif. Bagaimanapun, situasi kini lebih kompleks dari situasi yang dihadapi oleh Plato. Kini penanda-penanda dari tradisi telah dihancurkan, namun tanpa adanya kesiapan masyarakat untuk menyiapkan yang  baru. Terdapat kesenangan baru (jouissances), ya, namun bukan nilai-nilai yang baru. Semuanya telah mencair dalam kenikmatan akan komoditas, seperti yang dikatakan Marx sebagai “Air segar dari perhitungan egoistik”. Para pemuda terjepit, di satu sisi merupakan kemungkinan memalukan untuk kembali pada tradisi lama –yang serupa dengan permasalahan menghidupkan jasad dan hantu agar kembali hidup – dan, di sisi lain, kemungkinan untuk berperan dalam kompetisi besar dan perjuangan untuk memperoleh kehidupannya, dengan tujuan utama ialah agar tidak menjadi pecundang. Apa yang saya – mengikuti pendapat Rimbaud – sebut sebagai “kehidupan yang sebenarnya” berada pada jalan ketiga: ialah untuk mengadopsi nilai-nilai tradisi yang tidak berlaku lagi atau untuk mengadopsi aturan-aturan dari kapitalisme global, yang –apapun kemiripannya dengan peradaban – memiliki realitas yang brutal dan tidak beradab. Pada usia yang sangat muda, Rimbaud telah sadar akan disorientasi yang sedang terjadi. Ia melihat dengan sangat jelas bahwa gambaran Kristus kuna telah mengabaikan bumi. Rimbaud menjelajahi dunia dan melakukan berbagai hal kecil, termasuk puisi, salah satu dari ‘kebodohannya’. Ia membakar kehidupan sebelum menyimpulkan bahwa dunia modern adalah mengenai uang dan kesuksesan. Hingga ia selanjutnya menjadi pedagang kolonial… 

Jadi, apa yang dimaksud dengan Kehidupan yang Sebenarnya?

Sebuah kehidupan tidak membatasi hidupnya sendiri, baik demi ketaatan atau impuls langsung. Sebuah hidup dimana subjek menjadikan dirinya sebagai subjek. Bagi saya terdapat bidang dimana kebenaran dapat memanifestasikan dirinya, apa yang saya sebut sebagai empat prosedur dalam membangun kebenaran, ialah: kesenian, cinta, politik, dan ilmu pengetahuan. Harapan saya bagi pemuda adalah bahwa mereka mampu menjalani empat syarat ini; untuk memperkuat kesenian dalam segala bentuknya; untuk mencinta dalam kebenaran, untuk waktu yang lama; dan untuk berpartisipasi dalam rekonstruksi politik sebuah dunia yang berkeadilan, melawan dunia yang kini sedemikian rupa. Serta untuk tidak acuh pada ilmu pengetahuan sebagaimana mereka saat ini, sehingga mereka tidak menyerahkan ilmu pengetahuan pada telapak tangan teknologi atau kapital.

Anda mengkhususkan salah satu bagian dari teks Anda bagi laki-laki dan perempuan muda: apakah perbedaan jenis kelamin masih relevan untuk dipikirkan saat ini?

Ya. Kebangkitan tradisi tidak berefek sama kepada perempuan muda dan laki-laki muda. Kini kebangkitan ini lebih banyak membuka pintu bagi para perempuan, yang sedikit demi sedikit telah terbebas dari opresi laki-laki dan ketergantungan dalam pernikahan sebagaimana begitu berjaya dalam dunia kuno. Kondisi ini telah membuka banyak karir dan kesempatan yang sebelumnya tidak mereka miliki. Utamanya para perempuan muda lebih merasa nyaman dalam dunia kontemporer dibandingkan dengan para laki-laki muda, termasuk misalnya, menjadi yang lebih baik saat di sekolah. Saya telah mendatangi beberapa persidangan dari para perempuan muda yang benar-benar membingungkan; para pedangang kecil, menghina bos lokal dalam sebuan situs (proyek atau penasihat aset) dan lain-lain. Saudari mereka, dalam bagiannya, merupakan para pengacara .. Sementara itu, bagi para pemuda, lenyapnya wajib militer menyimbolkan hilangnya sebuah inisiasi secara menyeluruh. Selama ribuan tahun, pertanyaan kaum muda dan mereka yang beranjak dewasa telah diatur oleh prosedur regulasi yang sudah berada di ambang batas. Kini, untuk mengidentifikasi perbedaan dari usia kehidupan seseorang menjadi sulit yang disebabkan oleh kultus kaum muda – faktanya norma kini digunakan untuk mempertahankan para pemuda selama mungkin, ketika kekuasaan berada di tangan generasi yang lebih tua dan sekaligus hadir ketakutan atas para pemuda, geng-geng dari para pemuda … Semua ini menimbulkan kebingungan besar.

Pada beberapa keikutsertaan politik  Anda belakangan ini muncul tema kepemudaan lain: Para pemuda yang terdaftar sebagai Daesh, yang Anda gambarkan sebagai “fasis muda”

Kata “teradikalisasi” memiliki banyak mode, namun saya memilih kata “fasis”. Saya menggunakan “fasisme” sebagai nama bagi subjektivitas populer yang kian membesar karena kapitalisme, yang bercampuran pula dengan identitarian atas wacana nasionalis. Fasisme adalah subjektivitas yang “reaktif” tentu saja, para pemuda sering kali mengalami frustasi karena peran mereka tidak lebih dari misalnya, seorang pedagang keliling di kota. Atau mungkin mengalami kekecewaan karena tidak dapat menjadi seorang pahlawan kapitalisme.

Mereka menolak, alih-alih diam atau segera bersikap oportunis, kepuasan duniawi, sebagaimana hadirnya kompetisi hukum yang keras dan sukses. Mereka menempatkan diri di luar jalan alternatif yang sering diambil oleh para pemuda – alternatif ini terletak di antara mengkonsumsi atau menghidupkan salah satu transgresi kehidupan dengan segera, atau mengambil tempat dalam masyarakat, menjadi seorang bankir atau manajer, atau seorang start-up di kantor bursa efek. Nihilisme mereka merupakan percampuran antara nilai-nilai sakral dan heroisme kriminal, dan secara umum merupakan agresi dari Dunia Barat. Agresi fasis ini dilandasi dari bentuk dari kemunduran tradisionalis dan identitarianis, melalui puing-puing peradaban yang ditawarkan kepada mereka, (yang dalam kasus gerakan Dhaes ini) dengan mengatasnamakan Islam. Ini adalah proses pem-fasis-an dari ajaran Islam yang dilakukan oleh mereka (kelompok Dhaes), bukan Islam yang membuat mereka menjadi fasis. Agama adalah forma. Namun ini (Dhaes) membatasi tujuan agama yang bersifat luas, yang memungkinkan seseorang yang secara subjektif merasakan frustasi dapat merasa mampu memperoleh kepuasan dan penyelamatan melalui bunuh diri atau membunuh orang lain.

Tipe pemuda seperti apakan Anda? Apa yang menggerakkan Anda pada saat itu? 

Saya lahir pada tahun 1937. Masa muda saya, dunia sepenuhnya merupakan dunia yang berbeda –kondisi pasca perang yang merekonstruksi Prancis, periode yang terjadi secara simultan, baik secara terstruktur maupun dinamis. Perbedaan kelas sangat menonjol pada masa itu. Para pemuda dari kelas pekerja atau dari latar belakang berkekurangan mengakhiri studinya pada usia 12 tahun, dan hanya 10% di masing-masing jenjang usia mampu meraih gelar sarjana mereka. Partai komunis pada saat itu menjadi sangat kuat dan sedang menikmati aura kekuatannya, dengan asosiasi dengan kekuatan Soviet. Dua orientasi sedang membentuk tubuhnya pada masa itu: rekonstruksi kapitalisme negara atau orientasi proletar yang diperkuat oleh partai komunis. Revolusi atau konformis? Atau memilih kedua-duanya?

 Apakah Anda memilih keduanya?

Ya, saya tidak sama dengan massa pada kala itu, saya dilahirkan pada kelas menengah ke atas. Orang tua saya, keduanya, berkuliah di Ecoles Normales (pendidikan tinggi elit) dan ayah saya adalah seorang petinggi sosialis di Toulouse. Saya mewujudkan sosok intelektual yang khas (dengan menempuh pendidikan di Ecole Normale lalu di agregation –sebuah uji kompetitif untuk menjadi profesor), dan di saat yang sama saya memilih untuk menjadi seorang intelektual di samping situasi revolusi. Dan pada akhirnya ini adalah penataan yang cukup nyaman, karena dengan demikian anda dapat memiliki keuntungan melalui kedua cara tersebut, ialah mengikuti apa yang sebelumnya telah dilakukan oleh para pengamat kebajikan pada abad ke-18. Pada kala itu terjadi peperangan kolonialisme yang mengganggu dengan situasi permainan ganda. Pendidikan politik saya yang sebenarnya ialah mengenai konteks Perang Algeria. Hal itu yang membuat saya lakukan pilihan radikal. Walaupun pada masa itu masyarakat banyak disiksa oleh polisi Paris … saat itu adalah masa di mana anda harus berkomitmen pada dirimu sendiri untuk melawannya, untuk melawan zona nyaman dan menata hidupmu sesuai dengan pertimbanganmu. Demonstrasi pertama yang telah kami rancang telah mengalami opresi kekerasan yang parah –poster di mana-mana mengumumkan “intelektual yang mengalah (lemah)”. Saya berpartisipasi dalam perpecahan partai komunis hingga melahirkan PSU.[4] Setelah kejadian Mei ’68 saya menjadi sangat aktif di pemukiman-pemukiman pekerja, di pabrik-pabrik. Saya melakukannya di bawah label Maois, yang bersamaan dengan label Trotskis, yang menentukan sekali pada masa itu.

Anda katakan, pada era tersebut. Namun Anda masih merupakan seorang Maoist, dan terdapat celaan dari orang lain untuk itu

Tentu saja, saya tetap beregang pada hipotesis komunis. Saya menolak untuk hidup dalam dunia dimana hegemoni sosial dan ekonomi menjeadi satu-satunya hipotesis. Saya tidak dapat menerima kebuasan ini, ketidaksetaraan ini, fakta bahwa 10% populasi di planet ini menggunakan 86% sumber daya dunia, melalui metode kapital. Jauh dari kemungkinan untuk dibuang, gagasan komunis menurut saya justru masih sangat muda. Ini adalah sebuah awal – yang sudah berlangsung selama beberapa dekase – dari perjalanan sejarah, sementara kapitalisme, lahir enam atau tujuh abad yang lalu, hal ini merupakan sebuah kemunduran, ketidaksetaraan dari rezim lama – yang mana 10% tersebut kurang lebih merupakan kaum terhormat pada masa itu .. saya harus menjelaskan bahwa yang saya ketahui dengan tepat adalah kekejaman dan kejahatan masyarakat komunis itu sendiri. Saya menjadi seorang Maois karena saya mengidentifikasi bahwa Maoist memiliki elemen-elemen kritis tertentu untuk malampaui serta merubah Stalinis, masa di mana saya menjadi tersadar melalui pengetahuan atas apa yang terjadi di Rusia kala Revolusi Oktober tahun 1917, ialah ditemukannya banyak kesalahan dan falsifikasi yang dramatis.Yang menjadi permasalahan utamanya adalah bahwa komunisme memiliki prinsip yang amat jelas namun justru melahirkan ketidakpercayaan atas negara tersentral, hal ini membuat negara semakin terpusat dan birokratis lebih daripada yang sebelumnya, sebuah negara yang memberikan tekanan untuk mengatur segala permasalahan melalui kekerasan. Hipotesis komunis tenggelam dalam keberhasilannya yang paling awal dan berlanjut hingga 60 tahun berikutnya. Jadi, apakah hal ini harus membawa kita pada pengabaikan atas hipotesis itu? Saya kira tidak. Kita harus menetapkan kesalahan implementasi tersebut pada ideologinya dan menjadikannya sebuah kekalahan telak.

Apa pemahaman Anda terkait dengan pemilihan umum yang (pada saat itu) akan berlangsung, dan dengan kembalinya Nicolas Sarkozy – yang mana Anda telah mencurahkan kritik tajam pada tahun 2007 dalam pamflet berjudul The Meaning of Sarkozy?

Saya sudah tidak pernah mengikuti pemilihan umum sejak Juni 1968, dan pada usia tersebut saya tidak berpikiran untuk berperan di sdlamnya .. itu akan menjadi sikap saya yang tidak bermakna. Konsultasi pemilihan umum hanyalah konsultasi internal dalam tatanan yang sudah mapan.  Sebuah proses mediasi nuansa melalui satu cara untuk mengatur sangat banyak permasalahan. Kaum Kiri memilih kebijakan yang sama dengan Kaum Kanan. Anda menyebutkan nama Sarkozy. Jadi, di sana kita sedang membicarakan alergi saya! Menjadi sebuah keharusan bahwa saya tetap memiliki residu patriotisme tertentu, yang diwarisi oleh ayah saya yang merupakan seorang Pejuang Perlawanan. Namun saya tidak tahan apabila melihat seorang kepala negara menjadi seorang yang tidak bertanggung jawab.. Namun nyatanya kebijakan Hollande tidak jauh berbeda dengan apa yang dimiliki oleh Sarkozy. Hollande bahkan dengan tangkas meningkatkan penaklukan terhadap kondisi sosial di masa lampau. Ia memiliki seorang pemikir di sampingnya seperti (menteri keuangan) Emmanuel Macron untuk menentukan apapun dengan mengatasnamakan modernitas. Baginya modernitas berarti kembali pada abad ke-19, untuk membebaskan, ideologi yang natural dari kapitalisme, yang tidak memiliki sedikitpun belas kasih atas regulasi sosial, hak-hak dari pekerja ataupun para pensiunan. Ideologi ini hari ini menikmati kebebasannya yang menyeluruh melalui aksi, di mana ia tidak memiliki satupun musuh yang sepadan. Saya mengusulkan agar kita tetap berpegang teguh pada hipotesis musuh ideologi ini yang sangat pasti, ialah komunisme. Dan selanjutnya kita harus meneruskan proses berfilsafat kita, karena sementara kita dapat mengetahui dengan tepat siapa Plato, yang hidup dua milenium dari sekarang – dan itulah yang menjadi skala bagi filsafat – maka tidak ada seorangpun yang akan mengetahui siapa itu Sarkozy.

Diterjemahkan dari https://www.versobooks.com/blogs/2826-corrupting-the-youth-a-conversation-with-alain-badiou


[1] Permasalahan Kita Memiliki Akar yang Mendalam

[2] Kebenaran yang Imanen

[3] Kehidupan yang Sebenarnya

[4] Unified Socialist Party, Partai kesatuan sosialis.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.