Manusia dalam kesehariannya tidak terpisah dari bahasa. Bahasa hanya dapat dimengerti dalam bentuk-bentuk tertentu yang merupakan konteks bagi pengguna bahasa. Bahasa adalah bentuk tindakan manusia, yang oleh karena itu tidak saja melibatkan si penutur dan mitra tuturnya, tetapi juga melibatkan situasi dan konteks penuturan. Seperti apa bahasa itu dalam konteks dan situasinya? John Langshaw Austin adalah seorang filsuf analitik bahasa, khususnya bahasa (biasa) sehari-hari yang dalam pengulasannya selalu mempertimbangkan situasi dan konteks penuturan. Tulisan ini bermaksud mengulas filsafat bahasa analitik John Langshaw Austin dalam lingkungan politik. Pembahasan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu riwayat singkat John Langshaw Austin dan inti pemikikirannya, khususnya mengenai Tindak Tutur (Speech Acts) yang merupakan relevansi dari teori tindak tutur terhadap politik saat ini.
Riwayat hidup John Langshaw Austin
John Langshaw Austin (selanjutnya akan disebut Austin) adalah Profesor Filsafat moral dari Oxford yang terkenal sebagai ahli bahasa dalam studi filsafat bahasa. Austin lahir pada tanggal 26 Maret 1911 di Lacaster. Ayahnya G. L. Austin adalah seorang arsitek. Ayahnya berpindah profesi dari arsitek menjadi sekretaris di sekolah St. Leonardo di St. Andrews, Skotlandia setelah menjalani dinas militer dalam perang dunia I. Tahun 1924 Austin sekolah di Shrewsbury, khusus belajar fisiologi klasik, dan pada tahun 1931 dia memenangkan hadiah dalam menulis prosa Yunani. Saat itulah ia berkenalan dengan filsafat. Mulanya Austin tertarik dengan filsafat Leibniz, di samping juga mendalami filsafat Yunani, terutama filsafat etika Aristoteles yang banyak mempengaruhi cara berpikirnya terkait bahasa pergaulan.
Pada 1935 Austin mulai mengajar di Magdalena. Tahun 1941, ia menikah dengan Jean Coutts dan dikaruniai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Ketika perang Dunia II berkecamuk, Austin bergabung dengan Badan Inteligen Inggris hingga memperoleh pangkat letnan kolonel. Setelah pensiun pada September 1945, Austin memutuskan kembali ke Universitas tempat ia mengajar sebelumnya. Di Universitas ini, Austin memberi kuliah tentang Plato dan Aristoteles. Austin menghembuskan nafas terakhirnya pada umurnya yang ke 49 tahun, tepatnya pada 8 Februari 1960 di Oxford, Britania raya. Karya-karya Austin antara lain: Philosopical Papers (1961), Sense and Sensibilia (1962), How To Do Things With Words (1962).
Filsafat Analitik Austin Secara Umum
Titik tolak filsafat analitik Austin adalah bahasa biasa, bahasa sehari-hari dan bukan bahasa refleksi atau mistik. Pengertian biasa (ordinary) dapat berarti umum (common), atau yang sedang berlangsung (current), bahasa pergaulan sehari-hari (colloquial), atau bahasa harian, bahasa sederhana (vernacular), bahasa alamiah (natural language). Dalam mendalami analisis bahasa biasa ini, Austin menggunakan metode teknik laboratorium (laboratory technique).[1]
Austin telah mengembangkan suatu metode yang digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan masalah penggunaan bahasa. Metode ini disebutnya sebagai teknik laboratorium (laboratory technique). Titik tolak pembahasan metode laboratory technique adalah dengan mempertanyakan; apakah ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah khusus tersebut sesuai dengan fungsi dan makna yang dimaksud oleh si pemakai bahasa? Metode ini sejenis dengan metode diskusi.
Langkah dari metode ini, yakni membentuk suatu kelompok untuk mengadakan diskusi, saling mempertanyakan, mengoreksi, memperbaiki untuk mencapai persetujuan tentang fungsi makna kata, ataupun ungkapan dan bahkan kalimat yang sedang dibicarakan. Menurut Austin sebagaimana dikutip Pius Pandor, mengatakan begini;
Adalah baik untuk diingat… aturan umum bahwa kita harus mengharapkan untuk menemukan label-label sederhana untuk kasus yang sulit… bagaimanapun baiknya bahasa kita, hal itu tidak pernah mempersenjatai kita dengan segala kemungkinan kasus yang dapat muncul dan harus dideskripsikan: fakta selalu lebih kaya dari pada diksi.[2]
Pembelajaran filsafat “bahasa biasa” oleh Austin memiliki dua maksud. Pertama, mendorong filsuf untuk memperhatikan cara mereka menjelaskan teorinya pada konsistensi penggunaan istilah dan konteks. Kedua, membantu menginformasikan teori aksi pembicaraan atau pragmatika yang menjadi pusat pemikiran filsafat dan bahasa. Maka, kekhasan filsafat bahasa Austin, terletak pada prespektifnya yang menyeluruh dalam hal bahasa. Hal ini bisa dipahami, mengingat Austin menegaskan, jangan sampai kita hanya membatasi diri pada makna ujaran saja, tetapi juga mempelajari akibat yang ditimbulkan oleh ujaran itu. Hal baru lain yang ditemukan dalam pemikiran Austin, yakni membagi jenis ucapan dan tindakan bahasa (Speech Acts).
Jenis Ucapan
Austin membedakan dua macam ucapan yang seringkali kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu constative utterance dan performative utterance.Terkadang adanya ucapan performatif yang tidak dapat dibedakan dengan ucapan konstatif. Namun, bagi Austin bukan persamaan ini yang ingin di bahas, melainkan kekhasan dari keduanya. Dengan meneliti kekhasan dari keduanya, kita akan dihadapkan pada cara pandang yang baru terhadap cara pandang filsafat Bahasa Biasa.
Ucapan Konstatif (Constative Utterance)
Austin mengatakan, tidak semua pernyataan benar dan salah adalah deskripsi. Oleh karena itu, saya lebih suka menggunakan kata ‘konstatif’[3]. Ucapan konstatif yang dimaksud adalah ucapan atau tuturan yang kita pergunakan, manakala kita mengambarkan sesuatu dalam situasi nyata atau realitas. Artinya, Yudoyono pernah menjadi Presiden Indonesia. Pernyataan ini, dapat dibuktikan benar atau salah. Kita dapat membuktikan benar atau salahnya pernyataan ini, dengan menyelidiki, meneliti dan memeriksa. Dengan demikian, ucapan konstatif memiliki sifat historis atau peristiwa nyata.
Ucapan performatif (Performative Utterance)
Ucapan performatif adalah ucapan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan saat pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga. Dengan kata lain, performatif adalah pernyataan yang dengan sendirinya melaksanakan tindakan yang digambarkan. Misalnya, “saya berterima kasih kepadamu”, “saya ucapkan selamat padamu”, “saya mohon maaf”[4].
Karena itu, Austin menegaskan ucapan performatif tidak dapat dikatakan benar atau salah seperti halnya dalam ucapan konstatif, melainkan layak (happy) atau tidak layak (unhappy) untuk diucapkan oleh sembarang orang. Misalnya, “saya bersedia ditugaskan menjadi Menteri Pendidikan selama satu periode.” Tentunya layak, apabila diucapkan oleh seorang terpelajar dan waras. Tidak layak, jika diucapkan oleh seorang yang tidak terpelajar dan gila. Dari sini, kita dapat dipastikan bahwa ucapan si penutur mesti sesuai dengan statusnya antara ucapan dan status tidak bisa dipisahkan.
Menurut Austin sebagaimana yang dikutip Rizal Mustansyir ada empat ciri performatif
- Diucapkan oleh orang pertama
- Orang yang mengucapkannya hadir dalam situasi tertentu
- Bersifat indikatif (mengandung pernyataan tertentu)
- Orang yang mengucapakannya terlibat aktif dengan isi pembicaraan (bukan orang gila)[5].
Keempat ciri tersebut bisa saja berlaku bagi ucapan konstatif, namun penekanannya berbeda. Konstatif lebih menekankan objek tuturan atau peristiwa faktual, sedangkan performatif lebih menekankan si penutur dengan kelayakan ucapannya. Austin mengakui bahwa dalam hal ini pun perbedaan antara ucapan konstatif dan performatif tidak selalu jelas.
Dalam suatu vonis misalnya, pasti merupakan suatu ucapan performatif, “saya menjatuhkan hukuman atas saudara satu tahun kurungan.” Di sini sebutan “benar” atau “tidak benar”, tidak mungkin diterapkan. Namun demikian, ucapan tersebut pasti mempunyai hubungan dengan fakta-fakta yang bersifat benar atau salah. Kalau hakim menjatuhkan vonis atas orang-orang yang tidak bersalah maka tidak dapat dikatakan bahwa vonis itu tidak benar, tetapi toh ada hubungan dengan kebenaran fakta-fakta. Austin mengatakan, ucapan macam itu adalah fair or unfair to facts[6]. Contoh lain, “dia berkata ‘saya berjanji bahwa kopi di gudang akan dijual’ tidak melukiskan perjanjian tetapi melaksanakan perbuatan.” Tentu saja isi perjanjiannya dapat benar atau salah, tetapi kualifikasi benar atau salah tidak dapat diterapkan pada perjanjian sebagai perbuatan.
Austin dalam Pius Pandor memberikan beberapa syarat yang dibutuhkan agar ujaran performatif layak diucapkan;
- Harus mengikuti prosedur yang lazim dalam suatu lingkungan tertentu yang menimbulkan akibat tertentu pula. Ini meliputi pengucapan kata yang pasti oleh orang-orang tertentu (otoritas) berdasarkan situasi.
- Mereka yang terlibat dalam situasi yang melingkupinya (seperti janji, sumpah penganugerahan dsb.) memang sudah selayaknya atau berkepentingan untuk mengucapkannya sesuai dengan prosedur yang ditempuhnya.
- Prosedur itu harus dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat secara tepat (menuntut kejujuran dalam pelaksanaan isi ucapan).
- Harus dilaksanakan dengan sempurna, melaksanakan persis seperti yang diucapkan.[7]
Kalaupun salah satu dari keempat syarat di atas dilanggar, Austin tidak mengatakan ucapan performatif itu salah, melainkan tidak layak (unhappy) atau tidak bermakna.
Karena alasan ini pula, perlu disimpulkan bahwa perbedaan antara ucapan performatif dan ucapan konstatif tidak bersifat mutlak. Berdasarkan perbedaan antara ucapan performatif dengan ucapan konstatif yang tidak menyenangkan tersebut, Austin mulai ragu-ragu dengan perbedaan-perbedaan tersebut. Kemudian, dia mulai menerangkan jenis-jenis ‘Speech Acts’, yaitu: Locutionary Acts, Illocutionary Acts, dan Perlocutionary Acts yang berfungsi untuk mengatasi perbedaan dan keraguan antara kedua jenis ucapan tersebut[8].
Tindakan Bahasa (Speech Acts)
Austin membedakan tindakan bahasa, yakniTindakan Lokusi (Locutionary Acts), Tindakan Illokusi (Illocutionary Acts), Tindakan Perlokusi (Perlocutionary Acts). Tesis utama Austin dalam melahirkan teori Speech Acts, yakni “in which to say something is to do something; or in which by saying or in saying something we are doing something.[9]” Mengafirmasi pernyataan di atas kiranya mau menegaskan bahwa setiap kali mengatakan sesuatu, berarti melakukan sesuatu, yaitu menginformasikan, menjelaskan, menyangkal, memerintah, bertanya, menyarankan, menguraikan, memperingatkan dan sejenisnya. Mustahil berbicara tanpa melakukan salah satu hal di atas sama sekali.
Tindakan Lokusi (Locutionary Acts)
Tindakan lokusisuatu Tindak Tutur ditunjukkan melalui kegiatan, si penutur menyampaikan sesuatu yang pasti, sekalipun tidak ada keharusan bagi si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya. Tindakan lokusi sifatnya masih umum jika dibandingkan dengan jenis tindakan bahasa lainnya. Tindakan lokus erat kaitannya dengan orang ketiga. Dalam hal ini, tindakan lokusi tidak mengharuskan si penutur untuk mengaktualisasikan isi tuturannya. Sebagai contoh: “Ia mengatakan kepada saya, ‘tangkaplah mereka’! Berarti lewat tuturan ‘tangkaplah mereka’ mengarah dan mengacu pada orang ketiga. Di sini tidak ada keharusan bagi “saya” (penutur) untuk melaksanakan isi ucapan itu (menangkap mereka).
Tindakan Illokusi (Illocutionary Acts)
Tindakan illokusi adalah tindak penutur yang hendak mengatakan sesuatu dengan daya yang khas. Austin dalam Artini membagi Tindak Tutur illokusi menjadi lima, sebagai berikut:
- Representatif yaitu Tindak Tutur yang mengikat penutur pada kebenaran atas apa yang dikatakannya. (misalnya, menyatakan, melaporkan, menunjukan, menyebut),
- Direktif yakni Tindak Tutur yang dilakukan penutur dengan maksud agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu (misalnya, menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, menantang),
- Ekspresif yaitu Tindak Tutur yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya sebagai evaluasi tentang hal yang disebut di dalam ujaran itu (misalnya, memuji, mengucapkan terima kasih, mengeritik, mengeluh),
- Komisif yakni Tindak Tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan dalam ujarannya (misalnya, berjanji, bersumpah, mengancam)
- Deklarasi yakni Tindak Tutur yang dilakukan si penutur untuk menciptakan hal yang baru (misal, memutuskan, melarang, membatalkan, mengijinkan, memberi maaf).[10]
Untuk lebih memahami hal ini, Austin sebagaimana dikutip Pius Pandor mengatakan, “tindakan dalam mengatakan sesuatu merupakan lawan terhadap tindakan mengatakan sesuatu[11]” Perbedaan keduanya terletak pada cakupannya. Bagi Austin, tindakan dalam mengatakan sesuatu selalu menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat si penutur bertindak maupun berlaku akibat sesuatu yang dikatakan atau diucapkan. Dengan kata lain, tindakan dalam mengatakan sesuatu menuntut tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya, sedangkan tindakan mengatakan sesuatu hanya merujuk pada isi tuturan, yakni mengungkapkan sesuatu. Contohnya, saya berjanji akan mengikuti kuliah.
Perlu diketahui bahwa tindakan illokusi perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi yang melingkupi isi ujaran. Sebab manakala isi ujaran itu tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya, maka tindakan illokusi itu tidak mempresentasikan tanggung jawab si penutur. Dari contoh di atas misalnya. Di sana, seyogyanya situasi dan kondisi tertentu sudah ada terlebih dahulu, antara lain:
- Memang ada kuliah yang akan berlangsung,
- Kuliah itu memang belum berlangsung,
- Ada kemungkinan bagi saya untuk menghadiri kuliah tersebut
- Saya memang ingin mengikuti kuliah terseburt.
Andaikata salah satu dari keempat hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, berarti tindakan illokusi itu tidak mempresentasikan tanggung jawab si penutur terhadap isi tuturannya. Akibat timbulnya kejanggalan dalam pengungkapan isi tuturan tersebut.
Tindakan Perlokusi (Perlocutionary Acts)
Austin mengatakan, “the perlocutionary act may be either achievement of a perlocutionary (convince, persuade) object or the production of perlocutionary sequel.[12]” Dapat dipahami bahwa tindakan perlokusi suatu tindakan bahasa yang karena diucapkan atau tindakan bicara si pembicara, menimbulkan efek kepada para pendengar, memberi pengaruh terhadap si pendengar. Dalam tindakan perlokusi sasaran dari isi tuturan adalah para pendengar. Tindakan perlokusi dengan demikian, si penutur dengan tuturannya memang bermaksud untuk mempengaruhi para pendengarnya. Menurut Austin, sebagaimana yang dikutip Rizal Mustansyir, dipaparkan sebagai berikut.
“Mengatakan sesuatu acapkali akan menimbulkan pengaruh yang pasti terhadap, perasaan, pemikiran, atau prilaku si pendengar atau si penutur itu sendiri, atau pun bagi orang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan cara merancang, mengarahkan atau menetapka tujuan tertentu pada perkataan yang akan kita ungkapkan. …. kita akan menamakan pelaksanaan jenis ini sebagai pelaksanaan tindakan perlokusi.[13]”
Dari ketiga jenis Tindak Tutur di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan lokusi menjadi sarana adanya tindakan illokusi dan perlokusi. Tindakan illokusi memungkinkan adanya tindakan perlokusi dan tidak sebaliknya.
Harus diakui bahwa pemikiran Austin sangat dipengaruhi oleh Wittgenstein, khususnya teori language games. Namun, Austin dianggap lebih sistematis. Austin dianggap memiliki langkah-langkah metodis yang lebih terformat dalam memakai hakikat bahasa, terutama karena objek penelitian yang dilakukan selalu memfokus pada penggunaan bahasa biasa atau bahasa yang kita gunakan sehari-hari.[14] Hal lain yang ditekankan oleh Austin adalah bahwa dari bahasa biasa sehari-hari akan banyak hal yang dapat dipelajari. Hal ini mengingat banyaknya distingsi dan nuansa halus yang dikembangkan oleh para pemakai bahasa itu sendiri dari generasi ke generasi dalam rangka mengungkapkan segala realitas. Maka, dalam hal analisis bahasa tidak bisa dilepaspisahkan dari situasi konkrit dan dari fenomena-fenomena terkait penggunaan bahasa tersebut.
Implikasi Speech Acts Dalam Bahasa Politik
Dalam konteks relasi pada umumnya dan politik pada khususnya, bahasa menjadi alat dan sarana penyalur maksud. Dalam arti tertentu, perihal kekuasaan selalu dalam hubungan dengan bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa non-verbal. Dari kedua jenis bahasa ini yang kerap kali digunakan adalah bahasa verbal. Seorang komunikator atau penutur pada dasarnya selalu mempunyai motivasi atau tujuan-tujuan tertentu dalam menyampaikan tuturan. Seorang komunikator – aktor politik – selalu berusaha menggunakan bahasa tertentu dengan maksud mempengaruhi para pendengarnya.
Realitasnya bahasa politik selalu bersifat eufemisme dan hiperbol. Bahasa politik tidak pernah mengatakan sesuatu yang sebenarnya, tetapi selalu ada sesuatu di balik yang dikatakan. Perihal bahasa yang sifatnya sangat lentur atau fleksibel – bisa diformulasikan seturut fungsi dan tujuan yang ingin dicapai si penutur – mampu memposisikan dirinya sebagai tindakan. Dalam berbagai keadaan, bahasa dapat digunakan untuk pelbagai kepentingan. Hal inilah yang kemudian disingkap oleh Austin dalam teori Speech Acts. Karena itu, bahasa mempunyai andil yang sangat kuat dalam mempengaruhi pihak lain.
Kampanye, orasi dan sejenisnya merupakan bentuk tindakan bahasa yang berusaha mengkomunikasikan sesuatu kepada publik dengan tujuan menimbulkan suatu efek atau reaksi tertentu berupa pikiran dan tindakan bagi para pendengar. Dari Austin, kita belajar bahwa ucapan tidak hanya mengandung makna (deskriptif), tetapi juga mengandung kewajiban (prespektif) untuk melaksanakan isi ucapan. Teori Tindak Tutur yang dikemukakan oleh Austin berupaya untuk merinci bermacam-macam ungkapan bahasa. Karena itu, teori Austin sangat membantu para pendengar untuk mengkritisi dan memahami makna bahasa di balik tuturan dari si penutur dalam hal ini adalah aktor politik.
Mengingat bahwa bahasa merupakan penghubung antara satu pihak dengan pihak yang lain. Maka, dalam menyampaikan sesuatu (penutur) perlu mempertimbangkan terlebih dahulu sebelum menyampaikan isi tuturannya. Berhubung perkara bahasa sangat rumit. Bahasa pada umumnya selalu bersifat dualisme. Di satu sisi bahasa bisa “menghidupkan”, tetapi di sisi lain bisa “mematikan”. Karena itu, bahasa tidak berhenti hanya pada bertindak untuk menyampaikan, tetapi lebih jauh harus mengaktualisasikan isi tuturannya.
Austin melalui teori Speech Acts membantu kita dalam mendengarkan dan menyampaikan tuturan dengan tidak mengabaikan sisi filosofisnya. Sisi filosofis yang ingin ditekankan adalah bahwa dalam setiap tuturan atau ucapan selalu ada nilai-nilai moral yang yang terkandung di dalamnya. “Kita mengatakan sesuatu, berarti kita melakukan sesuatu” dalam hal ini bahasa politik hendaknya menaruh nilai-nilai moral sebagai pegangan tertinggi. Dalam arti tertentu, hal yang ingin ditekankan, yakni agar bahasa tidak di-alihfungsi-kan untuk kepentingan kelompok, organisasi sebagaimana yang dipraktikan aktor politik dewasa ini.
Daftar pustaka
Austin, J. L. (1962). How To Do Things With Words. Oxford: Oxford University Press.
Bertens, K. (2013). Sejarah Filsafat Kontemporer: Jerman dan Inggris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ismail (2013). Ironi & Sarkasme Bahasa Politik Media: Filsafat Analaitik John Langshaw Austin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Magee, Bryan (2008). The Story Of Philosophy, (terj. Widodo, Marcus & Hadi, Hardoyo). Yogyakarta: Kanisius.
Mustansyir,Rizal (2001). Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pandor, Pius (vol. 28 No. Seri 27 2018). “Kontribusi Teori Ujaran dan Tindakan Bahasa Dalam Filsafat Analitik John Langshaw Austin Terhadap Bahasa Pewartaan”, dalam Manik, Robert Pius, Saptowidodo, Adi & Budianto, Antonius Sad (ed.), Pembahruan Gereja Melalui Katekese: Superfisialisme, Aktivisme, Fundamentalisme dan Spiritualitas Tantangan Katekese Dewasa Ini. Seri Filsafat Teologi Widya Sasana.
Supomo, Artini (2010). Analisis Pragmatic Tindak Tutur Kepala Negara dalam Liputan Kasus Bank Century Di SK Kompas, dalam, Rendro DS (ed.), Beyond Borders: Communication Modernity & History. Jakarta: STIKOM The London School of Public Relation.
Urmson, I. J. O. (2011) “A Symposium on Austin’s Method”, dalam K. T. Fann, Syimposium on J. L. Austin. New York: Routledge.
Wibowo, Wahyu (2011). Cara Cerdas Menulis Artikel Ilmiah. Jakarta: Buku Kompas.
[1] Urmson, I. J. O. (2011). “A Symposium on Austin’s Method”, dalam Fann, K. T. Syimposium on J. L. Austin. New York: Routledge, hlm. 77.
[2] Pandor, Pius (vol. 28 No. Seri 27 2018). “Kontribusi Teori Ujaran dan Tindakan Bahasa Dalam Filsafat Analitik John Langshaw Austin Terhadap Bahasa Pewartaan”, dalam Manik, Robert Pius, Saptowidodo, Adi & Budianto, Antonius Sad (ed.), Pembahruan Gereja Melalui Katekese: Superfisialisme, Aktivisme, Fundamentalisme dan Spiritualitas Tantangan Katekese Dewasa Ini. Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, hlm. 177.
[3] Austin, J. L. (1962). How To Do Things With Words. Oxford: Oxford University Press, hlm. 3.
[4] Magee, Bryan (2008).The Story of Philosophy, (terj. Widodo, Marcus & Hadi, Hardoyo). Yogyakarta: Kanisius, hlm 206.
[5] Mustansyir,(2001). Rizal Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 130-131.
[6] Bertens, K. (2013). Sejarah Filsafat Kontemporer: Jerman dan Inggris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 85.
[7] Bdk. Pandor, Pius, hlm. 181.
[8] Ismail, hlm. 58.
[9] Austin, J. L. How To Do Things With Words, hlm. 12.
[10] Supomo. Artini, (2010). Analisis Pragmatic Tindak Tutur Kepala Negara dalam Liputan Kasus Bank Century Di SK Kompas, dalam, DS, Rendro (ed.), Beyond Borders: Communication Modernity & History. Jakarta: STIKOM The London School of Public Relation, hlm. 217-218.
[11] Pandor, Pius, hlm. 183-184.
[12] Austin, J. L. How To Do Things With Words, hlm 118.
[13] Mustansyir, Rizal, hlm. 143.
[14] Wibowo, Wahyu (2011). Cara Cerdas Menulis Artikel Ilmiah. Jakarta: Buku Kompas, hlm. 17.
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.
5 Responses
bacaan yang sangat bermutu….
bacaan yang sulit di pahami, tetapi dengan contoh-contohnya sangat membantu para pembaca
bacaan yang sulit dipahami, tetapi sangat terbantu dengan contoh-contohnya
Bacaan yang menarik, menantang dan bertenaga
bacaan yang sangat bermutu